Oleh : Prof. Dr. Parsudi Suparlan
1.
Pendahuluan.
Tulisan
ini adalah mengenai pentingnya kode etik kepolisian bagi para petugas kepolisian
dalam tugas-tugas mereka sehingga mereka itu dinilai oleh umum sebagai petugas
profesional. Yang ingin ditunjukkan
dalam tulisan ini adalah apa itu profesionalisme dan unsur-unsur penunjangnya
sehingga seseorang itu digolongkan sebagai tenaga profesional dan bukannya
seorang tenaga amatiran atau yang tidak becus.
Lebih lanjut, dalam tulisan ini ingin ditunjukkan bahwa salah satu unsur
pendukung utama bagi terwujudnya profesionalisme yang dipunyai oleh seseorang adalah bahwa orang tersebut dalam tugas-tugasnya
berpedoman pada etika yang melandasi tindakan-tindakan kerjanya, yaitu jujur,
terpercaya, dan mutu kerjanya terjamin.
Dalam organisasi profesional, etika tersebut dirumuskan dan dibakukan
oleh organisasi tersebut sebagai kode etik atau aturan-aturan etika yang
diberlakukan bagi anggota-anggota organsiasi dalam tugas-tugas mereka. Kode etik dibuat agar tugas-tugas dari
anggota-anggota organisasi tersebut dijamin profesionalismenya. Acuan bagi pembuatan kode etik sebuah
organisasi adalah kebudayaan terutama nilai-nilai budaya dan tujuan dari
kegiatan-kegiatan organisasi tersebut.
Profesionalisme
bagi petugas kepolisian adalah sebuah syarat utama yang tidak bisa ditawar,
karena tugas-tugas kepolisian adalah tugas-tugas profesional yang pada intinya
adalah to serve (melayani) dan to protect (melindungi) yaitu
tugas-tugas yang berkenaan dengan kenyamanan dan ketentaraman hidup baik secara
pribadi maupun secara sosial dan berkenaan dengan keamanan dan keselamatan
diri, nyawa dan harta benda dari mereka yang dilayani dan dilindungi oleh
polisi. Dan melakukan penegakkan hukum
agar keteraturan sosial dapat dijamin kelestariannya dan yang melanggar hukum serta
merusak keteraturan sosial dapat dicegah serta ditangani secara hukum yang
berlaku, untuk disingkirkan dari kehidupan sosial masyarakat yang
bersangkutan.
Tanpa
pedoman etika atau kode etik yang dijadikann acuan bertindak maka petugas
kepolisian dapat tidak secara profesional melayani dan melindungi warga dan
melakukan tindakan-tindakan penegakkan hukum.
Begitu juga, petugas kepolisian dapat melakukan perbuatan-perbuatan tercela
atau bahkan melanggar hukum misalnya, bertindak sebagai petugas dan atas nama
kepolisian, tetapi untuk kepentingan diri sendiri dan kerabat atau
teman-temannya atau melakukan pemerasan sehingga merugikan warga dan publik yang
seharusnya dilayani dan dilindungi.
Perbuatan-perbuatan
tersebut dapat dilakukannya, karena petugas kepolisian mempunyai kekuasaan
memaksa yang sah secara hukum yang sebenarnya ditujukan untuk pelayanan dan
perlindungan warga dan publik, tetapi kekuasaan tersebut dapat diselewengkan
atau dimanipulasi untuk kepentingan diri si petugas atau kelompoknya. Untuk menjamin agar tugas-tugas pelayanan dan
perlidungan serta penegakkan hukum oleh petugas kepolisian itu berjalan
sebagaimana seharusnya, atau dilakukan secara profesional, maka
organisasi-organisasi kepolisian di seluruh dunia telah membuat, memantapkan,
dan memberlakukan kode etik kepolisian serta melakukan pengendalian
tindakan-tindakan para petugas kepolisian mereka agar mereka mentaati kode etik
dalam tugas-tugas pemolisian. Dalam
tulisan ini akan diuraikan apa itu profesionalisme, polisi sebagai organisasi
profesional yang dimantapkan melalui pembentukan kebudayaan polisi dan
pembuatan kode etik kepolisian, serta pengendalian secara internal dalam pelaksanaan
kode etik oleh petugas\kepolisian dalam tugas-tugas.
2.
Profesionalisme
Profesionalisme
adalah kinerja atau kerja yang ditunjukkan oleh seseorang, yaitu seorang
profesional, melalui tindakan-tindakan dan sikap-sikapnya, dimana dia tahu apa
yang dikerjakannya dan menghasilkan pekerjaan yang bermutu yang memuaskan bagi
yang dilayani atau yang memesan pekerjaannya.
Seorang profesional memperoleh gaji atau uang yang cukup dari profesi
yang ditekuninya (lihat: Farris 2005:784-787).
Pengertian
profesionalisme mencakup unsur-unsur:
(1) Ciri-ciri seorang profesional, yaitu: seorang yang ahli dalam
bidangnya, yang tugas utamanya secara langsung atau tidak lansung adalah
melayani umum atau kepentingan komuniti, mempunyai kemampuan pengendalian diri
yang tinggi, dan yang dalam tindakan-tindakannya berpedoman pada kode etik. Kode etik yang dipunyainya adalah sebuah
pernyataan mengenai nilai-nilai yang dijunjung tinggi, yang menjamin bahwa
pelayanannya bermutu tinggi, yang menjamin kompetensinya dalam menjalankan dan
menyelesaikan tugas-tugas pekerjaannya, yang menjamin bahwa dalam tugas-tugas
pekerjaanya dia tidak mengambil keuntungan pribadi dari yang dikerjakannya
karena penekanan tugas-tugasnya adalah pada pelayanan dan jaminan mutu akan
pelayanannya dan karena dia telah dibayar atau digaji oleh organisasinya.
