Wednesday, April 27, 2016
QUO VADIS REFORMASI KULTURAL POLRI
Kasus tertangkapnya Kasat Narkoba Polres Pelabuhan Belawan AKP Ichwan Lubis yang diduga kuat menerima uang sogokan dari bandar narkoba, selain mencoreng wajah institusi Polri, juga telah mempermalukan bangsa dan masyarakat Indonesia. Kasus tersebut merupakan salah satu dari ribuan kasus penyimpangan atau pelanggaran hukum yang dilakukan anggota Polri.
Kapolri Jenderal Pol. Badrodin Haiti dalam rilis akhir tahun kinerja Polri di Mabes Polri, Selasa (29/12/2015) mengungkapkan bahwa jumlah personel Polri yang di-PTDH (pemberhentian tidak dengan hormat) mengalami peningkatan sebesar 181 persen. Pada tahun 2014 sebanyak 119 anggota Polri dipecat, sedangkan pada 2015 naik sebanyak 335 anggota Polri yang dipecat. Tak hanya tingginya angka pemecatan anggota polri, tapi angka pelanggaran kode etik oleh anggota Polri pun meningkat. Pada 2014 ada sebanyak 444 pelanggaran yang dilakukan anggota Polri, sedangkan pada 2015 meningkat hingga 978 pelanggaran.
Berbagai kasus penyimpangan atau pelanggaran hukum yang dilakukan anggota Polri jangan hanya dipandang sebagai kasus yang berdiri sendiri (casuistic), namun harus dilihat sebagai simpton yang memiliki problem roots yang saling berkaitan. Banyaknya anggota Polri yang terlibat dalam berbagai bentuk kejahatan, termasuk kejahatan narkoba menunjukkan tidak berjalannya reformasi kultural di tubuh Polri. Menurut Janet Chan yang meneliti kegagalan reformasi di Kepolisian New South Wales Australia mengatakan bahwa kegagalan reformasi kepolisian disebabkan karena kekurang pedulian pada aspek kultural dalam organisasi. Chan menganalisis budaya kepolisian sebagai faktor penyebab kegagalan reformasi kepolisian dengan pendekatan konsep habitus, field, dan capitalyang dikembangkan oleh Pierre Bourdieu (1996).
Menurut Chan, budaya kepolisian dibentuk oleh habitus, capital (modal) dan field (ranah) yang telah terbangun sejak lama dalam lingkungan organisasi kepolisian. Habitus adalah suatu sistem disposisi yang berlangsung lama dan berubah-ubah (durable, transposible disposition) yang berfungsi sebagai basis generatif bagi praktik-praktik yang terstruktur dan terpadu secara obyektif (Bourdieu, 1979). Sedangkan field (ranah) adalah ruang khusus yang ada di dalam masyarakat, seperti ranah pendidikan, ranah ekonomi, ranah budaya, ranah agama, dan ranah sosial-politik. Ranah membentuk habitus yang sesuai dengan struktur dan cara kerjanya, namun habitus juga membentuk dan mengubah ranah sesuai dengan strukturnya.
Jika orang ingin berhasil di suatu ranah, maka ia perlu untuk mempunyai habitus dan capital (modal) yang tepat, capital meliputi benda-benda material (yang dapat memiliki nilai simbolik) dan berbagai atribut ‘yang tak tersentuh’, namun memiliki signifikansi secara kultural, misalnya prestise, status dan otoritas (yang dirujuk sebagai modal simbolik), serta modal budaya (yang didefinisikan sebagai selera bernilai budaya dan pola-pola konsumsi). Otonomisasi relatif ranah ini mensyaratkan agen yang menempati berbagai posisi yang tersedia dalam ranah apapun, terlibat dalam usaha memperebutkan sumber daya atau modal yang diperlukan guna memperoleh akses terhadap kekuasaan dan posisi dalam sebuah ranah. (sgt-icpss)
Thursday, January 28, 2016
KONSEP RESTORATIVE JUSTICE
Restorative Justice adalah sebuah
teori yang menekankan pada memulihkan kerugian yang disebabkan atau ditimbulkan
oleh perbuatan pidana. Memulihkan kerugian ini akan tercapai dengan adanya
proses-proses kooperatif yang mencakup semua pihak yang berkepentingan (stakeholders). Menurut Muladi[1]
secara rinci restorative model mempunyai beberapa karakteristik
yaitu:
a. Kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran seorang terhadap orang
lain dan diakui sebagai konflik;
b. Titik perhatian pada pemecahan masalah pertanggungjawaban dan
kewajiban pada masa depan;
c. Sifat normatif dibangun atas dasar dialog dan negosiasi;
d. Restitusi sebagai sarana perbaikan para pihak, rekonsiliasi dan
restorasi sebagai tujuan utama;
e. Keadilan dirumuskan sebagai hubungan-hubungan hak, dinilai atas
dasar hasil;
f. Sasaran perhatian pada perbaikan kerugian sosial;
g. Masyarakat merupakan fasilitator di dalam proses restoratif;
h. Peran korban dan pelaku tindak pidana diakui, baik dalam masalah
maupun penyelesaian hak-hak dan kebutuhan korban. Pelaku tindak pidana didorong
untuk bertanggung jawab;
i. Pertanggungjawaban si pelaku dirumuskan sebagai dampak pemahaman
terhadap perbuatan dan untuk membantu memutuskan yang terbaik;
j.
