1.
Latar Belakang
Kejahatan
atau kriminalitas (crime) telah menjadi bagian yang inherent
dalam sejarah kehidupan umat manusia sejak jaman dahulu
hingga saat ini. Menurut sosiolog Emille
Durkheim (1933), kejahatan itu
normal ada di semua masyarakat dan hampir tidak mungkin menghilangkan kejahatan
dalam masyarakat. Kejahatan memiliki fungsi dan disfungsi dalam masyarakat.
Kejahatan bersifat disfungsi karena
memberikan efek yang merusak terhadap tatanan sosial, menimbulkan rasa
tidak aman dan ketakutan serta menambah beban ekonomi yang besar bagi
masyarakat. Selain bersifat disfungsi, kejahatan juga dapat memberikan efek
positif bagi pembangunan fungsi sosial. Kejahatan dapat menumbuhkan rasa
solidaritas dalam kelompok, memunculkan norma-norma atau aturan yang mampu
mengatur masyarakat serta mampu memperkuat penegakkan hukum, serta menambah
kekuatan fisik atau organisasi untuk memberantas kejahatan.[1]Menurut
Robert L. O’Block menyatakan bahwa kejahatan adalah masalah sosial, maka usaha
pencegahan kejahatan yang merupakan usaha yang melibatkan berbagai pihak. Bahwa
konsep pencegahan kejahatan (crime
prevention) menurut The National Crime
Prevention Institute is defines crime
prevention as the anticipation, recognition and appraisal of a crime risk and
the initiation of some action to remove or reduce it. Definisi pencegahan
kejahatan adalah proses antisipasi, identifikasi dan estimasi resiko akan
terjadinya kejahatan dan melakukan inisiasi atau sejumlah tindakan untuk
menghilangkan atau mengurangi kejahatan.[2]
Sedangkan menurut Venstermark dan
Blauvelt mempunyai definisi lain tentang konsep pencegahan kejahatan yaitu crime prevention means, practically reducing
the probality criminalactivity, yang artinya pencegahan kejahatan berarti
mengurangi kemungkinan atas terjadinya aksi kejahatan[3]. Kemudian
Fisher juga mengemukan pendapatnya yaitu to
determind the amount of force a security officer may use to prevent crime, the
court have consider circumstances, the seriousness of the crime prevented and
the possibility of preventing the crime by other means. (Untuk menentukan jumlah
kekuatan petugas pengamanan yang dapat digunakan untuk mencegah kejahatan,
pengelola mempertimbangkan keadaan, keseriusan mencegah kejahatan dan
kemungkinan mencegah kejahatan dengan cara lain).
Jenis
dan bentuk kejahatan selalu berkembang dari waktu ke waktu seiring dengan
dinamika sosial yang berkembang dalam masyarakat. Pola dan modus kejahatan juga
kian berkembang sebagai dampak kemajuan teknologi. Kompleksitas gangguan
keamanan saat ini tidak lagi bersifat konvensional, namun telah berkembang
dalam bentuk-bentuk kejahatan lintas negara (transnational crimes), seperti pembajakan (piracy), kejahatan pencucian uang (money laundering), perdagangan gelap narkotika dan senjata (illicit drugs and arm), perdagangan
manusia (trafficking-in persons),
penyelundupan barang (smuggling),
kejahatan mayantara (cyber crime), illegal logging, illegal mining, illegal
fishing hingga berkembangnya jaringan terorisme internasional.
Dampak
dinamika perkembangan lingkungan strategik (lingstra) dewasa
ini, ragam
pola dan bentuk kejahatan terus mengalami perkembangan yang luar biasa. Kondisi
ini tentunya berimplikasi terhadap meningkatnya beban tugas dan tanggung jawab
Polri sebagai penyelenggara negara di bidang keamanan dalam negeri (kamdagri).
Untuk itu, Polri membagi kejahatan ke dalam 4 (empat) golongan / jenis yaitu kejahatan konvensional, seperti
kejahatan jalanan, premanisme, banditisme,
perjudian dll; kejahatan
transnasional, yaitu : terorisme, illicit
drugs trafficking, trafficking in
persons, money loundering, sea piracy and armed robbery at sea, arms smuggling, cyber crime dan international
economic crime; kejahatan terhadap
kekayaan negara seperti korupsi, illegal
logging, illegal fishing, illegal mining, penyelundupan barang,
penggelapan pajak, penyelundupan BBM; dan Kejahatan
yang berimplikasi kontijensi adalah : SARA, separatisme, konflik horizontal
dan vertikal, unjuk rasa anarkis, dan lain-lain (Renstra Polri 2010-2014).