Sebagai
seorang yang ahli dalam bidangnya seorang profesional mempunyai kemampuan dalam
penggunaan dan penerapan teori untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi,
mempunyai kemampuan untuk menciptakan sesuatu solusi atau pemecahan masalah dan
dalam memproses serta menanganinya, mempunyai keterikatan pada dan mengutamakan
kepentingan yang dilayani, dan mempunyai rasa tanggung jawab untuk lebih banyak
belajar dan mendalami berbagai masalah yang ada dan berkaitan dengan bidang
profesinya agar dapat menjalankan tugas-tugas profesinya secara lebih baik
lagi.
Oleh
karena itu, seorang profesional bukan hanya cukup mempunyai pengetahuan yang diperolehnya
dari sesuatu jenjang pendidikan formal dan umum tetapi juga harus melalui
berbagai macam dan tahapan pendidikan latihan yang khusus atau spesialisasi, sesuai
dengan bidang keahlian yang ditekuninya.
Melalui tahapan-tahapan jenjang pendidikan dan latihan keahlian tersebut,
seorang profesional bukan hanya belajar dan mendalami bidang profesinya tetapi
juga belajar dan meyakini ketentuan-ketentuan moral yang ada dalam kode etik
profesinya. Seorang tenaga profesional
biasanya tergabung dalam dan menjadi anggota dari sebuah organisasi profesional
(seorang pengacara biasanya menjadi anggota asosiasi pengacara, misalnya) atau
dia bekerja dalam sebuah organisasi profesional (seorang petugas kepolisian, misalnya).
Organisasi
profesional biasanya menyelenggarakan pendidikan dan latihan bagi para
anggota-anggotanya yang profesional.
Karena organisasi-organsasi profesi.tersebut merasa bertanggung jawab
atas profesionalisme dari para tenaga profesional yang menjadi anggotanya,
dengan alasan bahwa organisasi-organisasi
profesi tersebut merasa turut bertaggung jawab terhadap umum dan warga
masyarakat yang dilayani oleh tenaga-tenaga profesional yang menjadi
anggota-anggota mereka.
Organisasi-organisasi profesi inilah yang membuat dan menerapkan
berlakunya kode etik profesi bagi anggota-anggotanya, dan menjatuhkan sanksi hukuman
bagi pelanggaran yang mereka lakukan.
Bukan
hanya organisasi-organisasi profesi yang secara aktif melakukan
kegiatan-kegiatan hubungan baik dengan warga dan umum, tetapi tenaga-tenaga
profesional juga melakukan hubungan dengan warga dan umum melalui
kegiatan-kegiatan pelayanan mereka. Penilaian
mengenai mutu profesionalisme sebuah organisasi profesi ditentukan oleh warga
dan umum mengenai kemampuan dari tenaga-tenaga profesional yang tergabung dalam
organisasi yang bersangkutan di dalam memberikan layanan kepada warga dan
umum. Karena itu sesuatu perbuatan
melanggar kode etik profesi yang dilakukan oleh seorang petugas profesional
dari sebuah organisasi akan mencoreng nama baik profesionalisme dari organisasi
profesi yang bersangkutan.
3.
Polisi : Organisasi dan Administrasi
Kepolisian
Polisi
adalah organisasi atau badan atau pranata pemerintahan, yang melaksanakan
kebijakan pemerintah pada tingkat nasional, sedangkan pada tingkat lokal atau lapangan
bukan hanya menjalankan kebijakan pemerintah tetapi juga membuat kebijakan-kebijakan
untuk menciptakan dan menjamin terwujudnya keteraturan sosial dan keamanan
umum, dan melindungi warga dan harta benda mereka dari gangguan tindak
kejahatan. Polisi adalah badan atau
organisasi yang diberi kewenangan oleh negara untuk menggunakan paksaan dan
berbagai bentuk dan cara paksa secara hukum dalam upaya menciptakan dan
menjamin terwujudnya keteraturan sosial dan kesejahteraan umum.
Terdapat
kesan umum seolah-olah tugas polisi adalah hanya memerangi kejahatan,
menggunakan cara-cara kekerasan, dan menerapkan hukum pidana terhadap tersangka
kejahatan, sebagaimana kesan yang diperoleh dari siaran berbagai saluran media
elektronik, pertunjukan film, dan siaran berita media massa. Kesan umum tersebut, terutama di Amerika
Serikat, telah terbentuk secara akumulatif dari banyaknya serial lakon-lakon
film tentang kejahatan terorganisasi yang terjadi di tahun 1930an di Amerika
Serikat dan peranan dari para petugas FBI (Federal Bureau of Investigation)
sebagai penegak hukum yang telah memerangi dan menumpas mereka.
Padahal
sebenarnya, tugas utama polisi dalam menangani kejahatan adalah dengan cara mencegah
terjadinya kejahatan; terutama di daerah perkotaan dan bukannya memerangi para
penjahat. Begitu pula, sebetulnya tugas
kepolisian dalam memerangi kejahatan dan menerapkan hukum pidana terhadap
tersangka penjahat adalah kecil bila dilihat perbandingannya dalam ruang
lingkup cakupan tugas kepolisian. Sesungguhnya,
tugas utama dan terbanyak dari polisi adalah berkaitan dengan pemeliharaan kemantapan
keteraturan sosial dan berbagai bentuk pelayanan dan perlindungan kepada warga,
komuniti, dan umum (Neocleous 2004: 93-94).
