Restorative Justice adalah sebuah
teori yang menekankan pada memulihkan kerugian yang disebabkan atau ditimbulkan
oleh perbuatan pidana. Memulihkan kerugian ini akan tercapai dengan adanya
proses-proses kooperatif yang mencakup semua pihak yang berkepentingan (stakeholders). Menurut Muladi[1]
secara rinci restorative model mempunyai beberapa karakteristik
yaitu:
a. Kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran seorang terhadap orang
lain dan diakui sebagai konflik;
b. Titik perhatian pada pemecahan masalah pertanggungjawaban dan
kewajiban pada masa depan;
c. Sifat normatif dibangun atas dasar dialog dan negosiasi;
d. Restitusi sebagai sarana perbaikan para pihak, rekonsiliasi dan
restorasi sebagai tujuan utama;
e. Keadilan dirumuskan sebagai hubungan-hubungan hak, dinilai atas
dasar hasil;
f. Sasaran perhatian pada perbaikan kerugian sosial;
g. Masyarakat merupakan fasilitator di dalam proses restoratif;
h. Peran korban dan pelaku tindak pidana diakui, baik dalam masalah
maupun penyelesaian hak-hak dan kebutuhan korban. Pelaku tindak pidana didorong
untuk bertanggung jawab;
i. Pertanggungjawaban si pelaku dirumuskan sebagai dampak pemahaman
terhadap perbuatan dan untuk membantu memutuskan yang terbaik;
j.
Tindak pidana dipahami dalam
konteks menyeluruh, moral, sosial dan ekonomis; dan
k. Stigma dapat dihapus melalui tindakan restoratif.
Tindakan-tindakan dan
program-program yang merefleksikan tujuan-tujuan restorative akan dapat menyelesaikan kasus kejahatan dengan cara :
(a) mengidentifikasi dan mengambil langkah-langkah untuk memulihkan kerugian,
(b) melibatkan semua stakeholder, dan
(c) merubah hubungan tradisional antara masyarakat dan pemerintah dalam
mengatasi kejahatan. Konsep-konsep ini merupakan bagian dari prinsip-prinsip
dari Restorative Justice yang dituangkan dalam Declaration of Basic Principles of Justice of Crime and Abuse of Power,
1985. Prinsip-prinsip dasar Restorative
Justice tersebut kemudian dikembangkan oleh the UN Commission on Crime Prevention and Crime Justice sebagai
panduan internasional untuk membantu negara-negara yang menjalankan program Restorative Justice.[2]
Formula teori untuk restorative justice atau teori-teori
terkait dalam kriminologi memiliki fokus pada pengulangan kejahatan oleh pelaku
pelanggaran, tanpa ada teori formal tentang konsekuensi yang diterima korban
(Braithwaite, 1989, 2002; Sherman, 1993; Tyler, 1990). Akan tetapi, ada dua
teori di luar khasanah kriminologi yang membahas hal ini. Yang pertama adalah cognitive behavioral therapy (CBT) dalam
psikologi, yang menunjukkan bahwa korban bisa diuntungkan ketika ditawarkan “deconditioning” discussions trauma (menghilangkan situasi trauma yang
diderita karena tindakan kejahatan yang dialami) dengan menyelenggarakan suatu diskusi
tatap muka (face to face) di
lingkungan yang aman dan terkendali. Yang kedua adalah “interaction ritual” (IR) dalam
sosiologi, yaitu memperkirakan bahwa energy emosional yang timbul dari sebuah
konferensi pengadilan restorative akan berhasil memiliki manfaat positif bagi
korban dengan mengembalikan identitas dan rasa harga diri yang dimiliki korban.
Tujuan pemidanaan dalam
literature Bahasa Inggris adalah Reformation,
Restraint, Restributioan dan Individual
Deterrence serta General Deterrence.
Retribution adalah pembalasan
terhadap orang yang telah melakukan kejahatan dimana seseorang yang telah
melakukan kejahatan haruslah dijatuhi pidana tanpa melihat manfaat lain
pejatuhan pidana. Retribution ini berkaitan dengan teori pembenaran penjatuhan
pidana yaitu teori absolute atau teori pembalasan, dimana kejahatan yang
dilakukan itu yang menjadi penyebab dijatuhkannya pemidanaan.