Berdasarkan
data Kepolisian RI, selama tahun 2012 tindak pidana yang tercatat dari jajaran
Mabes Polri mencapai 309.096 kasus. Data ini mengalami penurunan sekitar 16,54
persen dibandingkan tahun 2011 atau penurunan sebesar 51.153 kasus. Jumlah
kasus yang dapat diselesaikan sebanyak 164.205 kasus atau mengalami penurunan
dibanding 2011 sebanyak 192.950 kasus.Untuk kasus pidana konvensional seperti
pencurian dengan pemberatan, serta pencurian dengan kekerasan sebanyak 274.180
kasus dan yang berhasil diselesaikan sebanyak 136.966 kasus atau menurun 1,5%
(2.211 kasus) dibanding tahun 2011 yang mencapai 139.177 kasus.[4]
Tingkat kriminalitas Ibu Kota DKI Jakarta juga mengalami penurunan, Kepolisian
Daerah Metro Jaya menyatakan bahwa jumlah kasus tindak pidana sepanjang 2012
mengalami penurunan sebesar 5,86 persen. Berdasarkan catatan Polda Metro Jaya,
pada 2012 terjadi 54.391 kasus tindak pidana, angka ini menurun dibandingkan
2011 yaitu 57.779 kasus, atau turun sebanyak 3.388 kasus. Selain itu,
prosentase tingkat penyelesaian tindak pidana mengalami kenaikan, di mana pada
tahun 2011 tercatat 56,57 persen dan meningkat pada 2012 menjadi 59,67 persen.[5]
Meskipun
secara kuantitatif kasus kejahatan mengalami penurunan, namun secara kualitatif
kasus-kasus kejahatan cenderung mengalami perkembangan pola, ragam, bentuk dan
modus kejahatan. Kasus-kasus
kejahatan yang ada saat ini ibarat fenomena “puncak gunung es”, dimana
kasus-kasus kejahatan yang terungkap ke publik hanya sebagian kecil saja
daripada jumlah keseluruhan kejahatan yang terjadi selama ini. Banyak
kasus-kasus kejahatan yang tidak dilaporkan ke polisi oleh para korban
kejahatan karena berbagai faktor maupun alasan. Selain itu juga banyak anggota
masyarakat yang enggan melaporkan kasus kejahatan yang ada disekitarnya karena
alasan tidak mau terlibat atau takut terancam oleh para pelaku kejahatan.
Masih
terbatasnya kasus-kasus kejahatan yang belum berhasil diungkap polisi (clearence rate) ditambah banyaknya kasus
kejahatan yang tidak dilaporkan ke polisi serta perkembangan ragam, bentuk dan
modus kejahatan dewasa ini, membuat tugas-tugas kepolisian terasa semakin berat
tantangannya. Oleh karena itu,dalam
Rapim Polri yang diselenggarakan 28-31 Januari 2013, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menganggap penanganan kamtibmas selama
ini cenderung belum optimal. Untuk itu, Polri harus mengubah strategi
penanganan kejahatan dari pendekatan yang cenderung bersifat represif
(penindakan), menjadi penanganan kejahatan yang lebih memprioritaskan pada pendekatan
pre-emtif
dan preventif (pencegahan). Dengan perubahan strategi
tersebut, diharapkan Polri mampu menekan tingkat kejahatan secara bertahap
sehingga mampu menciptakan situasi kamtibmas yang kondusif untuk mendukung kamdagri.
2. Pencegahan Kejahatan (Crime Prevention)
Kejahatan
(crime) merupakan bagian yang inherent
dan selalu terjadi dalam kehidupan masyarakat. Menurut
Emille Durkheim, kejahatan itu
normal ada di semua masyarakat dan hampir tidak mungkin menghilangkan kejahatan
dalam masyarakat. Kejahatan memiliki fungsi dan disfungsi dalam masyarakat.
Kejahatan bersifat disfungsi karena
memberikan efek yang merusak terhadap tatanan sosial, menimbulkan rasa
tidak aman dan ketakutan serta menambah beban ekonomi yang besar bagi masyarakat.
Selain bersifat disfungsi, kejahatan juga dapat memberikan efek positif bagi
pembangunan fungsi sosial. Kejahatan dapat menumbuhkan rasa solidaritas dalam
kelompok, memunculkan norma-norma atau aturan yang mampu mengatur masyarakat
serta mampu memperkuat penegakkan hukum, serta menambah kekuatan fisik atau
organisasi untuk memberantas kejahatan (Emille Durkheim, 1933).
Marshall B. Clinar dan J. Abbott
dalam Crime and Developing Countries (1973)
melihat gejala peningkatan kejahatan yang berhubungan dengan ketersisihan
sekelompok masyarakat dalam proses industrialisasi sudah muncul sejak awal abad
19, terutama di Inggris dan Amerika Serikat. Hal ini pulalah yang belakangan
ini menjadi salah satu agenda kecemasan yang penting dalam masyarakat. Krisis
ekonomi berkepanjangan selalu berujung pada makin bertumpuknya anggota
masyarakat mendekati, bahkan hingga ke bawah garis kemiskinan. Lihat saja
angka-angka berikut ini. Dalam keterangan pers akhir tahunnya, Kapolri menyebut
bahwa setahun terakhir crime rate tumbuh
+ 10%, dengan jumlah nominal 157.180 tindak kejahatan. Itu artinya,
kurang lebih setiap 3 menit 20 detik sekali terjadi sebuah kejahatan.