Sebagaimana
yang ditegaskan oleh Sir Robert Peel (Walker 1977), dan yang biasanya dinamakan
sebagai prinsip-prinsip Peel, dinyatakan bahwa:
1. Misi utama mengapa polisi itu ada adalah
untuk mencegah terjadinya kejahatan dan ketidak teraturan atau kekacauan dalam
kehidupan
2. Kemampuan polisi dalam menjalankan
tugas-tugasnya tergantung pada
persetujuan dan dukungan umum atau publik
3. Polisi harus mampu untuk mengendalikan
keinginan publik dalam turut serta
secara
sukarela dalam menjalankan penegakkan hukum dengan cara sedemikian rupa, sehingga polisi tetap dapat mengendalikan dan mempertahankan rasa
hormat publik kepadanya, dan bukan
sebaliknya dimana polisi berada di bawah kendali kepentingan sosial atau politik atau
ekonomi sekelompok warga atau sebagian
dari komuniti atau publik
4. Tingkat kerjasama dengan dan cara-cara pengendalian
publik harus dilakukan
sedemikian rupa, sehingga tidak terjadi tindak kekerasan
fisik
5. Usaha polisi untuk memperoleh simpati dan
dukungan publik tidak berarti harus dilakukan dengan cara mengikuti kehendak
mereka, tetapi dengan cara yang secara mutlak dan tidak setengah-setengah dalam
menjalankan tugas-tugas pelayanan dan penegakkan hukum tanpa pandang bulu
6. Polisi hanya menggunakan cara paksa dan
kekerasan fisik sesuai ketentuan
hukum apabila dengan cara-cara persuasif, pemberian
nasehat dan saran, serta pemberian peringatan ternyata tidak berhasil
7.
Setiap saat polisi harus tetap menjaga
hubungan baik dengan publik, karena polisi adalah publik dan publik adalah
polisi, polisi hanya merupakan anggota dari publik yang dibayar dengan uang
pajak publik untuk memperhatikan dan menjaga kepentingan dan keselamatan warga
dan memperhatikan keberadaan serta kepentingan kesejahteraan komuniti dan
publik
8. Polisi harus bertindak sesuai fungsinya dan
tidak seharusnya memanfaatkan fungsinya tersebut untuk kepentingan yang lain
9. Keberhasilan dari tugas polisi adalah pada
tidak adanya tindak kejahatan atau
tidak adanya ketidak teraturan, dan bukannya
pada bukti-bukti tentang tindakan polisi di dalam menangani tindak kejahatan.
Dengan
mengikuti model Robert Peel (Cordner 2005: 11), polisi di seluruh dunia “berada
di bawah kontrol pemerintah dan diorgansiasi seperti organisasi militer”. Disamping diorganisasi secara militer, polisi
juga diorganisasi dengan mengikuti teori birokrasi klasik atau birokrasi
impersonal dari Weber, dimana diterapkan satuan komando, rentang kendali, dan
delegasi kewenangan dari jenjang atas ke jenjang bawah yang coraknya terpusat
seperti sebuah piramida, dengan hierarki yang ketat dari pusat ke daerah-daerah
dan dari jenjang paling atas sampai dengan ke jenjang paling bawah, dan dengan ketentuan
disiplin yang tinggi (Souryal 2005: 571- 572).
Lebih lanjut, Souryal (2005:572-573) menyatakan bahwa organisasi polisi
yang isinya adalah pengorganisasian kewenanngan dan pendelegasiannya, mengikuti
prinsip-prinsip birokrasi yang mengkoordinasikan aktivitas polisi yang kompleks
dan penuh bahaya menjadi aktivitas yang efisien dan efektif. Prinsip-prinsip yang tercakup dalam birokrasi
tersebut adalah:
1.
Suatu hierarki atau jenjang kekuasaan;
2 . Pembagian
pekerjaan dalam fungsi-fungsi dan satuan-satuan kewilayahan;
3. Kesatuan
perintah;
4.
Spesialisai fungsi-fungsi;
5.
Cakupan kontrol dan mekanismenya;
6.
Pendelegasian kekuasaan; dan
7.
Komunikasi formal.
Disamping
itu, Souryal (2005: 572-573) menyatakan bahwa prinsip-prinsip bi9rokrasi tersebut
diatas secara bersama-sama dan secara keseluruhan telah membangkitkan dan memantapkan
suasana kemilitersan formal. Otoritas
atau kewenangan merupakan tulang punggung dari organisasi ini yang berjalan
dengan baik karena didukung oleh prinsip-prinsip tersebut diatas. Walaupun dalam salah satu prinsipnya,
komunkasi yang berlaku adalah formal, sebagaimana yang seharusnya berlaku dalam
sebuah organisasi kemiliteran, tetapi adalah tidak mungkin untuk dapat mengefektifkan
dan mengefisienkan kewenangan dalam bentuk tindakan-tindakan operasional bila
komunikasi yang berlangsung hanya bersifat formal. Bentuk-bentuk komunikasi tidak formal
disamping yang formal yang berkembang telah memungkinkan terwujudnya efesiensi
dan efektifitas perintah-peruntah dan pesan-pesan serta arahan-arahan dari jenjang
diatas kepada jenjang-jenjang yang di bawah, dan juga diantara mereka yang
berada dalam jenjang yang sama. Diantara
mereka yang berada dalam jenjang yang sama, melalui komunikasi yang tidak
formal, telah berlangsung berbagai bentuk kerjasama dan solidaritas yang
produktif.
