1.
Pendahuluan
Pemimpin merupakan penggerak dan motivator
seluruh komponen bangsa untuk menjalankan kehidupan nasional dalam rangka
pencapaian tujuan nasional. Untuk mencapai tujuan nasional tersebut dibutuhkan
sistem kepemimpinan tingkat nasional yang dapat menjalankan visi pembangunan
nasional yang berlandaskan pada nilai-nilai falsafah Pancasila dan UUD NRI
1945. Pemimpin tingkat nasional harus dapat berfungsi mengawal proses
pembangunan dan hasil-hasilnya agar dapat dirasakan oleh warga negara.
Era reformasi dimulai tahun 1998, salah
satu agenda reformasi nasional adalah segera menyelenggarakan pemilu, negara
tidak boleh terlalu lama berada dalam transisi kepemimpinan. Pemilu 1999 adalah
buah reformasi dan keberhasilan tersebut yang persiapannya relatif singkat
kemudian hasilnya dipandang memiliki legitimasi kuat, merupakan prestasi awal
pemimpin tingkat nasional pada era reformasi. Era presiden B.J. Habibie bersama
pemimpin tingkat nasional lainnya seperti Megawati Soekarnoputri, Abdurrahman
Wahid, Amin Rais, dan Sultan Hemengkubowono X dan pemimpin lainnya berupaya
menepis perbedaan kepentingan dan lebih mengedepankan kepentingan bangsa dan
negara, untuk menyelenggarakan Pemilu 1999 yang berkualitas, luber dan jurdil
sebagai salah satu cara untuk keluar dari krisis politik saat itu. Kemudian
proses demokrasi lima tahunan terselenggara semakin baik pada Pemilu 2004, dan untuk
pertama kali pemimpin tingkat nasional memilih presiden secara langsung dan
berhasil baik dan diakui oleh dunia Internasional. Begitu juga dengan Pemilu
2009 dan 2014 yang berjalan dengan baik dan lancar.
Untuk melaksanakan Pemilu yang berkualitas dan demokratis dibutuhkan peran pemimpin tingkat nasional yang dapat
merumuskan kebijakan dan penyelenggaraan Pemilu yang sesuai dengan
prinsip-prinsip dasar demokrasi yang berasaskan mandiri, jujur, adil,
berkepastian hukum, tertib, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas,
profesionalitas, akuntabilitas, efisiensi dan efektivitas.
2.
Kepemimpinan Tingkat Nasional Saat ini
Berbagai
pujian dan kritik terhadap kualitas pemimpin di tingkat nasional saat ini
datang dari berbagai kalangan, dengan beragam argumentasi. Pujian terhadap
kualitas pimpinan tingkat nasional umumnya datang dari luar negeri dengan sudut
pandang prestasi ekonomi Indonesia yang terus tumbuh ditengah kelesuan
perekonomian dunia dan perkembangan demokrasi yang semakin baik. Sistem demokrasi
yang semakin baik ditandai dengan penyelenggaraan Pemilu tahun 1999 sampai
dengan tahun 2009 yang berlangsung aman, serta pemilihan kepala daerah langsung
sejak tahun 2005 yang berlangsung relatif lancar dan relative aman. Di sisi
lain datang berbagai kritikan terhadap kualitas pimpinan tingkat nasional
sebenarnya salah satu wujud kepedulian masyarakat dan kerinduan mereka tentang
pemimpin tingkat nasional yang mampu memahami aspirasi rakyat untuk
kesejahteraan rakyat.
Di bawah ini akan
diuraikan pencapaian peran pemimpin tingkat nasional dalam upayanya mewujudkan
pemilu yang berkualitas meskipun
masih memiliki kelemahan-kelemahan,
tetapi beberapa pencapaian berikut ini merupakan sisi positif yang sudah
dicapai para pemimpin tingkat nasional sesuai konteks kebijakan dan situasi
nasional yang melingkupinya.
a.
Pengembangan
Kebijakan tentang Pemilu dan Penyelenggaraan Pemilu yang Berasaskan Konstitusi
Salah
satu kritik terhadap pemimpin tingkat nasional pada era Orde Baru adalah
penyelenggaraan pemilu yang dinilai belum demokratis dan adanya pengekangan
kebebasan berpolitik.
Ketika masa reformasi, para pemimpin tingkat nasional berupaya membuka kembali
kebebasan berpartai dan berupaya mengembalikan penyelenggaraan pemilu
berasaskan prinsip-prinsip demokrasi melalui Pemilu tahun 1999, 2004, 2009 dan 2014.
Selama
masa tersebut pemimpin tingkat nasional telah menghasilkan berbagai
perundang-undangan dan kebijakan yang menyertainya untuk mengembalikan
penyelenggaraan pemilu yang sesuai prinsip dasar demokrasi dan telah membentuk
suatu sistem politik dan pemerintahan yang demokratis.