Untuk memahami konsep
dari pencegahan kejahatan, kita tidak boleh terjebak pada makna kejahatannya,
melainkan pada kata pencegahan. Freeman (1992) mencoba mengupas konsep dari
pencegahan (prevention) dengan memecah katanya menjadi dua bagian,
yaitu prediksi (prediction) dan
intervensi (intervention). Hal ini
dapat dikatakan bahwa untuk mencegah terjadinya sesuatu tindak kejahatan, yang
pertama sekali harus dilakukan adalah memprediksi kemungkinan dari tempat dan
waktu terjadinya, dan kemudian menerapkan intervensi yang tepat pada titik
perkiraannya (Daniel Gilling, 1997: 2).
Pada dasarnya,
pencegahan kejahatan tidak memiliki definisi baku, namun inti dari pencegahan
kejahatan adalah untuk menghilangkan atau mengurangi kesempatan terjadinya
kejahatan. Seperti Ekblom (2005:28) menyatakan bahwa pencegahan kejahatan
sebagai suatu intervensi dalam penyebab peristiwa pidana dan secara teratur
untuk mengurangi risiko terjadinya dan/atau keseriusan potensi dari konsekuensi
kejahatan itu. Definisi ini dialamatkan pada kejahatan dan dampaknya terhadap
baik individu maupun masyarakat.
Sedangkan Steven P. Lab
memiliki definisi yang sedikit berbeda, yaitu pencegahan kejahatan sebagai suatu
upaya yang memerlukan tindakan apapun yang dirancang untuk mengurangi tingkat
sebenarnya dari kejahatan dan/atau hal-hal yang dapat dianggap sebagai
kejahatan. (Steven P. Lab, 2010: 26). Menurut National Crime Prevention Institute (NCPI), pencegahan kejahatan
melalui pengurangan kesempatan kejahatan dapat didefinisikan sebagai suatu
antisipasi, pengakuan, dan penilaian terhadap resiko kejahatan, dan
penginisiasian beberapa tindakan untuk menghilangkan atau mengurangi kejahatan
itu, yang dilakukan dengan pendekatan praktis dan biaya efektif untuk
pengurangan dan penahanan kegiatan kriminal (NCPI, 2001: xv).
Sesuai dengan
perkembangannya, terdapat tiga pendekatan yang dikenal dalam strategi
pencegahan kejahatan. Tiga pendekatan itu ialah pendekatan secara sosial (social crime prevention), pendekatan
situasional (situtational crime
prevention), dan pencegahan kejahatan berdasarkan komunitas/masyarakat (community based crime prevention).
Menurut
M Kemal Darmawan dalam bukunya yang
berjudul Strategi Kepolisian Dalam Pencegahan Kejahatan :
a. Pre-emtif
adalah kebijakan yang melihat akar masalah utama penyebab terjadinya kejahatan
melalui pendekatan sosial, pendekatan situasional dan pendekatan kemasyarakatan
untuk menghilangkan unsur Potensi Gangguan (Faktor
Korelatif Kriminogen).
b. Preventif
sebagai upaya pencegahan atas timbulnya Ambang Gangguan (police hazard),
agar tidak berlanjut menjadi gangguan nyata / Ancaman Faktual (crime).
c. Represif sebagai upaya penegakan hukum
terhadap Gangguan Nyata / Ancaman Faktual berupa penindakan/pemberantasan/ penumpasan sesudah kejahatan
terjadi atau pelanggaran hukum , yang bertujuan untuk memberikan contoh (Social
Learning) dan menimbulkan Efek Deterence agar dapat
mengantisipasi para pelaku melakukan /
mengulangi perbuatannya.
3.
Kondisi Umum Kriminalitas
di Indonesia
Kuantitas
dan kualitas kejahatan di Indonesia dari tahun ke tahun kian meningkat dan
berkembang. Berdasarkan data Kepolisian RI,
selama tahun 2012 tindak pidana yang tercatat dari jajaran Mabes Polri mencapai
309.096 kasus. Data ini mengalami penurunan sekitar 16,54 persen dibandingkan
tahun 2011 atau penurunan sebesar 51.153 kasus. Jumlah kasus yang dapat
diselesaikan sebanyak 164.205 kasus atau mengalami penurunan dibanding 2011
sebanyak 192.950 kasus.Untuk kasus pidana konvensional seperti pencurian dengan
pemberatan, serta pencurian dengan kekerasan sebanyak 274.180 kasus dan yang
berhasil diselesaikan hanya 136.966 kasus atau menurun 1,5% (2.211 kasus)
dibanding tahun 2011 yang mencapai 139.177 kasus.[6]Selama
2012 tindak pidana terjadi setiap 1 (satu) menit 42 detik atau terjadi peningkatan waktu
sebanyak 15 detik dibandingkan 2011, di mana kejahatan terjadi setiap satu
menit 27 detik.Jika dihitung dengan jumlah rakyat Indonesia, risiko penduduk
terkena tindak pidana tahun ini terjadi setiap 2 menit 4 detik per orang.