Organisasi
polisi melalui adminsitrasinya juga melakukan penstrukturan dan penstrukturan
kembali serta pemantapan kebudayaan polisi serta sumber daya, manajemen organisasi
kepolisian dan lingkungannya (Cordner 2005: 11-12), dalam upaya membangun
kepolisian yang profesionsal. Patut
dicatat, bahwa kepolisian di Amerika Serikat baru betul-betul dapat dibangun
secara profesional setelah polisi dapat membebaskan diri dari pengaruh kekuatan
partai-partai politik yang berkuasa. Manajemen
dalam organisasi polisi atau proses-proses administrasi yang diatur dan
dikendalikan oleh pejabat-pejabat administrasi kepolisian mencakup perencanaan,
pengorganisasian, pengaturan, personalia, pengarahan, pengkordinasian, pelaporan,
dan penganggaran. Organisasi polisi menentukan
sejumnlah tugas-tugas polisi yang diperinci dalam sejumlah fungsi sesuai dengan
tujuan organisasi.
Diantara
fungsi-fungsi tersebut yang merupakan fungsi utama adalah fungsi operasional
yang bersifat pre-emtif, preventif, dan represif. Fungsi operasional ini adalah fungsi yang
kritikal dalam bangunan citra polisi dalam masyarakat atau umum. Karena, petugas-petugas kepolisian yang mengemban
fungsi tersebut adalah yang berhubungan langsung dengan lingkungan kepolisian
yang dilayani dan dilindungi yaitu warga, komuniti, umum, dan masyarakat
luas. Para petugas kepolisian dalam
fungsi operasional ini, dengan sadar ataupun tanpa disadari telah melakukan
hubungan antar-budaya dengan lingkungan yang dilayaninya, dan melalui serta
dalam proses-proses hubungan antar-budaya tersebut muncul berbagai bentuk
perpaduan serta penyesuaian ataupun pertentangan budaya diantara keduanya yang
terwujud sebagai citra polisi di mata mereka yang dilayani oleh polisi. Citra polisi sebagai produk dari hubungan
antar-budaya tersebut ditentukan oleh berbagai corak dan kualitas mutu atau
profesionalisme dalam tindak pelayanan dan pengayoman serta dalam penegakan
hukum yang dilakukan oleh para petugas kepolisian yang mengemban tugas-tugas
fungsi operasional. Seringkali polisi
sendiri tidak menyadari akan hal itu, bahkan tidak menyadari bahwa pemahaman
mereka mengenai kebudayaan polisi dan operasionalisasi dari kebudayaan polisi
melalui kode etik kepolisian itu sering mereka abaikan oleh karena beberapa
faktor penyebab. Lebih-lebih lagi adalah
pengabaian pemahaman terhadap kebudayaan-kebudayaan yang ada dalam lingkungan
kepolisian yang harus mereka hadapi dalam tugas-tugas kepolisian, agar
tugas-tugas pemolisian mereka itu dapat berjalan secara efisien dan efektif
hasilnya.
4.
Kebudayaan, Kebudayaan Polisi, dan
Kode Etik Kepolisian
Kebudayaan
dapat dilihat sebagai pengetahuan dan keyakinan-keyakinan yang dipunyai menusia
mengenai dirinya dan lingkungannya beserta segala isnya, serta posisi dirinya
dalam lingkungan yang dikonsepsikannya tersebut, Lingkungan yang dimaksud mencakup lingkungan
alam, fisik, dan sosial. Isi dari setiap
kebudayaan adalah konsep-konsep dengan masing-masing sistem-sistem maknanya,
aturan-aturan atau norma-norma, resep-resep, formula-formula, petunjuk-petunjuk
serta larangan-larangan, dan nilai-nilai. Inti atau puncak dari kebudayaan adalah
nilai-nilai yang dipunyai oleh dan yang ada dalam kebudayaan tersebut yaitu yang
dinamakan nilai-nilai budaya.
Dalam
setiap kebudayaan terdapat nilai-nilai budaya yang baku atau seringkalai juga
dilihat sebagai nilai-nilai yang ideal yang biasanya dinamakan pandangan hidup
atau world view, disamping nilai-nilai budaya yang operasional dalam
kegiatan-kegiatan kehidupan manusia yang dinamakan etos atau ethos, yang
tidak baku dan dapat berubah-ubah, seperti misalnya etos belajar, etos kerja,
dsb.nya. Isi yang mendasar dari
setiap kebudayaan adalah sistem-sistem penggolongan yang menghasilkan
konsep-konsep, golongan-golongan, metode-metode, dan teori-teori. Teori tentang sakit sebagai lawan dari sehat
dalam kebudayaan Jawa misalnya, berbeda dari yang ada dalam kebudayaan Barat
atau kebudayaan-kebudayaan lainnya.
Sakit yang namanya masuk angin misalnya, hanya dikenal dalam
kebudayaan Jawa yang sekarang menyebar dan dikenal di seluruh Indonesia. Di balik konsep masuk angin ini,
terdapat sistem-sistem penggolongan yang mencakup konsep-konsep yang yang
mendukung dan yang berlawanan dengan masuk angin, teori atau teori-teori
tentang sebab-sebab terjadinya dan cara-cara atau metode-metode atau
resep-resep untuk pengobatannya, dsb.nya*).
Fungsi
kebudayaan dalam dan bagi kehidupan manusia adalah sebagai pedoman bagi
kehidupannya dalam menghadapi dan memanfaatkan lingkungan beserta isinya untuk
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup sebagai manusia. Kebutuhan-kebutuhan hidup manusia mencakup
kebutuhan-kebutuhan biologi, sosial, dan adab.
Kebudayaan ada dalam dan operasional melalui diri orang perorang dan
pranata-pranata yang ada dalam sebuah kelompok atau masyarakat, dan karena itu kebudayaann
ada dalam dan dimiliki oleh kelompok, organisasi, komuniti dan masyarakat (lihat
Suparlan 1986, 2005).
