Wednesday, October 22, 2014

KODE ETIK UNTUK MENUNJANG PROFESIONALISME POLISI



Oleh : Prof. Dr. Parsudi Suparlan


1.      Pendahuluan.

Tulisan ini adalah mengenai pentingnya kode etik kepolisian bagi para petugas kepolisian dalam tugas-tugas mereka sehingga mereka itu dinilai oleh umum sebagai petugas profesional.  Yang ingin ditunjukkan dalam tulisan ini adalah apa itu profesionalisme dan unsur-unsur penunjangnya sehingga seseorang itu digolongkan sebagai tenaga profesional dan bukannya seorang tenaga amatiran atau yang tidak becus.  Lebih lanjut, dalam tulisan ini ingin ditunjukkan bahwa salah satu unsur pendukung utama bagi terwujudnya profesionalisme yang dipunyai oleh seseorang  adalah bahwa orang tersebut dalam tugas-tugasnya berpedoman pada etika yang melandasi tindakan-tindakan kerjanya, yaitu jujur, terpercaya, dan mutu kerjanya terjamin.  Dalam organisasi profesional, etika tersebut dirumuskan dan dibakukan oleh organisasi tersebut sebagai kode etik atau aturan-aturan etika yang diberlakukan bagi anggota-anggota organsiasi dalam tugas-tugas mereka.  Kode etik dibuat agar tugas-tugas dari anggota-anggota organisasi tersebut dijamin profesionalismenya.  Acuan bagi pembuatan kode etik sebuah organisasi adalah kebudayaan terutama nilai-nilai budaya dan tujuan dari kegiatan-kegiatan organisasi tersebut.

Profesionalisme bagi petugas kepolisian adalah sebuah syarat utama yang tidak bisa ditawar, karena tugas-tugas kepolisian adalah tugas-tugas profesional yang pada intinya adalah to serve (melayani) dan to protect (melindungi) yaitu tugas-tugas yang berkenaan dengan kenyamanan dan ketentaraman hidup baik secara pribadi maupun secara sosial dan berkenaan dengan keamanan dan keselamatan diri, nyawa dan harta benda dari mereka yang dilayani dan dilindungi oleh polisi.  Dan melakukan penegakkan hukum agar keteraturan sosial dapat dijamin kelestariannya dan yang melanggar hukum serta merusak keteraturan sosial dapat dicegah serta ditangani secara hukum yang berlaku, untuk disingkirkan dari kehidupan sosial masyarakat yang bersangkutan. 

Tanpa pedoman etika atau kode etik yang dijadikann acuan bertindak maka petugas kepolisian dapat tidak secara profesional melayani dan melindungi warga dan melakukan tindakan-tindakan penegakkan hukum.  Begitu juga, petugas kepolisian dapat melakukan perbuatan-perbuatan tercela atau bahkan melanggar hukum misalnya, bertindak sebagai petugas dan atas nama kepolisian, tetapi untuk kepentingan diri sendiri dan kerabat atau teman-temannya atau melakukan pemerasan sehingga merugikan warga dan publik yang seharusnya dilayani dan dilindungi. 

Perbuatan-perbuatan tersebut dapat dilakukannya, karena petugas kepolisian mempunyai kekuasaan memaksa yang sah secara hukum yang sebenarnya ditujukan untuk pelayanan dan perlindungan warga dan publik, tetapi kekuasaan tersebut dapat diselewengkan atau dimanipulasi untuk kepentingan diri si petugas atau kelompoknya.  Untuk menjamin agar tugas-tugas pelayanan dan perlidungan serta penegakkan hukum oleh petugas kepolisian itu berjalan sebagaimana seharusnya, atau dilakukan secara profesional, maka organisasi-organisasi kepolisian di seluruh dunia telah membuat, memantapkan, dan memberlakukan kode etik kepolisian serta melakukan pengendalian tindakan-tindakan para petugas kepolisian mereka agar mereka mentaati kode etik dalam tugas-tugas pemolisian.  Dalam tulisan ini akan diuraikan apa itu profesionalisme, polisi sebagai organisasi profesional yang dimantapkan melalui pembentukan kebudayaan polisi dan pembuatan kode etik kepolisian, serta pengendalian secara internal dalam pelaksanaan kode etik oleh petugas\kepolisian dalam tugas-tugas.           

2.      Profesionalisme 

Profesionalisme adalah kinerja atau kerja yang ditunjukkan oleh seseorang, yaitu seorang profesional, melalui tindakan-tindakan dan sikap-sikapnya, dimana dia tahu apa yang dikerjakannya dan menghasilkan pekerjaan yang bermutu yang memuaskan bagi yang dilayani atau yang memesan pekerjaannya.  Seorang profesional memperoleh gaji atau uang yang cukup dari profesi yang ditekuninya (lihat: Farris 2005:784-787).  

Pengertian profesionalisme mencakup unsur-unsur:  (1) Ciri-ciri seorang profesional, yaitu: seorang yang ahli dalam bidangnya, yang tugas utamanya secara langsung atau tidak lansung adalah melayani umum atau kepentingan komuniti, mempunyai kemampuan pengendalian diri yang tinggi, dan yang dalam tindakan-tindakannya berpedoman pada kode etik.  Kode etik yang dipunyainya adalah sebuah pernyataan mengenai nilai-nilai yang dijunjung tinggi, yang menjamin bahwa pelayanannya bermutu tinggi, yang menjamin kompetensinya dalam menjalankan dan menyelesaikan tugas-tugas pekerjaannya, yang menjamin bahwa dalam tugas-tugas pekerjaanya dia tidak mengambil keuntungan pribadi dari yang dikerjakannya karena penekanan tugas-tugasnya adalah pada pelayanan dan jaminan mutu akan pelayanannya dan karena dia telah dibayar atau digaji oleh organisasinya.