Sedangkan pada 2011 setiap 1 menit 44 detik per orang. Artinya ada kenaikan
waktu 20 detik per orang.
Sedangkan
jumlah kejahatan transnasional yang ditangani Polri mengalami peningkatan.
Penyelundupan narkotika dari luar negeri ke Indonesia merupakan kejahatan
transnasional yang paling menonjol. Jenis kejahatan lain adalah terorisme, trafficking, kejahatan dunia maya (cyber crime), dan penyelundupan manusia.
Sepanjang 2012, Mabes Polri menangani 21.457 kasus transnasional. Angka
tersebut naik sekitar 24,78 %dari tahun sebelumnya yang berjumlah 16.138 kasus.
Dari total 21.457 kasus kejahatan transnasional (2012), Polri baru merampungkan
16.884 kasus,sementara sisa tahun sebelumnya sebanyak 4.573 kasus masih menjadi
pekerjaan rumah bagi Polri untuk dituntaskan pada 2013 ini.
Tingkat
kriminalitas Ibu Kota DKI Jakarta juga mengalami penurunan. Kepolisian Daerah
Metro Jaya menyatakan bahwa jumlah kasus tindak pidana sepanjang 2012 mengalami
penurunan sebesar 5,86 persen.Berdasarkan catatan Polda Metro Jaya, pada 2012
terjadi 54.391 kasus tindak pidana, angka ini menurun dibandingkan 2011 yaitu
57.779 kasus, atau turun sebanyak 3.388 kasus. Selain itu, prosentase tingkat
penyelesaian tindak pidana mengalami kenaikan, di mana pada tahun 2011 tercatat
56,57 persen dan meningkat pada 2012 menjadi 59,67 persen.[7]
Pada tahun 2012 terdapat
11 jenis kasus kejahatan konvensional yang menonjol, seperti pencurian dengan
kekerasan, pencurian dengan pemberatan, penganiayaan berat, pembunuhan,
kebakaran, judi, narkoba dan pemerkosaan.Kasus-kasus kejahatan tersebut mengalami
penurunan dari 22.518 kasus pada tahun 2011 menjadi 20.855 kasus pada 2012.Pencurian
dengan kekerasan mencapai 1.094 kasus, pembunuhan (69 kasus), kebakaran (707
kasus), pemerasan (495 kasus), narkotika (4.836 kasus), kenakalan remaja (41
kasus), pencurian dengan pemberatan (5.862 kasus), pencurian kendaraan bermotor
(5.210 kasus), judi (506 kasus) dan pemerkosaan (55 kasus).[8]
4.
Pencegahan Kejahatan oleh Polri
Dalam Rencana Strategis (Renstra) Polri 2010-2014 disebutkan
bahwa kebijakan pencegahan kejahatan diarahkan pada deteksi dini melalui
program pemolisian masyarakat (Polmas). Tujuan
penerapan Polmas adalah terwujudnya kerjasama polisi dan masyarakat lokal
(komunitas) untuk menanggulangi kejahatan dan ketidak-tertiban sosial dalam
rangka menciptakan ketenteraman umum dalam kehidupan masyarakat setempat. Menanggulangi
kejahatan dan ketidaktertiban sosial mengandung makna bukan hanya mencegah
timbulnya tetapi juga mencari jalan keluar pemecahan permasalahan yang dapat
menimbulkan gangguan terhadap keamanan dan ketertiban yang bersumber dari
komunitas itu sendiri.
Untuk memungkinkan
terbangunnya kerjasama yang menjadi tujuan penerapan Polmas sebagaimana telah
diuraikan di atas, maka sasaran yang harus dicapai adalah : pertama, membangun Polri yang dapat dipercaya oleh
warga setempat ; dan kedua, membangun
komunitas yang siap bekerjasama dengan Polri termasuk dengan pemerintah daerah
dalam meniadakan gangguan terhadap keamanan dan ketertiban serta menciptakan
ketenteraman warga setempat. Polri yang dapat dipercaya tercermin dari sikap
dan perilaku segenap personel Polri baik dalam kehidupan pribadi sebagai bagian
dari komunitas maupun dalam pelaksanaan tugas mereka, yang menyadari bahwa
warga komunitas adalah stakeholders kepada siapa mereka dituntut untuk
menyajikan layanan kepolisian sebagaimana mestinya.