Dengan
mengacu pada pengertian kebudayan seperti tersebut diatas, saya melihat
kebudayaan polisi sebagai pengetahuan dan keyakinan-keyakinan yang dipunyai
polisi sebagai organisasi atau pranata mengenai dirinya dan lingkungannya beserta
isinya, dan mengenai posisinya dalam lingkungannya tersebut. Fungsi kebudayaan polisi adalah sebagai
pedoman bagi kehidupan polisi sebagai organiasi atau pranata pemerintahan dalam
menghadapi dan memanfaatkan lingkungan beserta isinya untuk pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan sebagai polisi, yaitu pemenuhan tugas-tugas kepolisian.
Kebudayaan
polisi, yaitu kebudayaan yang dipunyai oleh polisi sebagai organisasi atau
pranata, dibakukan sebagai seperangkat pedoman formal yang berisikan
sistem-sistem penggolongan, konsep-konsep, teori-teori, metode-metode, aturan-aturn
atau norma-norna, dan nilai-nilai berkenaan dengan keabsahan organisasi serta
fungsi-fungsinya dalam lingkungannya, orientasi kegiatan organsasi, tugas-tugas
pemolisian, dan lingkungan yang dihadapi dalam pemolisian serta metode-metode
penanganan dan pengelolaannya. Kebudayaan
polisi harus dibedakan dari kebudayaan yang dipunyai oleh anggota-anggota atau
petugas-petugas kepolisian yang menjadi
anggota-anggota organisasi tersebut.
Kebudayaan
polisi yang dibakukan tersebut adalah pedoman bagi kehidupan polisi secara ideal
atau normatif atau yang seharusnya, yang secara sadar atau tidak sadar
berfungsi utuk menyeragamkan tindakan-tidakan para anggota-anggotanya dalam
tugas-tugas pemolisian dan kehidupan mereka. Kebudayaan polisi mempunyai inti atau
nilai-nilai budaya yang berisikan pedoman penilaian dalam dan bagi pembuatan
dan pemantapan penggolongan-penggolongan mengenai polisi dan dunia yang
dihadapi oleh polisi, hasil-hasil penggolongan yang terwujud sebagai
konsep-konsep yang dipunyai oleh polisi, serta berisikan penilaian secara
etika, moral, dan estetika mengenai gejala-gejala yang ada dalam kehidupan
polisi dan lingkungannyan yang berkaitan dengan konsep-konsep keindahan,
kepantasan, kebenaran, kepahlawanan, keperkasaan, gender, moral dan etika,
kesusilaan, harga diri dan kehormatan, kerja, kerapian, ketaatan pada atasan,
kemandirian dan diskresi, pelanggaran, kejahatan, keteraturan dan ketertiban
atau disiplin.
Kebudayaan
polisi sebagai kebudayaann organisasi dibangun berdasarkan atas ideologi
dibentuknya kepolisian sebagai organisasi pemerintahan untuk melayani,
melindungi, dan menegakkan hukum sebagaimana yang telah digariskan oleh Robert
Peel, seperti yang telah disebutkan di halaman-halaman terdahulu dalam tulisan
ini. Karena itu, kebudayaan polisi dapat
digolongkan sebagai kebudayaan yang ideal, yang artinya adalah sebagai
seperangkat pedoman dari pespektif kepolisian untuk melihat dirinya dan
lingkungnnya dan untuk bertindak dalam pemolisian sesuai cita-cita yang normatif
atau yang seharusnya dalam perspektif kebudayaan tersebut.
Kebudayaan
polisi yang normatif ini dibedakan dari kebudayaan polisi yang aktual. Yang dimaksud dengan kebudayaan polisi yang
aktual adalah kebudayaan polisi yang
sebenarnya atau yang betul-betul dijadikan sebagai pedoman bagi kehidupan polisi
sebagaimana yang ada dalam organisasinya melalui kegiatan-kegiatan administrasi
maupun manajemennya, dan dalam kegiatan-kegiatan dari fungsi-fungsi
operasionalnya, sebagaimana yang terwuujud dalam tugas-tugas dan
tindakan-tindakan dari para anggota kepolisiannya. Kebudayaan aktual adalah sebuah kesimpulan
atau abstraksi dari rangkaian-rangkaian tindakan para petugas atau anggota
kepolisian untuk sesuatu jangka waktu tertentu dan dalam sesuatu wilayah
kegiatan tertentu yang secara berulang selalu ditunjukkab, yang hasil abstrakti
atau kesimpulan tersebut menunjukkan ciri-ciri atau pola-pola dari tindakan-tindakan kepolisian.
Artinya,
tindakan-tindakan para anggota dan petugas kepolisian tersebut mempunyai
ciri-ciri atau pola-pola tertentu. Pola-pola
dari tindakan-tindakan kepolisian tersebut dapat dilihat sebagai pola-pola bagi tindakan-tindakan dari petugas
kepolisian, karena tindakan-tindakan tersebut berpola dan terwujud secara
berulang untuk situasi-situasi tertentu yang sama dalm waktu-waktu yang
berbeda. Sehingga kesimpulannya adalah
bahwa ada pola-pola atau acuan pedoman bagi tindakan-tindakan yang berpola dan
yang aktual tersebut. Pola-pola atau pedoman yang diacu itulah yang dinamakan
kebudayaan yang akual. Tidak ada
kebudayaan polisi manapun yang secara normatif berisikan pedoman untuk memeras
tersangka dalam tindak korupsi. Tetapi
bila secara aktual, dalam sebuah organisasi kepolisian, tindakan seperti itu
dilakukan oleh petugas kepolisian yang berbeda dan yang secara berulang
dilakukan dari waktu ke waktu, maka dapat dikatakan seperti inilah kebudayaan
polisi yang aktual.