Sebagai seorang yang ahli dalam bidangnya seorang profesional mempunyai kemampuan dalam penggunaan dan penerapan teori untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi, mempunyai kemampuan untuk menciptakan sesuatu solusi atau pemecahan masalah dan dalam memproses serta menanganinya, mempunyai keterikatan pada dan mengutamakan kepentingan yang dilayani, dan mempunyai rasa tanggung jawab untuk lebih banyak belajar dan mendalami berbagai masalah yang ada dan berkaitan dengan bidang profesinya agar dapat menjalankan tugas-tugas profesinya secara lebih baik lagi.     

Oleh karena itu, seorang profesional bukan hanya cukup mempunyai pengetahuan yang diperolehnya dari sesuatu jenjang pendidikan formal dan umum tetapi juga harus melalui berbagai macam dan tahapan pendidikan latihan yang khusus atau spesialisasi, sesuai dengan bidang keahlian yang ditekuninya.  Melalui tahapan-tahapan jenjang pendidikan dan latihan keahlian tersebut, seorang profesional bukan hanya belajar dan mendalami bidang profesinya tetapi juga belajar dan meyakini ketentuan-ketentuan moral yang ada dalam kode etik profesinya.  Seorang tenaga profesional biasanya tergabung dalam dan menjadi anggota dari sebuah organisasi profesional (seorang pengacara biasanya menjadi anggota asosiasi pengacara, misalnya) atau dia bekerja dalam sebuah organisasi profesional (seorang petugas kepolisian, misalnya). 

Organisasi profesional biasanya menyelenggarakan pendidikan dan latihan bagi para anggota-anggotanya yang profesional.  Karena organisasi-organsasi profesi.tersebut merasa bertanggung jawab atas profesionalisme dari para tenaga profesional yang menjadi anggotanya, dengan alasan bahwa  organisasi-organisasi profesi tersebut merasa turut bertaggung jawab terhadap umum dan warga masyarakat yang dilayani oleh tenaga-tenaga profesional yang menjadi anggota-anggota mereka.  Organisasi-organisasi profesi inilah yang membuat dan menerapkan berlakunya kode etik profesi bagi anggota-anggotanya, dan menjatuhkan sanksi hukuman bagi pelanggaran yang mereka lakukan.

Bukan hanya organisasi-organisasi profesi yang secara aktif melakukan kegiatan-kegiatan hubungan baik dengan warga dan umum, tetapi tenaga-tenaga profesional juga melakukan hubungan dengan warga dan umum melalui kegiatan-kegiatan pelayanan mereka.  Penilaian mengenai mutu profesionalisme sebuah organisasi profesi ditentukan oleh warga dan umum mengenai kemampuan dari tenaga-tenaga profesional yang tergabung dalam organisasi yang bersangkutan di dalam memberikan layanan kepada warga dan umum.  Karena itu sesuatu perbuatan melanggar kode etik profesi yang dilakukan oleh seorang petugas profesional dari sebuah organisasi akan mencoreng nama baik profesionalisme dari organisasi profesi yang bersangkutan. 
    
3.      Polisi : Organisasi dan Administrasi Kepolisian

Polisi adalah organisasi atau badan atau pranata pemerintahan, yang melaksanakan kebijakan pemerintah pada tingkat nasional, sedangkan pada tingkat lokal atau lapangan bukan hanya menjalankan kebijakan pemerintah tetapi juga membuat kebijakan-kebijakan untuk menciptakan dan menjamin terwujudnya keteraturan sosial dan keamanan umum, dan melindungi warga dan harta benda mereka dari gangguan tindak kejahatan.  Polisi adalah badan atau organisasi yang diberi kewenangan oleh negara untuk menggunakan paksaan dan berbagai bentuk dan cara paksa secara hukum dalam upaya menciptakan dan menjamin terwujudnya keteraturan sosial dan kesejahteraan umum. 

Terdapat kesan umum seolah-olah tugas polisi adalah hanya memerangi kejahatan, menggunakan cara-cara kekerasan, dan menerapkan hukum pidana terhadap tersangka kejahatan, sebagaimana kesan yang diperoleh dari siaran berbagai saluran media elektronik, pertunjukan film, dan siaran berita media massa.  Kesan umum tersebut, terutama di Amerika Serikat, telah terbentuk secara akumulatif dari banyaknya serial lakon-lakon film tentang kejahatan terorganisasi yang terjadi di tahun 1930an di Amerika Serikat dan peranan dari para petugas FBI (Federal Bureau of Investigation) sebagai penegak hukum yang telah memerangi dan menumpas mereka.  

Padahal sebenarnya, tugas utama polisi dalam menangani kejahatan adalah dengan cara mencegah terjadinya kejahatan; terutama di daerah perkotaan dan bukannya memerangi para penjahat.  Begitu pula, sebetulnya tugas kepolisian dalam memerangi kejahatan dan menerapkan hukum pidana terhadap tersangka penjahat adalah kecil bila dilihat perbandingannya dalam ruang lingkup cakupan tugas kepolisian.  Sesungguhnya, tugas utama dan terbanyak dari polisi adalah berkaitan dengan pemeliharaan kemantapan keteraturan sosial dan berbagai bentuk pelayanan dan perlindungan kepada warga, komuniti, dan umum (Neocleous 2004: 93-94).        