Sedangkan komunitas yang
siap bekerjasama adalah kesatuan kehidupan bersama warga yang walaupun dengan
latar belakang kepentingan yang berbeda, memahami dan menyadari bahwa
kepentingan penciptaan situasi keamanan dan ketertiban umum merupakan
tanggungjawab bersama antar warga, antara warga dengan polisi. Harapan ke depan
melalui Polmas ini, kemitraan, sinergitas Polri - Masyarakat - Pemerintah dapat
terbangun dan bermanfaat bagi
masyarakat. Melalui Polmas potensi-potensi gangguan keamanan dan
konflik-konflik sosial secara dini dapat di ketahui (early detection) dan sebagai peringatan dini (early warning) untuk segera diambil langkah awal pelayanannya (aksi
dini), agar tidak menjadi gangguan nyata serta menjadi meluas.
Untuk
meningkatkan kinerja pencegahan kejahatan dalam rangka penyelenggaraan keamanan,
arah kebijakan dan strategi yang dikembangkan Polri antara lain adalah :
a. Pelaksanaan Polmas akan
menjangkau semua titik sebaran pelayanan dengan
kualitas pelayanan prima.
b. Memperkuat Polsek sebagai
unit pelayan terdepan.
c. Melembagakan Polmas di
seluruh desa dan komunitas dalam mendukung
pencagahan kejahatan.
d. Membangun citra Polisi
pelayan masyarakat yang tegas dan humanis
.
e.
Mendorong terbangunnya
kemampuan keamanan swakarsa yangbesar dalam
komunitas;
f.
Membangun kemampuan
manajemen Kepolisian dalam rangka meningkatkan internal service yang efektif, efisien dan akuntabel;
g.
Membangun kemampuan leadership Kepolisian di semua strata
melalui merrit system berlandaskan
paradigma pelayanan untuk mewujudkan public
trust dan internal trust dalam
kinerja Kepolisian;
h.
Mewujudkan sistem
penghargaan terhadap prestasi kinerja anggota Polisi dan komponen keamanan swakarsa;
i.
Membangun sistem pengawasan
dan pengendalian yang objektif dan edukatif dalam rangka mewujudkan manajemen
Kepolisian sebagai sub sistem dari good
governance dan clean goverment.
Pelaksanaan tugas secara preemtif dan
preventif yang didukung dengan sumberdaya yang optimal diharapkan dapat mencegah,
menghambat dan menghentikan tindakan pelaku kejahatan yang sedang berupaya atau
sedang melakukan tindakan yang bertentangan dengan hukum. Selain itu juga untuk
melindungi masyarakat dari ancaman perbuatan atau perbuatan pelaku kejahatan
yang dapat menimbulkan korban jiwa maupun kerugian harta benda, sehingga akan
terciptaknya rasa aman bagi masyarakat. Kehadiran aparat kepolisian diberbagai
tempat sangat dibutuhkan untuk mencegah munculnya gangguan kamtibmas. Respon
cepat yang diberikan aparat kepolisian atas berbagai laporan/ pengaduan
masyarakat dapat meningkatkan citra dan kepercayaan masyarakat atas kinerja
pelayanan Polri. Meningkatnya kepercayaan masyarakat atas kinerja Polri
selanjutnya akan mendorong berkembangnya dukungan dan partisipasi masyarakat
dalam memelihara kamtibmas.
Keberhasilan pelaksanaan pencegahan
kejahatan akan memberikan dampak meningkatnya kinerja pelayanan kamtibmas Polri
secara nasional. Keberhasilan pencegahan kejahatan selanjutnya akan memberikan
kontribusi yang cukup besar bagi tercapainya tujuan Polri. Keberhasilan ini
juga akan ditandai dengan meningkatnya partisipasi masyarakat dan pihak-pihak
terkait (stakeholders) dalam
pelaksanaan tugas-tugas Polri, sehingga akan terbangun kemitraan Polri dengan
berbagai pihak (partnership building).
Keberhasilan Polri dalam membangun kemitraan dengan berbagai pihak merupakan
manifestasi dari keberhasilan pelaksanaan Renstra Polri 2010-2014 dan Grand
Strategy Polri. Dengan terwujudnya kinerja pencegahan kejahatan oleh
Polri, maka diharapkan dapat memelihara kamtibmas, sehingga diharapkan
juga memberikan kontribusi terhadap keamanan dalam negeri.
5.
Kerjasama Pencegahan Kejahatan
a. Dengan
TNI
Kondisi
gangguan Kamtibmas dan Kamdagri didaerah dikaitkan dengan keterbatasan dari
Kesatuan, mengharuskan untuk meminta bantuan baik dari kesatuan atas maupun
kesatuan samping yaitu unsur TNI. Namun dalam pelaksanaannya masih belum
optimal dikarenakan masih terkendala oleh hal sebagai berikut :
1) Belum
adanya SOP bersama dalam langkah pencegahan kejahatan .