Para
pemimpin tingkat nasional sudah membentuk sistem politik yang memberlakukan
kembali kebebasan berserikat dan menyampaikan pendapat (kebebasan mendirikan
partai, serikat buruh, kebebasan pers, kebebasan beragama, dan lainnya);
penyelenggaraan pemilu yang bebas dan terbuka (pemilihan langsung, sistem
proporsional, dan pemilukada); amandemen UUD 1945, reformasi birokrasi dan
pelayanan publik, pemberantasan korupsi, dan pembenahan dunia usaha dan
perekonomian. Proses-proses demokratisasi oleh para pemimpin tingkat nasional
selanjutnya diarahkan pada perencanaan dan keberhasilan pelaksanaan pembangunan
nasional.
Terkait
dengan penyelenggaraan pemilu berkualitas yang merupakan bagian dari sistem
pembangunan nasional di bidang poltik, cita-cita tersebut termuat dalam UU No.
17 Tahun 2007 tentang RPJPN yang telah menggariskan bahwa salah satu misi
pembangunan nasional adalah mewujudkan masyarakat demokratis berlandaskan
hukum, yang akan diwujudkan melalui pencapaian sasaran pokok berupa ”pemantapan
pelembagaan demokrasi yang kokoh” yang dicapai melalui penyempurnaan struktur politik yang dititikberatkan pada
proses pelembagaan demokrasi yang dicapai melalui antara lain: penyempurnaan
dan penguatan kelembagaan demokrasi, dan perbaikan proses politik yang
bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan efektivitas penyelenggaraan pemilihan
umum dan uji kelayakan publik, serta pelembagaan perumusan kebijakan publik.
Sejalan dengan strategi
pembangunan sistem politik dan demokrasi diatas, pemerintah bersama DPR RI
telah menetapkan UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum. Definisi Pemilu dan asas-asasnya merujuk pada prinsip
dasar demokrasi yang dirumuskan sebagai: sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat
yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil,
kepastian hukum, tertib, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas,
profesionalitas, akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas.
Sebagai landasan konstitusional
bagi partai politik peserta pemilu, pemimpin tingkat nasional telah menetapkan UU No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Dan sebagai landasan hukum bagi calon-calon
anggota legislatif yang akan mengikuti pemilu, telah dikeluarkan UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum
Anggota DPR, DPD dan DPRD. Pemilu
anggota legislatif juga untuk mewujudkan wakil rakyat yang berkualitas, dapat
dipercaya, dan dapat menjalankan fungsi kelembagaan legislatif secara optimal.
Penyelenggaraan Pemilu yang baik dan berkualitas akan meningkatkan derajat
kompetisi yang sehat, partisipatif, dan keterwakilan yang makin kuat dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Kebijakan pemilihan presiden yang sebelumnya
secara tidak langsung, disepakati menjadi langsung melalui amandemen UUD 1945,
pada pasal 6A disebutkan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu
pasangan secara langsung oleh rakyat. Pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik. Untuk
menjamin pelaksanaan Pemilu Presiden yang berkualitas, memenuhi derajat
kompetisi yang sehat, partisipatif, dan dapat dipertanggungjawabkan akhirnya
dibentuk UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden. UU tersebut
dimaksudkan untuk menghasilkan Presiden
dan Wakil Presiden yang memiliki integritas tinggi, menjunjung tinggi etika dan
moral, serta memiliki kapasitas dan kapabilitas yang baik. Untuk mewujudkan hal
tersebut, dalam Undang-Undang ini diatur beberapa substansi penting yang
signifikan antara lain mengenai persyaratan calon Presiden dan Wakil Presiden
wajib memiliki visi, misi, dan program kerja yang akan dilaksanakan selama 5
(lima) tahun ke depan.
b.
Menjaga Integrasi Bangsa dan
Meningkatkan Kualitas Demokrasi
Sekalipun masih mendapat kritik
dari berbagai kalangan, para pemimpin tingkat nasional sudah berhasil
mempertahankan integrasi bangsa, seperti melakukan penyelesaian berbagai
konflik sosial yang mengarah kepada disintegrasi bangsa, seperti konflik di
Aceh dan Papua, yang sudah dapat diselesaikan melalui otonomi khusus dan
memberi kesempatan pada rakyat Aceh membentuk partai lokal untuk menyelenggarakan
pemilihan kepada daerah secara mandiri.
Tuntutan pemekaran daerah di
beberapa wilayah (pemekaran propinsi, kabupaten, dan kecamatan) relatif dapat
terlaksana tanpa menimbulkan ekses separatisme dan konflik sosial, termasuk
penyelesaian konflik berdarah di Poso, Ambon, Sampit, dan lainnnya. Terlepas
dari kritik berbagai pihak, rakyat di daerah sudah dapat menerima pelaksanaan
otonomi daerah sehingga meskipun masih ada konflik-konflik lokal sudah dapat diselesaikan
dan ditempatkan sebagai proses belajar berdemokratisasi bagi kehidupan politik
lokal di daerah tersebut.