Sebagaimana yang ditegaskan oleh Sir Robert Peel (Walker 1977), dan yang biasanya dinamakan sebagai prinsip-prinsip Peel, dinyatakan bahwa:
1.      Misi utama mengapa polisi itu ada adalah untuk mencegah terjadinya kejahatan dan ketidak teraturan atau kekacauan dalam kehidupan
2.         Kemampuan polisi dalam menjalankan tugas-tugasnya tergantung pada 
        persetujuan dan dukungan umum atau publik
3.         Polisi harus mampu untuk mengendalikan keinginan publik dalam turut serta 
       secara sukarela dalam menjalankan penegakkan hukum dengan cara sedemikian rupa, sehingga polisi tetap dapat mengendalikan dan mempertahankan rasa hormat publik kepadanya, dan bukan sebaliknya dimana polisi berada di bawah kendali kepentingan sosial atau politik atau ekonomi sekelompok warga atau     sebagian dari komuniti atau publik
4.         Tingkat kerjasama dengan dan cara-cara pengendalian publik harus dilakukan
        sedemikian rupa, sehingga tidak terjadi tindak kekerasan fisik
5.      Usaha polisi untuk memperoleh simpati dan dukungan publik tidak berarti harus dilakukan dengan cara mengikuti kehendak mereka, tetapi dengan cara yang secara mutlak dan tidak setengah-setengah dalam menjalankan tugas-tugas pelayanan dan penegakkan hukum tanpa pandang bulu
6.         Polisi hanya menggunakan cara paksa dan kekerasan fisik sesuai ketentuan 
      hukum apabila dengan cara-cara persuasif, pemberian nasehat dan saran, serta pemberian peringatan ternyata tidak berhasil
7.        Setiap saat polisi harus tetap menjaga hubungan baik dengan publik, karena polisi adalah publik dan publik adalah polisi, polisi hanya merupakan anggota dari publik yang dibayar dengan uang pajak publik untuk memperhatikan dan menjaga kepentingan dan keselamatan warga dan memperhatikan keberadaan serta kepentingan kesejahteraan komuniti dan publik
8.   Polisi harus bertindak sesuai fungsinya dan tidak seharusnya memanfaatkan fungsinya tersebut untuk kepentingan yang lain
9.         Keberhasilan dari tugas polisi adalah pada tidak adanya tindak kejahatan atau 
      tidak adanya ketidak teraturan, dan bukannya pada bukti-bukti tentang tindakan polisi di dalam menangani tindak kejahatan.   

Dengan mengikuti model Robert Peel (Cordner 2005: 11), polisi di seluruh dunia “berada di bawah kontrol pemerintah dan diorgansiasi seperti organisasi militer”.  Disamping diorganisasi secara militer, polisi juga diorganisasi dengan mengikuti teori birokrasi klasik atau birokrasi impersonal dari Weber, dimana diterapkan satuan komando, rentang kendali, dan delegasi kewenangan dari jenjang atas ke jenjang bawah yang coraknya terpusat seperti sebuah piramida, dengan hierarki yang ketat dari pusat ke daerah-daerah dan dari jenjang paling atas sampai dengan ke jenjang paling bawah, dan dengan ketentuan disiplin yang tinggi (Souryal 2005: 571- 572).  Lebih lanjut, Souryal (2005:572-573) menyatakan bahwa organisasi polisi yang isinya adalah pengorganisasian kewenanngan dan pendelegasiannya, mengikuti prinsip-prinsip birokrasi yang mengkoordinasikan aktivitas polisi yang kompleks dan penuh bahaya menjadi aktivitas yang efisien dan efektif.  Prinsip-prinsip yang tercakup dalam birokrasi tersebut adalah:
1.      Suatu hierarki atau jenjang kekuasaan;
2 .     Pembagian pekerjaan dalam fungsi-fungsi dan satuan-satuan  kewilayahan;
3.      Kesatuan perintah;
4.      Spesialisai fungsi-fungsi;
5.      Cakupan kontrol dan mekanismenya;
6.      Pendelegasian kekuasaan; dan
7.      Komunikasi formal. 
    
Disamping itu, Souryal (2005: 572-573) menyatakan bahwa prinsip-prinsip bi9rokrasi tersebut diatas secara bersama-sama dan secara keseluruhan telah membangkitkan dan memantapkan suasana kemilitersan formal.  Otoritas atau kewenangan merupakan tulang punggung dari organisasi ini yang berjalan dengan baik karena didukung oleh prinsip-prinsip tersebut diatas.  Walaupun dalam salah satu prinsipnya, komunkasi yang berlaku adalah formal, sebagaimana yang seharusnya berlaku dalam sebuah organisasi kemiliteran, tetapi adalah tidak mungkin untuk dapat mengefektifkan dan mengefisienkan kewenangan dalam bentuk tindakan-tindakan operasional bila komunikasi yang berlangsung hanya bersifat formal.  Bentuk-bentuk komunikasi tidak formal disamping yang formal yang berkembang telah memungkinkan terwujudnya efesiensi dan efektifitas perintah-peruntah dan pesan-pesan serta arahan-arahan dari jenjang diatas kepada jenjang-jenjang yang di bawah, dan juga diantara mereka yang berada dalam jenjang yang sama.  Diantara mereka yang berada dalam jenjang yang sama, melalui komunikasi yang tidak formal, telah berlangsung berbagai bentuk kerjasama dan solidaritas yang produktif.      