2) Komunikasi tersumbat antar aparat TNI dengan Polri; lemahnya
komunikasi antara aparat tersebut menyebabkan lemahnya pencegahan kejahatan.
b. Dengan
Pemda
Kerjasama
dengan Pemda belum dirasakan optimal hal tersebut dikarenakan belum Pemda belum sepenuhnya dapat memberikan dukungan anggaran
yang merupakan salah satu unsur utama dalam pencegahan kejahatan / menyangkut masalah kamtibmas. Karena kebanyakan pejabat Pemda memiliki pemahaman bahwa masalah
Kamtibmas adalah urusan kepolisian. Kemudian Polri belum sepenuhnya dilibatkan
dalam pembuatan kebijakan terkait dengan pemeliharaan kamtibmas.
c. Dengan
Masyarakat
Untuk melihat bagaimana kondisi kerjasama dengan
masyarakat dalam pencegahan kejahatan,
sebagai contoh dapat
dilihat dari data Pokdar (Kelompok Sadar) Kamtibmas
di Polres Metro Jakarta
Barat
yang masih aktif yaitu
2.960 orang, sedangkan di Polres Bogor data Pokdar Kamtibmas yang masih aktif
150 orang. Adapun kegiatan yang dilaksanakan adalah :
1) Melaporkan situasi Kamtibmas di wilayah
masing-masing baik rutin maupun insidentil.
2) Bersama anggota Bhabinkamtibmas
mengidentifikasi masalah yang ada dilingkungan masing-masing.
3) Menganalisa dan melakukan
langkah-langkah pemecahan masalah.
Jika
dibandingkan dengan jumlah penduduk maka di Polres Metro Jakarta Barat
hanya 0,10% dari jumlah penduduk 2,8
juta dan di Polres Bogor hanya 0,003% saja dari jumlah penduduk sebanyak 4,4
juta. Dengan melihat jumlah Pokdar tersebut, maka dapat diambil kesimpulan
bahwa kerjasama yang dilakukan dengan masyarakat masih belum optimal, hal
tersebut dikarenakan minimnya partisipasi masyarakat untuk tergabung kedalam
Pokdar Kamtibmas.
6.
Tolok Ukur Keberhasilan Pencegahan Kejahatan
Keberhasilan
dalam pencegahan kejahatan yang dilaksanakan oleh Polri akan ditandai dengan
indikator-indikator sebagai berikut :
a.
Minimnya
Tingkat Kriminalitas dan Gangguan Kamtibmas
Keberhasilan strategi pencegahan kejahatan Polri akan
ditandai dengan menurunnya kasus-kasus kejahatan dan gangguan kamtibmas
ditengah masyarakat. Kondisi ini akan ditandai dengan menurun atau minimnya
angka kriminalitas yang tercatat di kantor kepolisian setempat. Hal ini juga
menandakan adanya peningkatan kesadaran hukum dan partisipasi masyarakat untuk
melaporkan berbagai kasus kejahatan dan gangguan kamtibmas kepada aparat
kepolisian setempat.
b.
Minimnya
Keluhan Masyarakat
Indikator keberhasilan strategi pencegahan kejahatan
Polri juga ditandai dengan semakin menurun atau minimnya tingkat keluhan
masyarakat terhadap pelayanan kamtibmas Polri. Kondisi ini ditandai dengan
sedikit atau tidak adanya anggota masyarakat yang menyampaikan keluhan atas
berbagai pelayanan kamtibmas yang diberikan Polri. Hal ini dapat diketahui
melalui survey pelayanan publik Polri,
laporan yang diterima Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Komisi Ombudsman
atau berbagai informasi yang ada di media massa.
c.
Meningkatnya
Kepuasan Masyarakat
Keberhasilan strategi pencegahan kejahatan Polri juga
ditandai dengan meningkatnya kepuasan masyarakat atas kinerja pelayanan Polri.
Meningkatnya kepuasan masyarakat tersebut dapat diketahui dari meningkatnya
indeks kepuasan masyarakat dari hasil survey pelayanan Polri. Meningkatnya
kepuasan masyarakat dapat diketahui dengan meningkatnya dukungan masyarakat
atas Polri dan minimnya tingkat keluhan masyarakat atas kinerja pelayanan
Polri.
d.
Meningkatnya
Partisipasi Masyarakat
Menurun atau minimnya tingkat kejahatan dan gangguan
kamtibmas juga menunjukkan bahwa masyarakan ikut berperan serta dalam
memelihara situasi kamtibmas melalui berbagai laporan atau pengaduan atas
berbagai kasus kejahatan dan gangguan kamtibmas. Hal ini menunjukkan bahwa
masyarakat ikut berpartisipasi dalam mencegah terjadinya tindak kejahatan
dengan senantiasa memelihara kemanan dan ketertiban masyarakat (harkamtibmas)
dilingkungan sosialnya. Meningkatnya dukungan dan partisipasi masyarakat dalam
harkamtibmas juga menunjukkan semakin meningkatnya kepercayaan masyarakat atas
kinerja pelayanan Polri dan keberhasilan Polri dalam membangun kemitraan dengan
masyarakat dan stakeholders.