Dinamika demokratisasi, otonomi
daerah dan pemilukada juga telah berdampak pada semakin menguatnya politik
identitas kedaerahan/ kesukuan dan primordialisme yang dapat melahirkan disintegrasi
sosial. Liberalisasi sistem politik juga telah melahirkan elit-elit politik
lokal (power-seeking politician) yang
memanfaatkan birokrasi rente (rent-seeking
bureaucrats) untuk mendapatkan akses kekuasaan dan sumber daya bagi
kepentingan pribadi atau kelompok politiknya. Pertumbuhan opisisi lokal dan
kelompok-kelompok pengkritisi, seringkali juga menimbulkan masalah pada
pertikaian/ konflik sosial pada pemilukada dan jalannya pemerintahan daerah.
Berbagai konflik sosial yang terjadi diberbagai wilayah Indonesia
tersebut, selain dapat melemahkan integrasi nasional juga dapat mempengaruhi
penyelenggaraan Pemilu dan ketahanan nasional. Sekalipun demikian, pemimpin
tingkat nasional telah mampu meredam berbagai konflik sosial dimaksud dan tetap
mempertahankan integrasi bangsa dari ancaman disintegrasi. Untuk memberikan
payung hukum bagi penanganan konflik sosial tersebut, telah ditetapkan UU No. 7
Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial.
c.
Meningkatkan Kualitas Penyelenggaraan Pemilu
Pemimpin tingkat nasional
selama ini telah berupaya untuk meningkatkan kualitas pemilu yang dapat dilihat
dari pelaksanaan pengawasan pelaksanaan pemilu. Sesuai data Bawaslu tercatat,
pada Pemilu tahun 2009 telah terjadi 197
kasus pelanggaran pemilu, dengan rincian 159 kasus pelanggaran pidana pemilu; 16 kasus pelanggaran administrasi; dan
22 pelanggaran lainnya, yang telah
diproses sesuai ketentuan berlaku. Adanya data pelanggaran ini
mengisyaratkan bahwa pemimpin tingkat nasional mampu mengerakkan Bawaslu bersama-sama
lembaga lainnya untuk melakukan pengawasan pemilu dalam usaha menjamin kualitas
pemilu.
Dalam Pemilu Presiden 2004,
tercatat dari 187 kasus yang diserahkan Panwas kepada penyidik kepolisian, 94
kasus telah dilimpahkan ke kejaksaan dan 82 kasus diajukan ke persidangan 79
kasus telah mendapat keputusan tetap (vonis). Banyaknya kasus yang telah
divonis ini merupakan suatu prestasi/peningkatan jika dibandingkan dengan
penanganan pelanggaran pada Pemilu 1999. Sekalipun kalangan pakar dan LSM
memandang ada pembiaran didalam penanganan berbagai pelanggaran pemilu tersebut
kasus-kasus tersebut (Topo Santoso, 2006), namun selama ini Polri, Kejaksaan,
Pengadilan, KPU, dan Bawaslu sudah berupaya meningkatkan koordinasi dalam
penanganan kasus-kasus pemilu, yang juga merupakan upaya dalam penyuksesan
Pemilu.
Data yang dikumpulkan Panwas
Pemilu 2004 menunjukkan, dalam Pemilu Legislatif 2004, baik pelanggaran
administrasi maupun pelanggaran pidana banyak terdapat pada tahapan penetapan
peserta pemilu, penetapan kandidat, kampanye, pemungutan dan penghitungan
suara, penetapan hasil pemilu, serta penetapan calon terpilih. Pada Pemilu
Presiden 2004, pelanggaran administrasi dan pelanggaran pidana banyak terdapat
pada tiga tahapan saja, yakni pendaftaran pemilih, kampanye, serta pemungutan
dan penghitungan suara. Selanjutnya dapat disimpulkan, walaupun masih banyaknya
kritik publik terhadap pemimpin tingkat nasional saat ini (Harian Kompas, 4
Juni 2013), tetapi sudah banyak yang dihasilkan oleh para pemimpin tingkat
nasional dalam mewujudkan pemilu yang berkualitas, dan disisi lain juga masih
banyak kelemahan yang didapatkan.
Pada uraian berikut ini akan digambarkan berbagai kelemahan atas peran
pemimpin tingkat nasional baik yang memiliki kaitan langsung maupun tidak langsung
dengan upaya mewujudkan pemilu yang berkualitas di Indonesia, antara lain pada
aspek :
a.