Organisasi polisi melalui adminsitrasinya juga melakukan penstrukturan dan penstrukturan kembali serta pemantapan kebudayaan polisi serta sumber daya, manajemen organisasi kepolisian dan lingkungannya (Cordner 2005: 11-12), dalam upaya membangun kepolisian yang profesionsal.  Patut dicatat, bahwa kepolisian di Amerika Serikat baru betul-betul dapat dibangun secara profesional setelah polisi dapat membebaskan diri dari pengaruh kekuatan partai-partai politik yang berkuasa.  Manajemen dalam organisasi polisi atau proses-proses administrasi yang diatur dan dikendalikan oleh pejabat-pejabat administrasi kepolisian mencakup perencanaan, pengorganisasian, pengaturan, personalia, pengarahan, pengkordinasian, pelaporan, dan penganggaran.  Organisasi polisi menentukan sejumnlah tugas-tugas polisi yang diperinci dalam sejumlah fungsi sesuai dengan tujuan organisasi.

Diantara fungsi-fungsi tersebut yang merupakan fungsi utama adalah fungsi operasional yang bersifat pre-emtif, preventif, dan represif.  Fungsi operasional ini adalah fungsi yang kritikal dalam bangunan citra polisi dalam masyarakat atau umum.  Karena, petugas-petugas kepolisian yang mengemban fungsi tersebut adalah yang berhubungan langsung dengan lingkungan kepolisian yang dilayani dan dilindungi yaitu warga, komuniti, umum, dan masyarakat luas.  Para petugas kepolisian dalam fungsi operasional ini, dengan sadar ataupun tanpa disadari telah melakukan hubungan antar-budaya dengan lingkungan yang dilayaninya, dan melalui serta dalam proses-proses hubungan antar-budaya tersebut muncul berbagai bentuk perpaduan serta penyesuaian ataupun pertentangan budaya diantara keduanya yang terwujud sebagai citra polisi di mata mereka yang dilayani oleh polisi.  Citra polisi sebagai produk dari hubungan antar-budaya tersebut ditentukan oleh berbagai corak dan kualitas mutu atau profesionalisme dalam tindak pelayanan dan pengayoman serta dalam penegakan hukum yang dilakukan oleh para petugas kepolisian yang mengemban tugas-tugas fungsi operasional.  Seringkali polisi sendiri tidak menyadari akan hal itu, bahkan tidak menyadari bahwa pemahaman mereka mengenai kebudayaan polisi dan operasionalisasi dari kebudayaan polisi melalui kode etik kepolisian itu sering mereka abaikan oleh karena beberapa faktor penyebab.  Lebih-lebih lagi adalah pengabaian pemahaman terhadap kebudayaan-kebudayaan yang ada dalam lingkungan kepolisian yang harus mereka hadapi dalam tugas-tugas kepolisian, agar tugas-tugas pemolisian mereka itu dapat berjalan secara efisien dan efektif hasilnya.

4.      Kebudayaan, Kebudayaan Polisi, dan Kode Etik Kepolisian

Kebudayaan dapat dilihat sebagai pengetahuan dan keyakinan-keyakinan yang dipunyai menusia mengenai dirinya dan lingkungannya beserta segala isnya, serta posisi dirinya dalam lingkungan yang dikonsepsikannya tersebut,  Lingkungan yang dimaksud mencakup lingkungan alam, fisik, dan sosial.  Isi dari setiap kebudayaan adalah konsep-konsep dengan masing-masing sistem-sistem maknanya, aturan-aturan atau norma-norma, resep-resep, formula-formula, petunjuk-petunjuk serta larangan-larangan, dan nilai-nilai.  Inti atau puncak dari kebudayaan adalah nilai-nilai yang dipunyai oleh dan yang ada dalam kebudayaan tersebut yaitu yang dinamakan nilai-nilai budaya. 

Dalam setiap kebudayaan terdapat nilai-nilai budaya yang baku atau seringkalai juga dilihat sebagai nilai-nilai yang ideal yang biasanya dinamakan pandangan hidup atau world view, disamping nilai-nilai budaya yang operasional dalam kegiatan-kegiatan kehidupan manusia yang dinamakan etos atau ethos, yang tidak baku dan dapat berubah-ubah, seperti misalnya etos belajar, etos kerja, dsb.nya.   Isi yang mendasar dari setiap kebudayaan adalah sistem-sistem penggolongan yang menghasilkan konsep-konsep, golongan-golongan, metode-metode, dan teori-teori.  Teori tentang sakit sebagai lawan dari sehat dalam kebudayaan Jawa misalnya, berbeda dari yang ada dalam kebudayaan Barat atau kebudayaan-kebudayaan lainnya.  Sakit yang namanya masuk angin misalnya, hanya dikenal dalam kebudayaan Jawa yang sekarang menyebar dan dikenal di seluruh Indonesia.  Di balik konsep masuk angin ini, terdapat sistem-sistem penggolongan yang mencakup konsep-konsep yang yang mendukung dan yang berlawanan dengan masuk angin, teori atau teori-teori tentang sebab-sebab terjadinya dan cara-cara atau metode-metode atau resep-resep untuk pengobatannya, dsb.nya*).    

Fungsi kebudayaan dalam dan bagi kehidupan manusia adalah sebagai pedoman bagi kehidupannya dalam menghadapi dan memanfaatkan lingkungan beserta isinya untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup sebagai manusia.  Kebutuhan-kebutuhan hidup manusia mencakup kebutuhan-kebutuhan biologi, sosial, dan adab.  Kebudayaan ada dalam dan operasional melalui diri orang perorang dan pranata-pranata yang ada dalam sebuah kelompok atau masyarakat, dan karena itu kebudayaann ada dalam dan dimiliki oleh kelompok, organisasi, komuniti dan masyarakat (lihat Suparlan 1986, 2005).