7.
Kebijakan dan
Strategi Pencegahan Kejahatan
Salah satu prasarat
berjalannya proses pembangunan nasional adalah terpeliharanya situasi keamanan
dalam negeri (kamdagri) yang kondusif. Untuk terselenggaranya pembangunan
nasional tersebut, Polri sebagai alat negara dibidang keamanan memiliki peran
dan tanggungjawab memelihara kamdagri. Hal ini sesuai amanat UU No. 2 Tahun
2002 Pasal 5, “Kepolisian Negara Republik
Indonesia merupakan alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan
ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan,
pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya
keamanan dalam negeri.” Dalam rangka pelaksanaan tugas dibidang keamanan
dalam negeri tersebut, selain menggunakan pendekatan represif (penindakan),
Polri juga harus menekankan pada pendekatan preventif
dan pre-emtif (pencegahan)
sebagaimana dijabarkan dalam Pasal 14 Ayat (1), yakni membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran
hukum masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan
perundang-undangan; turut serta dalam pembinaan hukum nasional; memelihara
ketertiban dan menjamin keamanan umum; melakukan koordinasi, pengawasan, dan
pembinaan terhadap bentuk-bentuk pengamanan swakarsa.
Salah satu bentuk
pendekatan pre-emtif dalam pencegahan
kejahatan (crime prevention) dilakukan
melalui pola kemitraan Polri dengan masyarakat dan pihak-pihak terkait (stakeholders). Kemitraan Polri dengan
masyarakat dan stakeholders
dibutuhkan karena masyarakat setempat yang paling mengetahui dan merasakan
berbagai persoalan kamtibmas dilingkungannya. Untuk itu, perlu adanya sinergi
antara Polri dengan masyarakat dan stakeholders
dalam memecahkan akar persoalan kejahatan. Keberhasilan sinergi Polri
dengan masyarakat dan stakeholders
dalam memecahkan persoalan kamtibmas akan dapat menciptakan rasa aman dan
nyaman masyarakat dalam melakukan aktivitasnya sehari-hari, sehingga proses
pembangunan nasional dapat terselenggara dengan baik dan lancar.
a.
Kebijakan
1) Memperkuat Polsek sebagai ujung tombak pemeliharaan
kamtibmas.
2) Melembagakan Polmas di seluruh desa dan komunitas dalam
rangka mencegah kejahatan dan gangguan kamtibmas.
3) Membangun citra Polisi sebagai mitra masyarakat.
4) Membangun kerjasama lintas sektoral/departemen dalam
rangka mewujudkan kamdagri.
5) Membangun kemampuan manajemen Kepolisian yang profesional
dan akuntabel dalam rangka kamdagri.
6) Mewujudkan sistem penghargaan terhadap prestasi kinerja
anggota Polisi dan komponen keamanan swakarsa.
7) Membangun sistem pengawasan dan pengendalian yang
objektif dan edukatif dalam rangka mewujudkan akuntabilitas Polri.
b.
Strategi
1)
Jangka
Pendek
a) Meningkatkan kualitas SDM
Polri melalui kegiatan pendidikan,
latihan serta seminar/workshop berkaitan dengan manajemen pencegahan kejahatan dan Polmas;
b) Secara bertahap meningkatkan
jumlah personil Polmas di tingkat Polsek yang akan ditugaskan untuk membangun
kemitraan Polri dengan masyarakat;
c) Membangun forum kemitraan Polri dengan masyarakat, untuk
merumuskan program pencegahan kejahatan dan
harkamtibmas;
d) Melembagakan Polmas di
seluruh desa dan komunitas dalam rangka pencegahankejahatan dan harkamtibmas;
e) Membangun jaringan informasi personal (contact person) untuk memotong jalur birokrasi dan kecepatan bertindak
apabila sewaktu-waktu ada informasi penting terkait kejahatan atau gangguan kamtibmas;
f) Membangun komunikasi dan
interakasi yang baik dengan para tokoh agama, tokoh masyarakat dan tokoh adat
dalam rangka pencegahan kejahatan dan harkamtibmas;
g) Membangun kerjasama dengan pemda dan DPRD setempat dalam rangka mendapatkan dukungan anggaran pencegahan
kejahatan yang bersumber dari
APBD.
h) Membangun kerjasama dan
koordinasi dengan instansi terkait dalam rangka pencegahan kejahatan dan
harkamtibmas.
i)
Membangun
kerjasama pengawasan kamtibmas dengan media massa, LSM dan ormas.
j) Membangun kerjasama dengan instansi terkait untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran hukum masyarakat.
k) Menerapkan
rewards and punishment secara
konsisten untuk meningkatkan motivasi anggota Polri dalam
melaksanakan tugas harkamtibmas.