Kebudayaan
polisi dikembangkan serta dimantapkan oleh organisasi kepolisian melalui
kegiatan-kegiatan manajemen oleh para administrator atau pejabat-pejabat
administrasinya, yang diwujudakan dalam berbagai bentuk kebijakan dan aturan-aturan
atau perundangan, yang merupakan pencerminan dari pengetahuan dan
keyakinan-keyakinan dari para admniistrator tersebut yang mengacu pada
pinsip-prinsip mengenai organisasi kepolisian dan pengorganisasiannya sebagaimana
yang telah digariskan oleh Robert Peel, tersebut diatas. Sebagai kebudayaan organisasi, kebudayaan
polisi berintikan pada nilai-nilai budaya kepolisian yang menjadi acuan dalam
pembuatan berbagai pedoman bertindak dan norma-norma yang diberlakukan dalam organisasi
tersebut, yang penekanannya adalah pada
pedoman berlakunya perbedaan jenjang dan kewenangan serta pendelegasiannya dan
pada keseragaman bertindak sebagai petugas kepolisian, yang membedakannya dari
kebudayaan yang berlaku dalam organisasi sipil atau militer.
Kebudayaan
dan nilai-nilai budaya yang dipunyai oleh sebuah organisasi atau pranata polisi
adalah tidak sama dengan yang dipunyai oleh anggota-anggota kepolisian dari
organisasi atau pranata polisi tersebut.
Kebudayaan polisi adalah kebudayaan organisasi yang bercorak formal yang
penekanan intinya adalah pada jenjang dan pada kewenangan serta pendelegasian kewenangan,
sedangkan kebudayaan yang dipunyai oleh anggota-anggota kepolisian dari
organisasi tersebut adalah kebudayaan yang pada dasarnya telah dipunyai oleh
mereka masing-masing sebelum menjadi anggota kepolisian yang ditambah dan
digabungkan dengan mengadopsi atau menerima kebudayaan polisi sebagai bagian
dari kebudayaan mereka, karena mereka adalah anggota atau petugas kepolisian
yang wajib tunduk pada berbagai ketentuan yang diberikan oleh organisasi dan
oleh atasan mereka.. Bahkan kebudayaan
polisi yang normatif tersebut dapat dikatakan sebagai bertentangan dengan
kebudayaan yang dipunyai oleh para petugas kepolisian yang menjadi anggota
organisasinya; lebih-lebih laginadalah mereka yang baru saja selesai pendidikan
dan diangkat sebagai anggota kepolisian. Begitu juga diantara sesama anggota kepolisian
terdapat variasi atau perbedaan-perbedaan dalam kebudayaan dari masing-masing
anggota kepolisian tersebut. Perbedaan
kebudayaan diantara sesama anggota kepolisiann disebabkan karena mereka itu berasal
dari berbagai kelompok sukubangsa atau bangsa yang berbeda, asal jenjang sosial
dan kelas sosial yang berbeda, pengalaman pembudayaan atau enkulturasi dalam
keluarga dan pendidikan yang berbeda, dan juga oleh perbedaan orientasi
nilai-nilai budaya yang mereka punyai masing-masing.
Karena
itu, polisi sebagai sebuah organisasi profesional, membuat aturan-aturan sebagai
acuan mekanisame kontrol yang ditujukan kepada anggota-anggotanya untuk
mengendalikan mereka agar taat pada disiplin yang ada dalam aturan-aturan moral
dan etika sesuai dengan nilai-nilai budaya polisi di dalam tindakan-tindakan
mereka, sebagai petugas kepolisian. Aturan-aturan
moral dan etika polisi tersebut dituangkan secara tertulis dalam bentuk sebuah
kode etik kepolisian. Kode etik
kepolisian diberlakukan bagi para petugas kepolisian sehingga dalam menjalankan
tugas-tugas pemolsian, para petugas kepolisian tersebut dapat mencerminkan
berlakunya kebudayaan polisi yang terwujud sebagai tindakan-tindakan
profesional dalam pelayanan, pengayoman, dan penegakkan hukum.
Kode
etik adalah sebuah pernyataan yang terwujud sebagai aturan-aturan moral yang
biasanya tertulis yang dibuat oleh sebuah organisasi. Kode etik yang tertulis ini adalah kode etik
yang ideal yang diberlakukan oleh organisasi yang bersngkutan untuk dipatuhi
dan digunakan sebagai pedoman oleh
anggota-angotanya dalam tindaikan-tindakan mereka. Sama halnya dengann kebudayaan atau
nilai-niolai budaya, yaitu ada yang ideal dan yang aktual, maka kode etik
kepolisian juga ada yang aktual dan ada yang ideal. Sebuah kode etik kepolisian yang aktual
biasanya adalah pedoman etika dalam tugas-tigas kepolisian yang bertentangan
secara etika dengan kode etik yang formal dari organisasinkepolisiann yang
bersangkutan; walaupun tidak selalu demikian.
Kode etik kepolisian yang aktual biasanya juga tidak tertulis, tetapi
ada dan digunakan oleh sekelompoik petugas kepolsian dari fungsi yang sama atau
dari satgas yang sama,.
Sebuah
kode etik kepolisian biasanya dibuat secara sederhana, dengan kata-kata dan
bahasa yang mudah dimengerti oleh siapapun, sebagai pedoman atau larangan
bertindak dalam kapasitas anggota kepolisian sebagai petugas kepolisian,
sehingga dengan mudah dapat dipahami oleh para petugas kepolisian pada jenjang
manapun.. Kode etik kepolisian diberlakukan bagi para petugas atau
anggota-anggota organisasi tersebut, yang isinya adalah aturan-aturan atau
ketentuan-ketentuan mengenai nilai-nilai yang harus dijadikan pedoman kerja dan
bertindak bagi para petugas atau anggota organisasi, dan yang penekanan isinya
adalah bahwa pada waktu dan pada saat melakukan tugas-tugas pekerjaannya si
petugas atau anggota kepolisian tersebut tidak melakukannya untuk kepentingan
atau keuntungan bagi dirinya sendiri, tetapi mengutamakan pada kepentingan pelayanan
dan bagi kepentingan yang dilayani.