Dengan mengacu pada pengertian kebudayan seperti tersebut diatas, saya melihat kebudayaan polisi sebagai pengetahuan dan keyakinan-keyakinan yang dipunyai polisi sebagai organisasi atau pranata mengenai dirinya dan lingkungannya beserta isinya, dan mengenai posisinya dalam lingkungannya tersebut.  Fungsi kebudayaan polisi adalah sebagai pedoman bagi kehidupan polisi sebagai organiasi atau pranata pemerintahan dalam menghadapi dan memanfaatkan lingkungan beserta isinya untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan sebagai polisi, yaitu pemenuhan tugas-tugas kepolisian.      

Kebudayaan polisi, yaitu kebudayaan yang dipunyai oleh polisi sebagai organisasi atau pranata, dibakukan sebagai seperangkat pedoman formal yang berisikan sistem-sistem penggolongan, konsep-konsep, teori-teori, metode-metode, aturan-aturn atau norma-norna, dan nilai-nilai berkenaan dengan keabsahan organisasi serta fungsi-fungsinya dalam lingkungannya, orientasi kegiatan organsasi, tugas-tugas pemolisian, dan lingkungan yang dihadapi dalam pemolisian serta metode-metode penanganan dan pengelolaannya.  Kebudayaan polisi harus dibedakan dari kebudayaan yang dipunyai oleh anggota-anggota atau petugas-petugas  kepolisian yang menjadi anggota-anggota organisasi tersebut.

Kebudayaan polisi yang dibakukan tersebut adalah pedoman bagi kehidupan polisi secara ideal atau normatif atau yang seharusnya, yang secara sadar atau tidak sadar berfungsi utuk menyeragamkan tindakan-tidakan para anggota-anggotanya dalam tugas-tugas pemolisian dan kehidupan mereka.  Kebudayaan polisi mempunyai inti atau nilai-nilai budaya yang berisikan pedoman penilaian dalam dan bagi pembuatan dan pemantapan penggolongan-penggolongan mengenai polisi dan dunia yang dihadapi oleh polisi, hasil-hasil penggolongan yang terwujud sebagai konsep-konsep yang dipunyai oleh polisi, serta berisikan penilaian secara etika, moral, dan estetika mengenai gejala-gejala yang ada dalam kehidupan polisi dan lingkungannyan yang berkaitan dengan konsep-konsep keindahan, kepantasan, kebenaran, kepahlawanan, keperkasaan, gender, moral dan etika, kesusilaan, harga diri dan kehormatan, kerja, kerapian, ketaatan pada atasan, kemandirian dan diskresi, pelanggaran, kejahatan, keteraturan dan ketertiban atau disiplin.

Kebudayaan polisi sebagai kebudayaann organisasi dibangun berdasarkan atas ideologi dibentuknya kepolisian sebagai organisasi pemerintahan untuk melayani, melindungi, dan menegakkan hukum sebagaimana yang telah digariskan oleh Robert Peel, seperti yang telah disebutkan di halaman-halaman terdahulu dalam tulisan ini.  Karena itu, kebudayaan polisi dapat digolongkan sebagai kebudayaan yang ideal, yang artinya adalah sebagai seperangkat pedoman dari pespektif kepolisian untuk melihat dirinya dan lingkungnnya dan untuk bertindak dalam pemolisian sesuai cita-cita yang normatif atau yang seharusnya dalam perspektif kebudayaan tersebut.       
Kebudayaan polisi yang normatif ini dibedakan dari kebudayaan polisi yang aktual.  Yang dimaksud dengan kebudayaan polisi yang aktual adalah  kebudayaan polisi yang sebenarnya atau yang betul-betul dijadikan sebagai pedoman bagi kehidupan polisi sebagaimana yang ada dalam organisasinya melalui kegiatan-kegiatan administrasi maupun manajemennya, dan dalam kegiatan-kegiatan dari fungsi-fungsi operasionalnya, sebagaimana yang terwuujud dalam tugas-tugas dan tindakan-tindakan dari para anggota kepolisiannya.  Kebudayaan aktual adalah sebuah kesimpulan atau abstraksi dari rangkaian-rangkaian tindakan para petugas atau anggota kepolisian untuk sesuatu jangka waktu tertentu dan dalam sesuatu wilayah kegiatan tertentu yang secara berulang selalu ditunjukkab, yang hasil abstrakti atau kesimpulan tersebut menunjukkan ciri-ciri atau pola-pola dari tindakan-tindakan kepolisian. 

Artinya, tindakan-tindakan para anggota dan petugas kepolisian tersebut mempunyai ciri-ciri atau pola-pola tertentu.   Pola-pola dari tindakan-tindakan kepolisian tersebut dapat dilihat sebagai pola-pola bagi tindakan-tindakan dari petugas kepolisian, karena tindakan-tindakan tersebut berpola dan terwujud secara berulang untuk situasi-situasi tertentu yang sama dalm waktu-waktu yang berbeda.  Sehingga kesimpulannya adalah bahwa ada pola-pola atau acuan pedoman bagi tindakan-tindakan yang berpola dan yang aktual tersebut. Pola-pola atau pedoman yang diacu itulah yang dinamakan kebudayaan yang akual.  Tidak ada kebudayaan polisi manapun yang secara normatif berisikan pedoman untuk memeras tersangka dalam tindak korupsi.  Tetapi bila secara aktual, dalam sebuah organisasi kepolisian, tindakan seperti itu dilakukan oleh petugas kepolisian yang berbeda dan yang secara berulang dilakukan dari waktu ke waktu, maka dapat dikatakan seperti inilah kebudayaan polisi yang aktual.