2)
Jangka
Menengah
a) Melanjutkan program jangka
pendek yang belum terlaksana atau belum selesai.
b) Penyusunan sistem
penganggaran berbasis kinerja untuk pemeliharaan kamtibmas di seluruh satker dan satuan wilayah.
c) Meningkatkan alokasi
anggaran program Polmas guna mendorong terbangunnya kemitraan Polri dengan
masyarakat dan stakeholders dalam
rangka pencegahan kejahatan.
d) Membangun sistem koordinasi antar satker dan satuan
kewilayahan dalam upaya pencegahan kejahatan dan
gangguan kamtibmas.
e) Memperkuat struktur organisasi Polsek sebagai ujung
tombak harkamtibmas dengan mengembangkan Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat
(FKPM) Polmas sebagai sarana pemecahan akar permasalahan sosial dan pencegahan
kejahatan.
f) Membangun forum-forum kerukunan sosial di seluruh desa
atau komunitas, yang menyatukan berbagai keragaman suku, ras, agama dan budaya
masyarakat dalam rangka membangun kerjasama dan toleransi antar kelompok
masyarakat.
g) Mengembangkan sistem peringatan dini (early warning system) di setiap satuan
kewilayahan yang mampu mendeteksi setiap potensi kejahatan dan gangguan
kamtibmas, sehingga dapat dilakukan antisipasi atau pencegahan.
h) Melakukan pemetaan wilayah rentan kejahatan di setiap
satuan kewilayahan yang berisi data atau informasi riwayat kejahatan,
bentuk-bentuk dan modus kejahatan, faktor-faktor penyebab terjadinya kejahatan
serta pihak-pihak yang terlibat dalam kejahatan tersebut.
i) Menyusun pedoman pencegahan
kejahatan yang akan menjadi panduan seluruh satuan kewilayahan dalam mengelola
potensi kejahatan dan gangguan kamtibmas ditengah masyarakat.
j) Membangun mekanisme pengaduan dan pengawasan berbasis teknologi untuk kecepatan merespon setiap pengaduan masyarakat atas berbagai bentuk kejahatan dan
gangguan kamtibmas.
3)
Jangka
Panjang
a) Melanjutkan program-program jangka menengah yang
belum terlaksana atau belum selesai.
b) Menginvertarisir dan merevisi kebijakan dan strategi maupun petunjuk-petunjuk
operasional pencegahan
kejahatan yang masih
lemah.
c) Meningkatkan
partisipasi tokoh masyarakat/adat/agama, LSM, Ormas dan pihak-pihak terkait
lainnya dalam rangka pencegahan kejahatan
danharkamtibmas;
d) Memperluas titik-titik jangkauan pelayanan Polri di
lingkungan masyarakat
dalam rangka mencegah terjadinya kejahatan atau gangguan kamtibmas.
e) Membangun sistem renumerasi dan pembinaan personil yang
dapat memberikan insentif bagi setiap personil Polri yang berkinerja baik dalam menjalankan tugas pokoknya.
f) Melanjutkan/
melaksanakan kerja sama dengan instansi terkait dalam rangka pendidikan,
pelatihan dan teknologi guna mengantisipasi kejahatan
dan membangun kerukunan antar kelompok masyarakat.
g) Melakukan
monitoring dan evaluasi secara komprehensif terhadap kinerja pencegahan kejahatan Polri selama ini guna mengembangkan
atau memperbaiki sistem pencegahan kejahatan.
h) Memberikan
masukan kepada Pemerintah
dan DPR terkait dengan berbagai kendala atau permasalahan dalam penerapan kebijakan pencegahan kejahatan.
[1]Durkheim, Emille.The Division of Labour in Society.
Glencoe, Illinois: Free Press, 1933.
[2]Robert O’Block L.Security and Crime Prevention.Mosby Company, St Louis, 1981, hal. 1-3.
[3]Robert J. Fischer and Gion Green.Introduction to Security. Elsevier Science USA, Butterworth Heinemann, sixth Ed,1998, hal. 144.
[4]Paparan
KapolriJenderal Pol. Timur Pradopo dalam Laporan Akhir Tahun 2012 di Mabes
Polri, Jakarta, 28 Desember 2012.
[5]Pernyataan Kapolda
Metro Jaya dalam Keterangan Pers di Main Hall Polda Metro Jaya, 27 Desember
2012.
[6]Paparan Kapolri
Jenderal Pol. Timur Pradopo dalam Laporan Akhir Tahun 2012 di Mabes Polri,
Jakarta, 28 Desember 2012.
[7]Pernyataan Kapolda
Metro Jaya dalam Keterangan Pers di Main Hall Polda Metro Jaya, 27 Desember
2012.
[8] TribunNews.com,
Catatan Akhir Tahun 2012 : Inilah Jumlah Kasus Kriminal di Ibukota Jakarta. http://wartakota.tribunnews.com/detil/berita/113218/Inilah-Jumlah-Kasus-Kriminal-di-Ibukota-Jakarta