Sistem
rekruitmen/ kaderisasi pemimpin tingkat nasional
Titik awal yang perlu dicermati dari
semakin meluasnya praktik-praktik penyalahgunaan kekuasaan para pemimpin
tingkat nasional adalah masih lemahnya sistem rekruitmen pimpinan tingkat
nasional. Sistem pengkaderan pemimpin baik di tingkat partai-partai politik,
ormas, dan birokrasi negara, masih cenderung mengedepankan kedekatan-kedekatan
personal (nepotisme), ketenaran, kemampuan finansial, senioritas calon, dan
bukan berdasarkan kualitas calon. Bahkan dalam rekrutmen kader juga telah
semakin berkembang “politik dinasti” yang merekrut keluarganya untuk duduk di
jabatan-jabatan politis (kepala daerah, walikota/bupati, DPRD) di seuatu
daerah. Dari gambaran tersebut terlihat bahwa sistem rekruitmen/ kaderisasi
belum sepenuhnya berdasarkan merit sistem.
Penerapan
sistem demokrasi pada era reformasi yang tidak diimbangi peningkatan sistematis
kesadaran politik (political awareness),
sehingga rekruitmen politik dimanipulasi menjadi demokrasi prosedural.
Partisipasi politik bukan murni berasal dari kesadaran politik masyarakat,
tetapi hasil dari mobilisasi politik yang dilakukan elit-elit politik atau
tokoh-tokoh masyarakat melalui money
politics dengan orientasi pada keuntungan ekonomi atau mendapatkan
kekuasaan. Pemimpin tingkat nasional yang mencalonkan diri ternyata masih
memiliki kesadaran politik sempit dan sesaat, yang akhirnya menghasilkan
pemimpin yang lebih mencari keuntungan untuk kepentingan pribadi dan
kelompoknya.
Disisi lain praktik-praktik money politic juga berakibat pada
sikap-sikap calon yang “siap menang tapi tidak siap kalah” dan cenderung
melakukan pemaksakan kehendak, yang berakibat pada merebaknya kasus-kasus
konflik sosial-politik dalam penyelenggaraan pemilukada seperti konflik komunal
antar pendukung calon kepala daerah, penolakan terhadap hasil pemilukada, dan
maraknya politik uang menunjukkan rendahnya kesadaran rekruitmen politik di kalangan
partai politik. Berdasarkan data Bawaslu, pemilihan kepala dan wakil kepala
daerah 2010 yang totalnya diikuti oleh 327 kabupaten/kota dari tujuh provinsi
telah menimbulkan banyak konflik (Harian Kompas, 27 Mei 2010)
Proses rekruitmen di tingkat partai politik yang kurang berkualitas,
sekalipun dalam proses pemilu dapat dilangsungkan secara demokratis, akhirnya
akan tetap menghasilkan pemimpin yang tidak berkualitas, dan berdampak pada
merosotnya legitimasi dan kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggaraan
pemilu yang merupakan proses pemilihan calon pemimpin di tingkat nasional. Oleh
karena itu, perlu dilakukan perbaikan kualitas bukan hanya pada pemilu sebagai
sarana demokrasi, tetapi juga pada sistem rekruitmen calon di tingkat partai
politik.
b. Meningkatnya Penyalahgunaan Wewenang dan Kekuasaan
Untuk
menjalankan program pembangunan nasional dibutuhkan pemimpin yang
berintegritas. Integritas seorang pemimpin akan mempengaruhi cara berfikir,
bersikap dan bertindak dalam melaksanakan tugas, yang diharapkan lebih
mengedepankan kepentingan masyarakat, bangsa dan negara. Namun yang terjadi
dewasa ini, integritas pemimpin tingkat nasional terus mengalami degradasi,
bahkan dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Kasus penyalahgunaan wewenang
dan jabatan, mencerminkan merosotnya aktualisasi nilai-nilai kebangsaan.
Kenyataan ini bukan hanya terjadi di pemerintahan pusat, provinsi dan
kabupaten/ kota, namun telah sampai ke tingkat pemerintahan desa.
Berdasarkan
data KPK, selama periode 2004-2012 terdapat 337 kasus korupsi kelas “kakap”
yang melibatkan anggota DPR-RI, DPRD, kepala lembaga/ kementerian, duta besar,
gubernur, walikota/ bupati dan wakil, pejabat eselon I-III, penegak hukum, dan
lain-lain. Diantara kasus korupsi besar tersebut adalah kasus mega korupsi bailout Bank Century senilai 6,7 triliun
yang diduga melibatkan elit pemerintahan. Kemudian juga kasus mega korupsi
Proyek Hambalang senilai 2,5 triliun yang melibatkan Menteri dan Sekretaris
Menteri Pemuda dan Olah Raga, Anggota DPR-RI/ Bendahara Partai Demokrat, Ketua
Umum Partai Demokrat. Selain itu juga terdapat kasus korupsi pengadaan
simulator SIM di Korlantas Polri senilai 144 miliar yang melibatkan mantan
Kakorlantas Polri dan kasus kolusi dan korupsi impor daging sapi yang
melibatkan petinggi PKS.