Kebudayaan polisi dikembangkan serta dimantapkan oleh organisasi kepolisian melalui kegiatan-kegiatan manajemen oleh para administrator atau pejabat-pejabat administrasinya, yang diwujudakan dalam berbagai bentuk kebijakan dan aturan-aturan atau perundangan, yang merupakan pencerminan dari pengetahuan dan keyakinan-keyakinan dari para admniistrator tersebut yang mengacu pada pinsip-prinsip mengenai organisasi kepolisian dan pengorganisasiannya sebagaimana yang telah digariskan oleh Robert Peel, tersebut diatas.  Sebagai kebudayaan organisasi, kebudayaan polisi berintikan pada nilai-nilai budaya kepolisian yang menjadi acuan dalam pembuatan berbagai pedoman bertindak dan norma-norma yang diberlakukan dalam organisasi tersebut, yang penekanannya  adalah pada pedoman berlakunya perbedaan jenjang dan kewenangan serta pendelegasiannya dan pada keseragaman bertindak sebagai petugas kepolisian, yang membedakannya dari kebudayaan yang berlaku dalam organisasi sipil atau militer.   

Kebudayaan dan nilai-nilai budaya yang dipunyai oleh sebuah organisasi atau pranata polisi adalah tidak sama dengan yang dipunyai oleh anggota-anggota kepolisian dari organisasi atau pranata polisi tersebut.  Kebudayaan polisi adalah kebudayaan organisasi yang bercorak formal yang penekanan intinya adalah pada jenjang dan pada kewenangan serta pendelegasian kewenangan, sedangkan kebudayaan yang dipunyai oleh anggota-anggota kepolisian dari organisasi tersebut adalah kebudayaan yang pada dasarnya telah dipunyai oleh mereka masing-masing sebelum menjadi anggota kepolisian yang ditambah dan digabungkan dengan mengadopsi atau menerima kebudayaan polisi sebagai bagian dari kebudayaan mereka, karena mereka adalah anggota atau petugas kepolisian yang wajib tunduk pada berbagai ketentuan yang diberikan oleh organisasi dan oleh atasan mereka..  Bahkan kebudayaan polisi yang normatif tersebut dapat dikatakan sebagai bertentangan dengan kebudayaan yang dipunyai oleh para petugas kepolisian yang menjadi anggota organisasinya; lebih-lebih laginadalah mereka yang baru saja selesai pendidikan dan diangkat sebagai anggota kepolisian.  Begitu juga diantara sesama anggota kepolisian terdapat variasi atau perbedaan-perbedaan dalam kebudayaan dari masing-masing anggota kepolisian tersebut.  Perbedaan kebudayaan diantara sesama anggota kepolisiann disebabkan karena mereka itu berasal dari berbagai kelompok sukubangsa atau bangsa yang berbeda, asal jenjang sosial dan kelas sosial yang berbeda, pengalaman pembudayaan atau enkulturasi dalam keluarga dan pendidikan yang berbeda, dan juga oleh perbedaan orientasi nilai-nilai budaya yang mereka punyai masing-masing.   

Karena itu, polisi sebagai sebuah organisasi profesional, membuat aturan-aturan sebagai acuan mekanisame kontrol yang ditujukan kepada anggota-anggotanya untuk mengendalikan mereka agar taat pada disiplin yang ada dalam aturan-aturan moral dan etika sesuai dengan nilai-nilai budaya polisi di dalam tindakan-tindakan mereka, sebagai petugas kepolisian.  Aturan-aturan moral dan etika polisi tersebut dituangkan secara tertulis dalam bentuk sebuah kode etik kepolisian.  Kode etik kepolisian diberlakukan bagi para petugas kepolisian sehingga dalam menjalankan tugas-tugas pemolsian, para petugas kepolisian tersebut dapat mencerminkan berlakunya kebudayaan polisi yang terwujud sebagai tindakan-tindakan profesional dalam pelayanan, pengayoman, dan penegakkan hukum.  

Kode etik adalah sebuah pernyataan yang terwujud sebagai aturan-aturan moral yang biasanya tertulis yang dibuat oleh sebuah organisasi.  Kode etik yang tertulis ini adalah kode etik yang ideal yang diberlakukan oleh organisasi yang bersngkutan untuk dipatuhi dan digunakan sebagai pedoman oleh  anggota-angotanya dalam tindaikan-tindakan mereka.  Sama halnya dengann kebudayaan atau nilai-niolai budaya, yaitu ada yang ideal dan yang aktual, maka kode etik kepolisian juga ada yang aktual dan ada yang ideal.  Sebuah kode etik kepolisian yang aktual biasanya adalah pedoman etika dalam tugas-tigas kepolisian yang bertentangan secara etika dengan kode etik yang formal dari organisasinkepolisiann yang bersangkutan; walaupun tidak selalu demikian.  Kode etik kepolisian yang aktual biasanya juga tidak tertulis, tetapi ada dan digunakan oleh sekelompoik petugas kepolsian dari fungsi yang sama atau dari satgas yang sama,. 

Sebuah kode etik kepolisian biasanya dibuat secara sederhana, dengan kata-kata dan bahasa yang mudah dimengerti oleh siapapun, sebagai pedoman atau larangan bertindak dalam kapasitas anggota kepolisian sebagai petugas kepolisian, sehingga dengan mudah dapat dipahami oleh para petugas kepolisian pada jenjang manapun.. Kode etik kepolisian diberlakukan bagi para petugas atau anggota-anggota organisasi tersebut, yang isinya adalah aturan-aturan atau ketentuan-ketentuan mengenai nilai-nilai yang harus dijadikan pedoman kerja dan bertindak bagi para petugas atau anggota organisasi, dan yang penekanan isinya adalah bahwa pada waktu dan pada saat melakukan tugas-tugas pekerjaannya si petugas atau anggota kepolisian tersebut tidak melakukannya untuk kepentingan atau keuntungan bagi dirinya sendiri, tetapi mengutamakan pada kepentingan pelayanan dan bagi kepentingan yang dilayani. 