Restraint adalah menjauhkan pelaku
kejahatan dari kehidupan masyarakat dengan maksud menghindarkan masyarakat dari
keresahan untuk terjadinya kejahatan yang akan dilakukan lagi oleh si Pelaku
kejahatan tersebut, sehingga masyarakat menjadi lebih tenang dan aman. Untuk
itulah si Pelaku kejahatan dijatuhkan pidana penjara agar tidak berada lagi
bersama masyarakat. Reformation tujuannya yaitu untuk memperbaiki atau
merehabilitasi Pelaku kejahatan yang telah merugikan pihak lain dengan
kejahatan yang telah dilakukannya agar si Penjahat tersebut menjadi orang yang
baik dan tidak lagi meresahkan masyarakat dengan mengulang kembali melakukan
kejahatan, sehingga si Penjahat tersebut dapat diterima bahkan berguna bagi
masyarakatnya.
Adapun Deterrence yang khusus tujuannya adalah
agar si Pelaku kejahatan yang telah dijatuhi pidana menjadi jera atau kapok
sehingga ia tidak melakukan lagi kejahatan yang sama atau kejahatan lainnya.
Sedangkan Deterrence umum tujuannya
dengan dijatuhinya pidana kepada si Pelaku kejahatan adalah untuk menjadi
contoh kepada masyarakat bahwa siapa saja yang melakukan kejahatan pasti akan
dijatuhi hukuman, sehingga diharapkan masyarakat menjadi takut atau jera untuk
melakukan kejahatan.
Namun masa sekarang ini
dapat kita lihat bersama penjatuhan pidana atau pemidanaan terhadap si Pelaku
kejahatan pada umumnya belum menjadikan si pelaku jera dan membuat masyarakat
terasa aman lebih jauh belum mencapai rasa keadilan. Contohnya seorang pelaku
kejahatan setelah dia dipidana penjara kemudian keluar kembali ditengah-tengah
masyarakat ternyata tidaklah menjadi jera sehingga yang bersangkutan kembali
meresahkan masyarakatnya dengan aksi-aksi kejahatannya, apalagi selama ia
dipenjara ternyata bertemu dengan penjahat-penjahat lain sehingga mereka
bertukar pengalaman dan keahlian, bahkan ternyata si penjahat inipun mengajak
orang lain yang sebelumnya orang baik-baik untuk melakukan aksi kejahatan
bersamanya.
Disisi lain kita melihat
dalam penjatuhan pidana kerap keadilan terasa kurang menyentuh atau terasa
hambar terlebih terhadap tindak pidana yang ada memakan korban, misalnya tindak
pidana penganiayaan, pencurian atau pembunuhan. Dimana pada umumnya vonis-vonis
yang dijatuhkan oleh Hakim hanya melihat kepentingan pelaku kejahatan dengan maksud bahwa vonis yang dijatuhkan
tersebut bukanlah untuk pembalasan terhadap tindak pidana yang telah dilakukan,
tapi vonis yang dijatuhkan adalah untuk mendidik si penjahat atau agar penjahat
menjadi jera dan tidak mengulangi lagi, sementara itu kepentingan korban kurang
diperhatikan. Contohnya dalam tindak pidana pasal 362 KUHP tentang pencurian, misalkan
yang dicuri adalah sebuah pesawat televisi lalu televisi tersebut dijual dan
hasil penjualannya telah habis dipakai oleh si penjahat tersebut. Dalam kasus
ini Hakim pastilah akan menjatuhkan pidana terhadap penjahat ini dan biasanya
vonis yang dijatuhkan akan memperhatikan kepentingan terdakwa, yaitu dengan
vonis yang dijatuhkan agar dapat mendidik terdakwa sadar akan kesalahannya
sehingga terdakwa tidak lagi melakukan kejahatan. Namun disisi lain Hakim
kurang memperhatikan kepentingan korban yang telah kehilangan televisinya.