Tindak pidana dipahami dalam
konteks menyeluruh, moral, sosial dan ekonomis; dan
k. Stigma dapat dihapus melalui tindakan restoratif.
Tindakan-tindakan dan
program-program yang merefleksikan tujuan-tujuan restorative akan dapat menyelesaikan kasus kejahatan dengan cara :
(a) mengidentifikasi dan mengambil langkah-langkah untuk memulihkan kerugian,
(b) melibatkan semua stakeholder, dan
(c) merubah hubungan tradisional antara masyarakat dan pemerintah dalam
mengatasi kejahatan. Konsep-konsep ini merupakan bagian dari prinsip-prinsip
dari Restorative Justice yang dituangkan dalam Declaration of Basic Principles of Justice of Crime and Abuse of Power,
1985. Prinsip-prinsip dasar Restorative
Justice tersebut kemudian dikembangkan oleh the UN Commission on Crime Prevention and Crime Justice sebagai
panduan internasional untuk membantu negara-negara yang menjalankan program Restorative Justice.[2]
Formula teori untuk restorative justice atau teori-teori
terkait dalam kriminologi memiliki fokus pada pengulangan kejahatan oleh pelaku
pelanggaran, tanpa ada teori formal tentang konsekuensi yang diterima korban
(Braithwaite, 1989, 2002; Sherman, 1993; Tyler, 1990). Akan tetapi, ada dua
teori di luar khasanah kriminologi yang membahas hal ini. Yang pertama adalah cognitive behavioral therapy (CBT) dalam
psikologi, yang menunjukkan bahwa korban bisa diuntungkan ketika ditawarkan “deconditioning” discussions trauma (menghilangkan situasi trauma yang
diderita karena tindakan kejahatan yang dialami) dengan menyelenggarakan suatu diskusi
tatap muka (face to face) di
lingkungan yang aman dan terkendali. Yang kedua adalah “interaction ritual” (IR) dalam
sosiologi, yaitu memperkirakan bahwa energy emosional yang timbul dari sebuah
konferensi pengadilan restorative akan berhasil memiliki manfaat positif bagi
korban dengan mengembalikan identitas dan rasa harga diri yang dimiliki korban.
Tujuan pemidanaan dalam
literature Bahasa Inggris adalah Reformation,
Restraint, Restributioan dan Individual
Deterrence serta General Deterrence.
Retribution adalah pembalasan
terhadap orang yang telah melakukan kejahatan dimana seseorang yang telah
melakukan kejahatan haruslah dijatuhi pidana tanpa melihat manfaat lain
pejatuhan pidana. Retribution ini berkaitan dengan teori pembenaran penjatuhan
pidana yaitu teori absolute atau teori pembalasan, dimana kejahatan yang
dilakukan itu yang menjadi penyebab dijatuhkannya pemidanaan.
Restraint adalah menjauhkan pelaku
kejahatan dari kehidupan masyarakat dengan maksud menghindarkan masyarakat dari
keresahan untuk terjadinya kejahatan yang akan dilakukan lagi oleh si Pelaku
kejahatan tersebut, sehingga masyarakat menjadi lebih tenang dan aman. Untuk
itulah si Pelaku kejahatan dijatuhkan pidana penjara agar tidak berada lagi
bersama masyarakat. Reformation tujuannya yaitu untuk memperbaiki atau
merehabilitasi Pelaku kejahatan yang telah merugikan pihak lain dengan
kejahatan yang telah dilakukannya agar si Penjahat tersebut menjadi orang yang
baik dan tidak lagi meresahkan masyarakat dengan mengulang kembali melakukan
kejahatan, sehingga si Penjahat tersebut dapat diterima bahkan berguna bagi
masyarakatnya.