Ketentuan yang ada dalam kode etik menjamin kompentesi atau kemampuan si petugas atau anggota organisasi dalam memberikan pelayanan yang bermutu tinggi kualitasnya, dimana pelayanan yang bermutu tersebut juga dijamin oleh organisasinya.  Oleh karena itu kode etik dapat dikatakan sebagai merupakan jaminan kesetiaan dan pengabdian pada pekerjaan dari para petugas atau anggota organisasi, serta menjamin kehormatan dirinya dan organisasinya. 

Tujuan dari dibuat dan diberlakukannya kode etik kepolisian bagi anggota-anggota kepolisian, adalah agar anggota-anggota kepolisian tersebut tidak menggunakan kebudayaan dan nlai-nilai budayanya masing-masing sebagai acuan bertindak dalam kapasitasnya sebagai petugas kepolisian, tetapi menggunakan kebudayaan polisi dalam tugas-tugas pemolisian mereka.  Kode etik kepolisian juga dibuat dan diterapkan kepada anggota-anggota kepolisian untuk menjamin mutu atau kualitas kerja atau profesionalisme dari petugas kepolisian dalam tugas-tugas pelayanan kepolisian kepada warga, komuniti, umum, dan masyarakat luas.  Karena itu isi dari kode etik kepolisian, yang secara umum berlaku di seluruh dunia, adalah idealisme atau cita-cita keluhuran dan profesionalisme polisi dalam menjalankan tugas-tugas pemolisian, larangan-larangan dan berbagai hal yang tidak seharusnya dilakukan oleh polisi baik dalam kegiatan tugas maupun dalam kehidupan sehari-hari sebagai pribadi (karena seorang polisi bertugas selama duapuluh jam dalam satu hari dan tujuh hari dalam satu minggu, sehingga kehidupan pribadinya adalah juga sama dengan kehidupannya sebagai seorang polisi).         

5.      Masalah dan Penerapan Kode Etik Kepolsian

Di negara-negara berkembang atau yang baru terbebas dari rezim yang otoriter, kode etik kepolisian biasanya bercorak militeristik atau dibuat dalam susunan kata-kata dan kalimat-kalimat yang sulit dipahami.  Coraknya yang militeristik tersebut merupakan sisa-sisa kebudayaan militer yang masih ada dalam kebudayaan polisi, karena dalam rezim yang otoriter atau militeristik tersebut, polisi menjadi bagian dari dan tunduk pada ketenbtuan-ketentuan dari organisasi kemiliteran yang dibuat oleh pemerintah.   Sehingga, para petugas kepolisian secara sadar ataupun tidak sadar, mengabaikan penggunaan kode etik kepolisian yang ada dan yang seharsnya berlaku sebagai pedoman dalam tugas-tugas pemolisiannya.  Disamping itu para administrator atau pejabat dari organisasi kepolisian yang bersangkutan juga tidak melakukan kegiatan pemberlakuan secara efektif dari kode etik yang dibuat oleh organisasi kepolisiannya, terutama dalam pendidikan dan latihan kedinasas bagi personilnya.  Biasanya mata pelajaran kode etik hanya diadakan sebagai hiasan bagi keindahan atau kelengkapan krikulum pendidikan dan latihan kedinasan, dan bukannya diperlakukan sebagai sebuah mata ajaran yang pokok bagi menjamin terwujudnya profesionalisme personil yang telah mengikuti pendidikan dan latihan tersebut.

Di Amerika Serikat kegiatan-kegiatan pemolisian yang dilakukan oleh petugas-petugas kepolisian bukan hanya dikendalikan dan ditangani oleh badan internal yang ada dalam organisasi kepolisian yang bersangkutan, tetapi juga oleh warga dan komuniti-komuniti tempat berfungsinya organisasi kepolisian tersebut.  Walaupun demikian, pelanggaran-pelanggaran etika yang dilakukan oleh petugas kepolisian setempat masih juga berlangsung.  Sebab utamanya adalah adanya perbedaan antara kebudayaan organsasi polisi yang ideal dan formal dengan kebudayaan polisi yang aktual yang dipunyai oleh dan ada dalam diri orang perorang anggota kepolisian yang bersangkutan.       

Hal yang sama juga berlaku dalam kode etik kepolisian.  Disamping kode etik yang formal dan tertulis yang dibuat dan diterapkan oleh organisasi kepolisian yang bersangkutan terhadap anggota-anggotanya, maka bersamaan dengan itu juga ada kode etik yang tidak tertulis yang hidup secara aktual dan digunakan oleh anggota-anggota kepolisian dari organisasi tersebut.  Kode etik tidak tertulis ini mereka ketahui sebagai bertentangan atau melanggar ketentuan aturan-aturan yang ada dalam kode etik kepolisian yang resmi dan tertulis, tetapi mereka dengan sengaja atau tidak sengaja melangganya karena termotivasi untuk kepentingan keuntungan diri sendiri.