Ketentuan
yang ada dalam kode etik menjamin kompentesi atau kemampuan si petugas atau
anggota organisasi dalam memberikan pelayanan yang bermutu tinggi kualitasnya, dimana
pelayanan yang bermutu tersebut juga dijamin oleh organisasinya. Oleh karena itu kode etik dapat dikatakan
sebagai merupakan jaminan kesetiaan dan pengabdian pada pekerjaan dari para
petugas atau anggota organisasi, serta menjamin kehormatan dirinya dan
organisasinya.
Tujuan
dari dibuat dan diberlakukannya kode etik kepolisian bagi anggota-anggota
kepolisian, adalah agar anggota-anggota kepolisian tersebut tidak menggunakan
kebudayaan dan nlai-nilai budayanya masing-masing sebagai acuan bertindak dalam
kapasitasnya sebagai petugas kepolisian, tetapi menggunakan kebudayaan polisi
dalam tugas-tugas pemolisian mereka.
Kode etik kepolisian juga dibuat dan diterapkan kepada anggota-anggota
kepolisian untuk menjamin mutu atau kualitas kerja atau profesionalisme dari
petugas kepolisian dalam tugas-tugas pelayanan kepolisian kepada warga,
komuniti, umum, dan masyarakat luas.
Karena itu isi dari kode etik kepolisian, yang secara umum berlaku di seluruh
dunia, adalah idealisme atau cita-cita keluhuran dan profesionalisme polisi
dalam menjalankan tugas-tugas pemolisian, larangan-larangan dan berbagai hal
yang tidak seharusnya dilakukan oleh polisi baik dalam kegiatan tugas maupun
dalam kehidupan sehari-hari sebagai pribadi (karena seorang polisi bertugas selama
duapuluh jam dalam satu hari dan tujuh hari dalam satu minggu, sehingga
kehidupan pribadinya adalah juga sama dengan kehidupannya sebagai seorang
polisi).
5.
Masalah dan Penerapan Kode Etik
Kepolsian
Di
negara-negara berkembang atau yang baru terbebas dari rezim yang otoriter, kode
etik kepolisian biasanya bercorak militeristik atau dibuat dalam susunan
kata-kata dan kalimat-kalimat yang sulit dipahami. Coraknya yang militeristik tersebut merupakan
sisa-sisa kebudayaan militer yang masih ada dalam kebudayaan polisi, karena
dalam rezim yang otoriter atau militeristik tersebut, polisi menjadi bagian
dari dan tunduk pada ketenbtuan-ketentuan dari organisasi kemiliteran yang
dibuat oleh pemerintah. Sehingga, para petugas kepolisian secara sadar
ataupun tidak sadar, mengabaikan penggunaan kode etik kepolisian yang ada dan yang
seharsnya berlaku sebagai pedoman dalam tugas-tugas pemolisiannya. Disamping itu para administrator atau pejabat
dari organisasi kepolisian yang bersangkutan juga tidak melakukan kegiatan
pemberlakuan secara efektif dari kode etik yang dibuat oleh organisasi
kepolisiannya, terutama dalam pendidikan dan latihan kedinasas bagi
personilnya. Biasanya mata pelajaran
kode etik hanya diadakan sebagai hiasan bagi keindahan atau kelengkapan krikulum
pendidikan dan latihan kedinasan, dan bukannya diperlakukan sebagai sebuah mata
ajaran yang pokok bagi menjamin terwujudnya profesionalisme personil yang telah
mengikuti pendidikan dan latihan tersebut.
Di
Amerika Serikat kegiatan-kegiatan pemolisian yang dilakukan oleh
petugas-petugas kepolisian bukan hanya dikendalikan dan ditangani oleh badan
internal yang ada dalam organisasi kepolisian yang bersangkutan, tetapi juga
oleh warga dan komuniti-komuniti tempat berfungsinya organisasi kepolisian
tersebut. Walaupun demikian,
pelanggaran-pelanggaran etika yang dilakukan oleh petugas kepolisian setempat
masih juga berlangsung. Sebab utamanya
adalah adanya perbedaan antara kebudayaan organsasi polisi yang ideal dan
formal dengan kebudayaan polisi yang aktual yang dipunyai oleh dan ada dalam
diri orang perorang anggota kepolisian yang bersangkutan.
Hal
yang sama juga berlaku dalam kode etik kepolisian. Disamping kode etik yang formal dan tertulis
yang dibuat dan diterapkan oleh organisasi kepolisian yang bersangkutan
terhadap anggota-anggotanya, maka bersamaan dengan itu juga ada kode etik yang tidak
tertulis yang hidup secara aktual dan digunakan oleh anggota-anggota kepolisian
dari organisasi tersebut. Kode etik
tidak tertulis ini mereka ketahui sebagai bertentangan atau melanggar ketentuan
aturan-aturan yang ada dalam kode etik kepolisian yang resmi dan tertulis,
tetapi mereka dengan sengaja atau tidak sengaja melangganya karena termotivasi
untuk kepentingan keuntungan diri sendiri.