Adapun Deterrence yang khusus tujuannya adalah
agar si Pelaku kejahatan yang telah dijatuhi pidana menjadi jera atau kapok
sehingga ia tidak melakukan lagi kejahatan yang sama atau kejahatan lainnya.
Sedangkan Deterrence umum tujuannya
dengan dijatuhinya pidana kepada si Pelaku kejahatan adalah untuk menjadi
contoh kepada masyarakat bahwa siapa saja yang melakukan kejahatan pasti akan
dijatuhi hukuman, sehingga diharapkan masyarakat menjadi takut atau jera untuk
melakukan kejahatan.
Namun masa sekarang ini
dapat kita lihat bersama penjatuhan pidana atau pemidanaan terhadap si Pelaku
kejahatan pada umumnya belum menjadikan si pelaku jera dan membuat masyarakat
terasa aman lebih jauh belum mencapai rasa keadilan. Contohnya seorang pelaku
kejahatan setelah dia dipidana penjara kemudian keluar kembali ditengah-tengah
masyarakat ternyata tidaklah menjadi jera sehingga yang bersangkutan kembali
meresahkan masyarakatnya dengan aksi-aksi kejahatannya, apalagi selama ia
dipenjara ternyata bertemu dengan penjahat-penjahat lain sehingga mereka
bertukar pengalaman dan keahlian, bahkan ternyata si penjahat inipun mengajak
orang lain yang sebelumnya orang baik-baik untuk melakukan aksi kejahatan
bersamanya.
Disisi lain kita melihat
dalam penjatuhan pidana kerap keadilan terasa kurang menyentuh atau terasa
hambar terlebih terhadap tindak pidana yang ada memakan korban, misalnya tindak
pidana penganiayaan, pencurian atau pembunuhan. Dimana pada umumnya vonis-vonis
yang dijatuhkan oleh Hakim hanya melihat kepentingan pelaku kejahatan dengan maksud bahwa vonis yang dijatuhkan
tersebut bukanlah untuk pembalasan terhadap tindak pidana yang telah dilakukan,
tapi vonis yang dijatuhkan adalah untuk mendidik si penjahat atau agar penjahat
menjadi jera dan tidak mengulangi lagi, sementara itu kepentingan korban kurang
diperhatikan. Contohnya dalam tindak pidana pasal 362 KUHP tentang pencurian, misalkan
yang dicuri adalah sebuah pesawat televisi lalu televisi tersebut dijual dan
hasil penjualannya telah habis dipakai oleh si penjahat tersebut. Dalam kasus
ini Hakim pastilah akan menjatuhkan pidana terhadap penjahat ini dan biasanya
vonis yang dijatuhkan akan memperhatikan kepentingan terdakwa, yaitu dengan
vonis yang dijatuhkan agar dapat mendidik terdakwa sadar akan kesalahannya
sehingga terdakwa tidak lagi melakukan kejahatan. Namun disisi lain Hakim
kurang memperhatikan kepentingan korban yang telah kehilangan televisinya.
Disinilah rasa keadilan
terasa hambar karena memang aturan hukum kita tidak mengatur untuk itu. Dalam
pasal 98 sampai pasal 101 KUHAP memang ada diatur tentang gabungan gugatan
ganti kerugian dengan tindak pidananya, aturan ini disyaratkan bahwa yang aktif
adalah pihak yang dirugikan Hakim Ketua Sidang menetapkan penggabungan perkara
pidana dengan tuntutan ganti rugi hanya atas permintaan pihak yang dirugikan,
mungkin karena ketidak tahuan pihak yang dirugikan atas pasal ini maka terhadap
aturan ini jarang sekali dipergunakan. Aturan ini hanya memberikan sarana
kepada pihak yang dirugikan atas terjadinya tindak pidana untuk menuntut ganti
rugi namun tidak semua orang tahu, Hakimpun bersifat pasif tidak akan
memberitahukan hal itu karena melihat keadaan
terdakwa yang tidak mungkin untuk dapat dituntut karena kewenangan
mengadilinya ataupun keadaan terdakwa itu sendiri yang memang tidak mungkin
untuk membayar tuntutan ganti rugi tersebut
Bahwa tujuan pemidanaan
berkaitan erat dengan rasa keadilan atau kata lain rasa keadilan baru dapat
tercapai apabila telah tercapai tujuan
pemidanaan. Keadilan baru dapat didekati apabila tujuan pemidanaan memperhatikan
kepentingan negara, kepentingan masyarakat, kepentingan pelaku kejahatan serta
kepentingan korban. Kepentingan negara dalam setiap penjatuhan pidana dimulai
dari proses penyelidikan dan penyidikan sampai pemidanaan sudah dapat terpenuhi
sebagaimana yang dilakukan oleh petugas hukum Polisi, Jaksa Penuntut Umum dan
Hakim, artinya aturan-aturan yang berkenaan dengan suatu tindak pidana yang
diterapkan Negara baik hukum formilnya maupun hukum materiilnya telah
dilaksanakan sedemikian rupa. Kepentingan masyarakat, maksudnya apakah dengan
pemidanaan tersebut kepentingan masyarakat telah terayomi sehingga masyarakat
dapat terhindar dari tindak pidana yang
akan dilakukan lagi oleh si penjahat tersebut. Lebih jauh lagi apakah dengan
dipidananya terdakwa benar-benar membuat masyarakat menjadi tenteram dan
putusan tersebut memberi manfaat pada masyarakat.