Debbie J. Goodman (1998) yang menyadari bahwa menerapkan kode etik kepolisian kepada petugas kepolisian adalah pekerjaan yang tidak mudah, menyarankan agar jumlah jam pelajaran dan muatan pelajaran mengenai kode etik kepolisian dalam pendidikan dan pelatihan kepolisian ditambah dan harus diajar oleh pengajar yang dikenal sebagai polisi atau pengajar profesional.  Selanjutnya Goodman juga menyarankan agar pola-pola persahabatan dan solidaritas sosial yang ada dalam partner kerja petugas kepolisian dan dalam satuan-satuan angkatan atau kelas di pendidikan dan latihan kepolisian dapat dimanfaatkan untuk digunakan dalam saling mengontrol apakah teman mereka itu bertindak tidak profesional dengan melanggar ketentuan yang ada dalam kode etik kepolisian atau tidak.

Untuk itu, Goodman dalam bukunya (1998) membuat lima puluh pertanyaan mengenai apakah sesuatu perbuatan itu melanggar etika atau tidak.  Pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab oleh petugas kepolisian.  Jawaban-jawabannya ada di bagian belakang dari buku tersebut.  Adapun pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Goodam antara lain, adalah mengenai etis atau tidaknya menerima tawaran makan dan minum pada waktu bertugas, makan dan minum gratis dalam keadaan sedang bertugas di sebuah restoran, menerima hadiah uang atau barang berharga dari warga yang merasa berterimakasih, berbohong sebagai petugas kepolisian, perbuatan a susila, kekerasan dan kebrutalan polisi, dsb.         

Masalah-masalah yang dipertanyakan oleh Goodman kepada pembacanya yang polisi Amerika, adalah masalah-masalah yang sensitif dan penting yang mempengaruhi integritas dan profesionalisme mereka sebagai petugas kepolisian.  Tetapi bagi kita di Indonesia beberapa diantara masalah-masalah yang ditanyakan oleh Goodamn tersebut adalah sesuatu yang biasa yang tidak kita anggap sebagai melanggar etika kepolisian.  Sebuah contoh dari pertanyaan yang diajukan dalam buku Goodman (1998:3), adalah sbb.:  “Apakah dibenarkan bagi seorang petugas kepolisian untuk menerima tawaran kopi, makanan, dan berbagai barang lainnya?’ Di Amerika Serikat jawabannya akan mengatakan “itu tidak benar”.  Tetap kalau di Indonesia, “Itu boleh-boleh saja, tidak apa-apa”               

Sebagai akhir kata mungkin patut dinyatakan bahwa kebudayaan polisi merupakan sebuah konsep yang penting dalam dan bagi kehidupan polisi sebagai organiasi atau pranata pemerintah. Karena kebudayaan polisi adalah pedoman bagi kehidupan organisasi polisi, yaitu bekenaan dengan fungsinya dalam masyarakat yang mencakup administrasi dan manajemen pemolisian yang penekanannya pada pelayanan, pengayoman, dan penegakkan hukum.  Kebudayaan polisi merupakan acuan utama.bagi pembuatan dan pemantapan kode etik kepolisian, yang merupakan salah satu unsur penunjang yang penting dalam proses-proses pembentukan dan penciptaan profesionalisme polisi disamping keahlian dan efektifitas kerja dalam tugas-tugas pemolisian.  Profesionalisme tidak dinilai atau ditentukan mutunya oleh yang melakukan tugas pekerjaan tetapi ditentukan nilai dan mutunya oleh mereka yang dilayani atau yang memberi pekerjaan berdasarkan pada mutu kerja dan hasil kerja yang ditunjukkan. 

Karena pentingnya kode etik kepolisian dalam menjamin mutu atau kualitas kerja secara profesional, saya lampirkan pernyataan dari International Association of Chiefs of Police (IACIP) mengenai Kode Etik Kepolisian atau Penegak Hukum.
.


Catatan: 

*)   Naskah aslinya berjudul “Etika Bagi Polisi” telah disampaikan dalam Seminar Sespim Polri Angkatan 44, dengan tema Meningkatkan  Profesionalisme Untuk Mengantisipasi Konflik Sosial Guna Terciptanya Kamtibmas Dalam  Rangka Mewujudkan Kamdagri. Bandung, 11 Juni 2007.

**)    Saya tidak menggunakan konsep kebudayaan sebagai gagasan,  kelakuan, dan hasil kelakukan (Prof. Koentjaraningrat) ataupun sebagai hasil cipta, rasa, dan karsa (Ki Hajar Dewantara), ataupun  konsep lainnya seperti kebudayaan sebagai tata nilai. (Pembahasan mengenai hal ini akan tercakup dalam tulisan saya yang lain mengenai Kebudayaan  Polisi). 

 


Kepustakaan

Goodman, Debbie J. (1998).  Enforcing Ethics.  Upper Sadle, N.J.:  Prentice.
Cordner, Garry W. (2005).  “Administration”.  Dalam William G. Bailey, Editor.  Ensiklopedi  Ilmu Kepolisian.  Hal. 10-15.  Terjemahan. Jakarta: YPKIK
Farris, Edward A.  (2005).  “Professionalism”.  Dalam William G. Bailey, Editor. Ensiklopedi Ilmu Kepolisian.  Hal 784-787.  Terjemahan. Jakarta: YPKIK
Souryal, Sam S.  (2005).  “Organizational Structure: Theory into Practice”. Dalam William G. Bailey, Editor.  Ensiklopedi Ilmu Kedpolisian. Hal. 571-577.  Terjemahan.  Jakarta: YPKIK
Suparlan, Parsudi  (1986).  “Kebudayaan dan Pembangunan”.  Media IKA, Vol. 14, No. 2, , Hsl. 106-135.  Jurusan Antropologi, U.I.
___________   (2005).  Sukubangsa dan Hubungan Antar-Sukubangsa. Edisi Revisi.  Cetakan Kedua.  Jakarta: YPKIK

No comments:

Post a Comment