Tabel
1. Kasus Korupsi Menurut
Tingkat Jabatan
JABATAN
|
2004
|
2005
|
2006
|
2007
|
2008
|
2009
|
2010
|
2011
|
2012
|
JUMLAH
|
Anggota
DPR/ DPRD
|
2
|
7
|
8
|
27
|
5
|
16
|
65
|
|||
Kepala
K/L
|
1
|
1
|
1
|
1
|
2
|
1
|
7
|
|||
Duta
Besar
|
2
|
1
|
1
|
4
|
||||||
Komisioner
|
3
|
2
|
1
|
1
|
7
|
|||||
Gubernur
|
1
|
2
|
2
|
2
|
1
|
8
|
||||
Walikota/Bupati-Wkl
|
3
|
7
|
5
|
5
|
4
|
4
|
4
|
32
|
||
Eselon
I, II dan III
|
2
|
9
|
15
|
10
|
22
|
14
|
12
|
15
|
8
|
107
|
Hakim
|
1
|
2
|
2
|
5
|
||||||
Swasta
|
1
|
4
|
5
|
3
|
12
|
11
|
8
|
10
|
16
|
70
|
Lain-lain
|
6
|
1
|
2
|
4
|
4
|
9
|
3
|
3
|
32
|
|
JUMLAH
|
4
|
23
|
29
|
27
|
55
|
45
|
65
|
39
|
50
|
337
|
Berdasarkan data Kejaksaan Agung RI, perkara tindak pidana korupsi se-Indonesia untuk tahap penyelidikan periode Januari-Agustus 2011 berjumlah 357 kasus. Adapun peringkat tiga besar kasus korupsi pada tahap penyidikan, yakni di Jawa Timur 119 kasus, disusul Papua 114 kasus, dan Jateng sebanyak 79 kasus.
Sedangkan
menurut data Kemendagri, selama 2004 - Agustus 2012 ada 2.976 anggota DPRD
Tingkat I dan DPRD Tingkat II yang terlibat kasus pidana. Di antara kasus-kasus
tersebut, kasus korupsi merupakan kasus terbanyak dengan jumlah 349 kasus atau
33,2 persen. Sepanjang periode itu pula, sebanyak 155 kasus korupsi melibatkan
kepala daerah (Kemendagri, 2013).
Besarnya biaya politik menjadi salah satu penyebab tingginya korupsi yang
melibatkan kepala daerah dan anggota DPRD.
Rangkaian
penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan membuat rendahnya kualitas penerapan
dan pelayanan publik sehingga mempengaruhi tingkat keberhasilan pembangunan
nasional. Integritas dan wawasan kebangsaan akan mempengaruhi cara pandang
pemimpin tingkat nasional bahwa pelaksaan tugas dan fungsinya merupakan satu
kesatuan sistem yang akan saling mempengaruhi keberhasilan pembangunan nasional.
Minimnya aktualisasi nilai-nilai kebangsaan dalam penyelenggaraan pemerintahan
juga berpengaruh terhadap rendahnya tingkat kepercayaan dan partisipasi
masyarakat dalam pembangunan nasional.
Tingkat
kepercayaan masyarakat dan legitimasi terhadap pemimpin tingkat nasional yang
semakin rendah selanjutnya akan berpengaruh terhadap tingkat kepercayaan dan
dukungan masyarakat terhadap lembaga-lembaga pemerintahan sehingga memunculkan
dampak masyarakat cenderung bertindak sepihak dalam menyelesaikan berbagai persoalan,
seperti terjadinya kasus-kasus konflik sosial di berbagai wilayah Indonesia.
Berdasarkan hasil
penelitian UNSFIR (United Nations Support
Facility for Indonesian Recovery), selama periode 1990-2003 di Indonesia
terjadi sekitar 3.608 kasus konflik sosial dengan jumlah korban jiwa sebanyak
10.758 jiwa. Konflik sosial tersebut meliputi konflik komunal sebanyak 599
kasus (9.612 korban jiwa), konflik negara dengan masyarakat (state vs community) sebanyak 423 kasus
(105 korban jiwa), konflik berlatar belakang ekonomi sebanyak 444 kasus (78
korban jiwa) dan konflik lainnya sebanyak 2.142 kasus dengan jumlah korban jiwa
sebanyak 963 jiwa. Dari seluruh konflik komunal, sekitar 23% atau 140 kasus
berlatar belakang konflik etnis, 72% atau 433 kasus berlatar belakang agama,
dan 4% atau 26 kasus berlatar belakang sectarian/intra-agama (UNSFIR, 2004).
c. Menurunnya rasa nasionalisme
Selain
merebaknya praktik penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan, pada sisi lain,
kepemimpinan nasional yang seharusnya berkarakter kenegarawanan semakin
tenggelam dalam konflik dan intrik politik. Sebagian pemimpin tingkat nasional
juga dinilai telah mengalami penurunan rasa nasionalisme.