Kepentingan pelaku
kejahatan dalam pemidanaan harus pula diperhatikan oleh Hakim, vonis yang
dijatuhkan oleh Hakim harus melihat kepentingan pelaku kejahatan secara normatif,
yaitu agar setelah pelaku kejahatan menjalankan pidana yang bersangkutan
menjadi warga yang baik tidak mengulangi melakukan kejahatan lagi dan tidak
meresahkan masyarakat. Sebenarnya secara lahiriah manusia mempunyai sifat yang
baik dan ada keinginan untuk menjadi baik, namun karena ternyata dipenjara
justru si pelaku kejahatan mendapatkan kawan sesama napi dan bertukar
pengalaman serta keahlian, sehingga menjadikannya tidak berubah bahkan lebih
pintar dalam melakukan aksinya. Menurut kaidah yang paling utama dalam suatu
penjatuhan putusan oleh Hakim adalah terakomodasinya kepentingan korban dan
atau keluarganya, jangan sampai vonis yang dijatuhkan tidak membawa arti
apa-apa bagi si korban maupun keluarganya, sementara korban dan atau
keluarganya sesungguhnya adalah pihak yang paling dirugikan oleh tindak pidana
yang dilakukan si pelaku kejahatan.
Dengan system pemidanaan
yang ada sekarang ini malah membuat tujuan pemidanaan menjadi tidak tercapai.
Banyak penjahat-penjahat menjadi berani atau besar karena ia sudah dipenjara
dan mendapatkan pengalaman dan ilmu yang lebih banyak lagi dari sesama napi,
sehingga menjadikan masyarakat tidak lebih aman. Hal-hal diatas inilah yang
menjadikan terabainya kepentingan masyarakat, kepentingan pelaku dan kepentingan
korban sehingga tujuan pemidanaan menjadi tidak tercapai karena didalam vonis
Hakim tersebut keadilan terasa kurang.
OPTIMALISASI PENYELESAIAN PERKARA MELALUI MODEL RESTORATIVE JUSTICE
Model Restorative Justice sudah banyak di implementasikan di berbagai
negara. PBB dalam Konggres ke-10 tentang Pencegahan Tindak Pidana dan
Perlakukan terhadap Para Pelanggar (The
Tenth UN Congres on Crime Prevention and Treatment of Offenders) yang
diadakan di Wina pada awal tahun 2000, telah mengeluarkan resolusi, yaitu “Basic Principles on the Use of Restorative
Justices Programmes in Criminal Matters (UN), 2000” yang kemudian
dipertegas dalam Vienna Declaration on
Crime and Justice “Meeting the Challange of the Twenty-first Century) dalam
butir 27 dan 28 yang kemudian diadopsi dalam Resolusi Majelis Umum PBB Nomor
55/59 tanggal 4 Desember 2000.
Biaya penanganan dan
penyelesaian perkara kejahatan seringkali tidak disediakan untuk memperhitungkan
jaminan terhadap korban, seperti kemungkinan kejahatan itu diulangi atau tidak
oleh pelakunya, atau ketakutan/trauma yang dialami oleh korban pasca tindak
kejahatan. Bahkan pemerintah Inggris pun hanya memperkirakan biaya penenganan
kejahatan berdasarkan harta benda, pelayanan kesehatan, dana layanan dukungan
korban semata, tidak memperhitungkan efek psikologis atau emosional dari korban
itu sendiri terkait dengan kasus yang dia alami (Brand & Price, 2000).