Debbie
J. Goodman (1998) yang menyadari bahwa menerapkan kode etik kepolisian kepada
petugas kepolisian adalah pekerjaan yang tidak mudah, menyarankan agar jumlah
jam pelajaran dan muatan pelajaran mengenai kode etik kepolisian dalam
pendidikan dan pelatihan kepolisian ditambah dan harus diajar oleh pengajar
yang dikenal sebagai polisi atau pengajar profesional. Selanjutnya Goodman juga menyarankan agar
pola-pola persahabatan dan solidaritas sosial yang ada dalam partner kerja petugas
kepolisian dan dalam satuan-satuan angkatan atau kelas di pendidikan dan
latihan kepolisian dapat dimanfaatkan untuk digunakan dalam saling mengontrol
apakah teman mereka itu bertindak tidak profesional dengan melanggar ketentuan
yang ada dalam kode etik kepolisian atau tidak.
Untuk
itu, Goodman dalam bukunya (1998) membuat lima puluh pertanyaan mengenai apakah
sesuatu perbuatan itu melanggar etika atau tidak. Pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab oleh
petugas kepolisian. Jawaban-jawabannya
ada di bagian belakang dari buku tersebut.
Adapun pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Goodam antara lain, adalah
mengenai etis atau tidaknya menerima tawaran makan dan minum pada waktu
bertugas, makan dan minum gratis dalam keadaan sedang bertugas di sebuah
restoran, menerima hadiah uang atau barang berharga dari warga yang merasa
berterimakasih, berbohong sebagai petugas kepolisian, perbuatan a susila, kekerasan
dan kebrutalan polisi, dsb.
Masalah-masalah
yang dipertanyakan oleh Goodman kepada pembacanya yang polisi Amerika, adalah
masalah-masalah yang sensitif dan penting yang mempengaruhi integritas dan
profesionalisme mereka sebagai petugas kepolisian. Tetapi bagi kita di Indonesia beberapa diantara
masalah-masalah yang ditanyakan oleh Goodamn tersebut adalah sesuatu yang biasa
yang tidak kita anggap sebagai melanggar etika kepolisian. Sebuah contoh dari pertanyaan yang diajukan
dalam buku Goodman (1998:3), adalah sbb.:
“Apakah dibenarkan bagi seorang petugas kepolisian untuk menerima
tawaran kopi, makanan, dan berbagai barang lainnya?’ Di Amerika Serikat jawabannya
akan mengatakan “itu tidak benar”. Tetap
kalau di Indonesia, “Itu boleh-boleh saja, tidak apa-apa”
Sebagai
akhir kata mungkin patut dinyatakan bahwa kebudayaan polisi merupakan sebuah
konsep yang penting dalam dan bagi kehidupan polisi sebagai organiasi atau
pranata pemerintah. Karena kebudayaan polisi adalah pedoman bagi kehidupan
organisasi polisi, yaitu bekenaan dengan fungsinya dalam masyarakat yang
mencakup administrasi dan manajemen pemolisian yang penekanannya pada
pelayanan, pengayoman, dan penegakkan hukum.
Kebudayaan polisi merupakan acuan utama.bagi pembuatan dan pemantapan kode
etik kepolisian, yang merupakan salah satu unsur penunjang yang penting dalam
proses-proses pembentukan dan penciptaan profesionalisme polisi disamping
keahlian dan efektifitas kerja dalam tugas-tugas pemolisian. Profesionalisme tidak dinilai atau ditentukan
mutunya oleh yang melakukan tugas pekerjaan tetapi ditentukan nilai dan mutunya
oleh mereka yang dilayani atau yang memberi pekerjaan berdasarkan pada mutu kerja
dan hasil kerja yang ditunjukkan.
Karena
pentingnya kode etik kepolisian dalam menjamin mutu atau kualitas kerja secara
profesional, saya lampirkan pernyataan dari International
Association of Chiefs of Police (IACIP) mengenai Kode Etik Kepolisian atau Penegak
Hukum.
.
Catatan:
*) Naskah aslinya
berjudul “Etika Bagi Polisi” telah disampaikan dalam Seminar Sespim Polri
Angkatan 44, dengan tema Meningkatkan Profesionalisme Untuk Mengantisipasi Konflik
Sosial Guna Terciptanya Kamtibmas Dalam
Rangka Mewujudkan Kamdagri. Bandung, 11 Juni 2007.
**) Saya tidak
menggunakan konsep kebudayaan sebagai gagasan, kelakuan, dan hasil kelakukan (Prof.
Koentjaraningrat) ataupun sebagai hasil cipta, rasa, dan karsa (Ki Hajar
Dewantara), ataupun konsep lainnya
seperti kebudayaan sebagai tata nilai. (Pembahasan mengenai hal ini akan
tercakup dalam tulisan saya yang lain mengenai Kebudayaan Polisi).
Kepustakaan
Goodman,
Debbie J. (1998). Enforcing
Ethics. Upper Sadle, N.J.: Prentice.
Cordner,
Garry W. (2005). “Administration”. Dalam William G. Bailey, Editor. Ensiklopedi Ilmu Kepolisian. Hal. 10-15. Terjemahan. Jakarta: YPKIK
Farris,
Edward A. (2005). “Professionalism”. Dalam William G. Bailey, Editor. Ensiklopedi Ilmu Kepolisian. Hal 784-787. Terjemahan. Jakarta: YPKIK
Souryal, Sam S. (2005).
“Organizational Structure: Theory into Practice”. Dalam William G. Bailey, Editor. Ensiklopedi Ilmu Kedpolisian. Hal. 571-577. Terjemahan.
Jakarta: YPKIK
Suparlan,
Parsudi (1986). “Kebudayaan dan Pembangunan”. Media IKA, Vol. 14, No. 2, , Hsl. 106-135. Jurusan Antropologi, U.I.
___________ (2005).
Sukubangsa dan Hubungan Antar-Sukubangsa. Edisi Revisi. Cetakan Kedua. Jakarta: YPKIK
No comments:
Post a Comment