Sikap
mengedepankan kepentingan diri sendiri, mengedepankan kepentingan kelompoknya,
sikap ego kedaerahan, etno-sentris
(sentimen kesukuan) dan primordialisme (sentimen
keagamaan). Kondisi ini menciptakan fragmentasi atau sekat-sekat antarkelompok
masyarakat dan mengarah terjadinya disharmonis dan disintegrasi dalam kehidupan
sosial masyarakat. Kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara telah menjadi
nomor dua, sehingga pemimpin yang berbicara tentang nilai-nilai Pancasila
kurang didengarkan lagi. Kepentingan dan perlindungan kepada kelompok
minoritas, kebebasan beragama dan beribadah, munculnya kelompok-kelompok
keagamaan yang mengedepankan cara-cara kekerasan, masih kerap terjadi dan belum
dapat ditselesaikan dengan tuntas yang memperlihatkan adanya keraguan dalam
menegakkan hak-hak warga negaranya.
Ego
sektoral dimana satu kementerian/lembaga merasa programnya lebih prioritas
dibandingkan kementerian lain, tarik-menarik kepentingan di dalam penyusunan
APBN/APBD, membuat sulit untuk memprioritaskan kepentingan pembangunan secara
nasional. Pembahasan anggaran pun di tingkat DPR/DPRD juga menjadi arena yang
rawan “pencaloan” dan adanya biaya-biaya pelolosan anggaran yang menyalahi
prosedural.
Saat
ini dibutuhkan pemimpin tingkat nasional yang berkarakter negarawan, cinta
tanah air, mendahulukan kepentingan nasional daripada kepentingan kelompok/
pribadi, berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.
3.
Permasalahan
Dalam membangun kepemimpinan tingkat nasional dewasa ini, kita
masih dihadapkan pada berbagai persoalan, antara lain :
a.
Lemahnya
Integritas Moral dan Etika Kepemimpinan
Peran pemimpin
tingkat nasional dalam penyelenggaraan pemilu seharusnya mampu berperan sebagai
pengawal dan pelaksana pesta demokrasi yang sesuai dengan asas-asas
penyelenggaraan pemilu untuk mewujudkan pemilu yang berkualitas, yang kelak
diharapkan dapat menghasilkan pemimpin tingkat nasional yang berkualitas pula.
Namun pada kenyataannya, penyelenggaraan pemilu terdahulu masih diwarnai
berbagai tindakan yang melanggar moral dan etika kepemimpinan seperti isu
kecurangan, memaksakan kehendak yang berakibat konflik antar pendukung, money politic, menghalalkan segala cara
dan sebagainya. Selain itu, masih banyak pemimpin tingkat nasional terpilih
yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompok politiknya ketimbang
kepentingan nasional untuk kesejahteraan rakyat. Maraknya kasus-kasus mega
korupsi yang melibatkan pemimpin tingkat nasional membuktikan masih rendahnya
moral dan etika kepemimpinan sehingga mengkompromikan berbagai kebijakan
nasional untuk kepentingan ekonomi atau politik tertentu yang menguntungkan
pribadi dan kelompoknya.
b.
Kurangnya
Komitmen Pemimpin Tingkat Nasional Untuk Mewujudkan Pemilu Yang Berkualitas
Penyelenggaraan
pemilu seharusnya menjadi sarana nasional untuk rekrutmen politik dan
pendidikan politik masyarakat. Pemimpin tingkat nasional dan partai politik
peserta pemilu seharusnya memberikan pendidikan politik kepada masyarakat
melalui keteladanan penyelenggaraan pemilu secara jurdil, luber, kepastian
hukum, tertib, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas,
efisiensi dan efektivitas. Namun dalam kenyataannya, penyelenggaraan pemilu
masih diwarnai adanya isu-isu kecurangan seperti politik uang, pelanggaran
kampanye, konflik antar pendukung, penggelembungan suara, manipulasi DPT, dan
lain-lain. Untuk menjadi calon anggota legislatif (caleg) di DPR-RI maupun DPRD
melalui partai politik, seseorang harus mengeluarkan banyak uang untuk biaya
mulai dari kampanye, pemilihan, sampai dengan pelantikannya. Oleh karena itu,
tidak mengherankan jika banyak anggota legislatif dan aparatur negara/ pemerintahan
yang terlibat berbagai kasus korupsi demi untuk mendapatkan kembali uang yang
telah dikeluarkan (ongkos politik) maupun untuk mendapatkan pendanaan partai
politiknya.
c.