Dalam beberapa dorongan berkala dalam diskusi tentang korban kejahatan,
pemerintah masih mengabaikan kepentingan korban dalam pembentukan kebijakan
kriminal.
Sudah terbukti bahwa di
beberapa negara yang menerapkan restorative justice
menunjukkan beberapa manfaat yang diperoleh korban ketika mengikuti
penyelesaian masalah tatap muka dalam pengadilan restoratif. Akhirnya banyak
dari restorative justice yang
berhasil didefinisikan secara luas kemudian dikembangkan dan dipraktekkan di
seluruh dunia (Braithwaite, 2002). Pendekatan melalui restorative justice telah mengalami peningkatan level dan menjadi
obat baru di Amerika Serikat dan Inggris. Hal ini lah yang kemudian menjadi
bahan kajian dalam penelitian yang dilakukan oleh Heather Strang, Lawrence
Sherman, Caroline M. Angel, Danie J. Woods, Sarah Bennett, Dorothy
Newbury-Birch dan Nova Inkpen, dengan menjadikan pendekatan restorative justice
yang berkembang di Amerika Serikat dan Inggris tersebut sebagai pendekatan yang
spesifik dan konsisten dijelaskan dalam artikel jurnal ini untuk mengatur dan
dan melakukan pertemuan sukarela antara pelaku, korban-korbannya, dan keluarga
masing-masing dan pendukung.
Polri yang berfungsi sebagai penegak hukum,
dewasa ini masih dihadapkan pada persoalan banyaknya kasus-kasus yang tidak
terselesaikan sesuai waktu yang ditetapkan atau tunggakan kasus. Berbagai isu yang
menonjol berkaitan dengan penegakan hukum mulai dari penanganan perkara yang
kurang optimal, birokrasi pelayanan Polri yang masih berbelit-belit, kerja sama dengan masyarakat yang
kurang optimal, hingga banyaknya keluhan masyarakat pencari keadilan. Semua isu
tersebut akan bermuara pada penilaian kinerja Polri, terutama yang mengemban
fungsi pelayanan dalam bidang
penyelidikan dan penyidikan.
Banyaknya tunggakan perkara yang ditangani Polri
cenderung disebabkan oleh proses menejemen waktu penyidikan yang tidak efisien,
landasan hukum yang ada dirasakan sudah tertinggal oleh zaman yang semakin
maju, kurangnya pemahamam terhadap peraturan perundang-undangan, peraturan Kapolri, surat
telegram Kapolda yang menaungi masalah penyelesaian perkara diluar peradilan
dengan tujuan masyarakat mendapat keadilan yang hakiki, kurangnya kerja sama
dan koordinasi antar penegak hukum baik dengan kejaksaan maupun pengadilan.
Untuk itu perlu adanya terobosan untuk mengoptimalkan penyelesaian perkara guna
mewujudkan keadilan dan kepastian hukum bagi masyarakat.
Kecepatan atau kelambanan proses penyidikan
sangat mempengaruhi kepentingan masyarakat yang dilayani, baik masyarakat yang
berada pada posisi sebagai korban atau pelapor dari suatu peristiwa pidana,
maupun dari masyarakat yang dituduh telah melakukan tindak pidana. Kelambanan
proses penyidikan Polri telah membuat mereka merasa tidak nyaman, tidak
mendapat keadilan dan kepastian hukum atas perkara akan berdampak terhadap
aktivitas atau kepentingan pelapor/korban, maupun tersangka. Nilai kerugian
materiil maupun non materiil / moril akan terus bertambah akibat semakin
lamanya proses penyidikan yang dilakukan. Ketidaknyamanan atau ketidakpuasan
atas lambannya prosese penyidikan dapat melahirkan keluhan masyarakat.
Untuk mengatasi berbagai faktor baik
eksternal maupun internal yang berdampak terhadap kelambanan proses penyidikan
sehingga rasa keadilan dan kepastian hukum di masyarakat belum terwujud, Polri
dapat menggunakan model restorative
justice untuk menangani banyaknya perkara yang belum terselesaikan atau
besarnya jumlah tunggakan perkara sehingga penyelesaian perkara dapat dilakukan
secara optimal, dan komplin masyarakat terhadap penyidikan tindak pidana dapat
diminimalisir atau bahkan bisa zero
complain sehingga publik / masyarakat bisa mendapatkan rasa keadilan dan
kepastian hukum.
Subscribe to:
Posts (Atom)