Disinilah rasa keadilan
terasa hambar karena memang aturan hukum kita tidak mengatur untuk itu. Dalam
pasal 98 sampai pasal 101 KUHAP memang ada diatur tentang gabungan gugatan
ganti kerugian dengan tindak pidananya, aturan ini disyaratkan bahwa yang aktif
adalah pihak yang dirugikan Hakim Ketua Sidang menetapkan penggabungan perkara
pidana dengan tuntutan ganti rugi hanya atas permintaan pihak yang dirugikan,
mungkin karena ketidak tahuan pihak yang dirugikan atas pasal ini maka terhadap
aturan ini jarang sekali dipergunakan. Aturan ini hanya memberikan sarana
kepada pihak yang dirugikan atas terjadinya tindak pidana untuk menuntut ganti
rugi namun tidak semua orang tahu, Hakimpun bersifat pasif tidak akan
memberitahukan hal itu karena melihat keadaan
terdakwa yang tidak mungkin untuk dapat dituntut karena kewenangan
mengadilinya ataupun keadaan terdakwa itu sendiri yang memang tidak mungkin
untuk membayar tuntutan ganti rugi tersebut
Bahwa tujuan pemidanaan
berkaitan erat dengan rasa keadilan atau kata lain rasa keadilan baru dapat
tercapai apabila telah tercapai tujuan
pemidanaan. Keadilan baru dapat didekati apabila tujuan pemidanaan memperhatikan
kepentingan negara, kepentingan masyarakat, kepentingan pelaku kejahatan serta
kepentingan korban. Kepentingan negara dalam setiap penjatuhan pidana dimulai
dari proses penyelidikan dan penyidikan sampai pemidanaan sudah dapat terpenuhi
sebagaimana yang dilakukan oleh petugas hukum Polisi, Jaksa Penuntut Umum dan
Hakim, artinya aturan-aturan yang berkenaan dengan suatu tindak pidana yang
diterapkan Negara baik hukum formilnya maupun hukum materiilnya telah
dilaksanakan sedemikian rupa. Kepentingan masyarakat, maksudnya apakah dengan
pemidanaan tersebut kepentingan masyarakat telah terayomi sehingga masyarakat
dapat terhindar dari tindak pidana yang
akan dilakukan lagi oleh si penjahat tersebut. Lebih jauh lagi apakah dengan
dipidananya terdakwa benar-benar membuat masyarakat menjadi tenteram dan
putusan tersebut memberi manfaat pada masyarakat.
Kepentingan pelaku
kejahatan dalam pemidanaan harus pula diperhatikan oleh Hakim, vonis yang
dijatuhkan oleh Hakim harus melihat kepentingan pelaku kejahatan secara normatif,
yaitu agar setelah pelaku kejahatan menjalankan pidana yang bersangkutan
menjadi warga yang baik tidak mengulangi melakukan kejahatan lagi dan tidak
meresahkan masyarakat. Sebenarnya secara lahiriah manusia mempunyai sifat yang
baik dan ada keinginan untuk menjadi baik, namun karena ternyata dipenjara
justru si pelaku kejahatan mendapatkan kawan sesama napi dan bertukar
pengalaman serta keahlian, sehingga menjadikannya tidak berubah bahkan lebih
pintar dalam melakukan aksinya. Menurut kaidah yang paling utama dalam suatu
penjatuhan putusan oleh Hakim adalah terakomodasinya kepentingan korban dan
atau keluarganya, jangan sampai vonis yang dijatuhkan tidak membawa arti
apa-apa bagi si korban maupun keluarganya, sementara korban dan atau
keluarganya sesungguhnya adalah pihak yang paling dirugikan oleh tindak pidana
yang dilakukan si pelaku kejahatan.
Dengan system pemidanaan
yang ada sekarang ini malah membuat tujuan pemidanaan menjadi tidak tercapai.
Banyak penjahat-penjahat menjadi berani atau besar karena ia sudah dipenjara
dan mendapatkan pengalaman dan ilmu yang lebih banyak lagi dari sesama napi,
sehingga menjadikan masyarakat tidak lebih aman. Hal-hal diatas inilah yang
menjadikan terabainya kepentingan masyarakat, kepentingan pelaku dan kepentingan
korban sehingga tujuan pemidanaan menjadi tidak tercapai karena didalam vonis
Hakim tersebut keadilan terasa kurang.