Kurangnya
Legitimasi Pemimpin Tingkat Nasional
Tujuan ideal penyelenggaraan pemilu yang
demokratis adalah agar pemimpin tingkat nasional yang terpilih memiliki basis
legitimasi/ pengakuan atau dukungan yang kuat dari rakyat dalam mengemban
amanat rakyat melaksanakan pembangunan nasional untuk kesejahteraan rakyat.
Secara kuantitas, kadar legitimasi
pemimpin dalam penyelenggaraan pemilu yang berkualitas dapat diukur dari
tingkat keterlibatan masyarakat dalam pemilu. Semakin tinggi tingkat
keterlibatan masyarakat, semakin berkualitas pemilu tersebut dan semakin
terlegitimasi pemimpin yang dihasilkan. Sebaliknya, semakin rendah tingkat
keterlibatan masyarakat, makin minim kadar legitimasi pemimpin yang dihasilkan.
Banyaknya pemilih
yang tidak memberikan suaranya (golput) menunjukkan rendahnya legitimasi
pemimpin tingkat nasional. Dalam pelaksanaan Pemilu Presiden 2009, jumlah warga
yang tidak menggunakan hak pilihnya sebesar 49.677.776 atau 29,0059 persen.
Data tersebut dinyatakan dalam surat penetapan KPU mengenai perolehan suara
nasional pemilu legislatif dan presiden. Pada pemilu legislatif total pemilih
yang menggunakan hak suaranya 121.588.366 dari total daftar pemilih tetap (DPT)
171.265.442, dan jumlah angka “golput” sebesar 49.677.076 atau mendekati angka
30 persen yang dinilai tergolong besar. Namun angka tersebut masih lebih kecil
dari hasil survei yang memprediksi angka golput akan mencapai 40 persen.
Tingginya angka golput ini, dapat dipastikan akan berulang saat Pemilu 2014.
Tidak hanya pada saat pemilu legislatif saja, melainkan pada pemilu presiden.
d.
Masih
Lemahnya Manajemen Penyelenggara Pemilu
Komisi Pemilihan Umum (KPU)
sebagai garda terdepan penyelenggaraan pemilu, didalam pelaksanaan tugasnya,
sejak tahapan awal pemilu hingga pengumuman hasil pemilu, senantiasa diawasi
banyak pihak, oleh karena itu dituntut untuk mampu bersifat netral, tanpa
partisan, mandiri dan profesional guna merwujudkan pemilu yang berkualitas.
Selain bertanggung jawab terhadap seluruh proses dalam tahapan pemilu, KPU juga
dituntut untuk independen. Independensi KPU akan menjadi salah satu penentu sukses
tidaknya pemilu.
Terkait dengan independensi
pemilu, kinerja KPU pada Pemilu 2009 masih dinilai mengecewakan, berpihak dan
masih dipertanyakan banyak pihak, sehingga DPR akhirnya menggunakan hak
interpelasi untuk menyelidiki banyaknya masyarakat yang tidak bisa memilih,
karena permasalahan validitas DPT dan memberbaiki UU No. 22/2007 tentang
Penyelenggaraan Pemilu dengan UU No. 15/2011.
Menurunnya kredibilitas KPU
selaku penyelenggara Pemilu 2009, berimbas pada eksistensi KPU provinsi dan KPU
kabupaten/ kota yang hendak menyelenggarakan Pilkada disepanjang tahun
2010-2013. Sebagai bagian dari KPU, mereka diragukan independensi dan
kompetensinya. Independensi KPU inilah yang selalu menjadi salah satu alasan
awal bagi pasangan calon yang kalah dalam piemilukada, ketika mengajukan
gugatan hasil pemilukada ke Mahkamah Konstitusi.
Sistem pengawasan
penyelenggaraan pemilu melalui Bawaslu-pun masih perlu ditingkatkan, termasuk
kerjasamanya dengan pihak penegak hukum dalam penindakan pelanggaran pemilu.
Penegakan hukum atas berbagai kasus tindak pidana pemilu yang terjadi juga
masih dinilai lamban, ragu-ragu dan belum sesuai harapan masyarakat. Untuk itu
perlu peningkatan koordinasi antara KPU, Bawaslu, Polri, Kejaksaan, dan
Pengadilan agar penanganan kasus-kasus pelanggaran pemilu dapat lebih cepat dan
efektif, serta dapat menjawab keraguan banyak pihak akan kinerja manajemen
penyelenggara pemilu dalam mendukung terwujudnya pemilu yang berkualitas yang
kelak dapat menghasilkan pemimpin yang berkualitas, memiliki legitimasi dan
dukungan masyarakat, dan mampu mengemban amanat rakyat melaksanakan pembangunan
nasional untuk kesejahteraan rakyat dan memperkokoh ketahanan nasional.
4.
Landasan Konseptual
a.
Teori Kepemimpinan
Kepemimpinan adalah suatu fenomena kemasyarakatan
yang sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup suatu bangsa dalam menata
kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain itu, kepemimpinan merupakan salah
satu fungsi strategis yang dapat mendorong terwujudnya cita-cita, aspirasi, dan
nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat karena adanya interaksi antara
pemimpin dan yang dipimpin. Sementara, Pemimpin Tingkat Nasional diartikan
sebagai kelompok pemimpin bangsa pada segenap strata kehidupan nasional didalam setiap gatra (asta gatra)
pada bidang/sektor profesi, baik di tingkat suprastruktur, infrastruktur, dan
substruktur maupun formal dan nonformal, yang memilki kemampuan dan kewenangan
untuk mengarahkan/mengerahkan segenap potensi nasional (bangsa dan negara)
dalam rangka pencapaian tujuan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945
serta memperhatikan dan memahami perkembangan lingkungan strategis guna
mengantisipasi berbagai kendala dalam memanfaatkan peluang (Pokja Pimnas, Lemhannas, 2013).
Menurut Werren Benis dalam Covey; Kepemimpinan adalah kapasitas untuk
menerjemahkan visi ke dalam realita. Seorang pemimpin selain harus mampu
membuat visi, misi, dan tujuan
organisasi yang dipimpinnya, juga harus mampu “mengalirkannya” dalam
program – baik yang berkala panjang atau rencana strategis (renstra) dan yang
berkala pendek atau rencana operasional (renop), dapat memberi pemahaman kepada
para pengikutnya, mampu merealisasikan semua program yang telah digarap bersama
serta bisa mengajak seluruh pengikutnya untuk bersama mensukseskan semua program
tersebut (Covey, 2008).
b.
Konsep Pemilu dan Demokrasi
Dalam negara demokrasi, pemilihan umum
dianggap lambang sekaligus tolok ukur dan merupakan pilar pokok dari demokrasi. Pemilihan umum
adalah merupakan conditio sine quanon bagi suatu negara demokrasi
modern, artinya rakyat memilih seseorang untuk mewakilinya dalam rangka
keikutsertaan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, sekaligus
merupakan suatu rangkaian kegiatan politik untuk menampung kepentingan atau
aspirasi masyarakat. Dalam konteks manusia sebagai individu warga negara, maka
pemilihan umum berarti proses penyerahan sementara hak politiknya. Hak tersebut
adalah hak berdaulat untuk turut serta menjalankan penyelenggaraan negara
(Budiardjo, 2008).
Kemudian Scumpeter menempatkan pemilu yang bebas dan berkala sebagai
kriteria utama bagi suatu sistem politik yang demokratis (Joseph Scumpeter,
1947). Partisipasi politik rakyat berkaitan dengan demokrasi suatu negara
dimana warga secara langsung memilih wakilnya. Partisipasi politik itu merupakan
ukuran kualitas demokrasi suatu negara yang dapat dilihat secara normatif,
yakni pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (Mochtar Mas’ud,
2003).
Istilah demokrasi
menurut asal kata berarti rakyat berkuasa atau government by the people, kata Yunani ‘demos’ berarti rakyat, ‘kratos/kratein’
berarti kekuasaan/berkuasa (Budiardjo, 2008). Istilah demokrasi tersebut
seringkali diartikan sebagai pemerintahan rakyat atau yang lebih dikenal
sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Gagasan
demokrasi merupakan konsep yang evolutif dan dinamis yang secara terus menerus
mengalami perubahan baik bentuk-bentuk formalnya maupun substansinya sesuai
dengan konteks dan dinamika sosio historisnya dimana konsep demokrasi berkembang
(Ahmad Suhelmi, 2001).
c.
Konsep Partai Politik.
Secara umum dapat dikatakan bahwa partai
politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya
mempunyai orientasi, nilai – nilai, dan cita – cita yang sama. Tujuan kelompok
ini adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik,
biasanya dengan cara konstitusional untuk melaksanakan
kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka.
Menurut Carl J. Friedrich “A political
party is a group of human beings, stably organized with the objective of
securing or maintaining for its leaders the control of a government, with the
further objective of giving to members of the party, through such control ideal
and material benefits and advantages.” (Partai politik adalah sekelompok
manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau
mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya
berdasarkan penguasaan ini, memberikan kemanfaatan idiil maupun materiil bagi
para anggota partainya (dalam Budiardjo, 2008).
Partai politik berkembang sebagai bagian dari sistem demokrasi. UU No. 2 Tahun 2011 Perubahan atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik,
mendefinisikan: “Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional
dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar
kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan
politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan NKRI
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.”
Keterkaitan
partai politik dengan kepemimpinan dilihat dalam pemilihan Pasal 11 (ayat 1)
yang menggambarkan fungsi partai politik sebagai sarana penyaluran
kepemimpinan:
1)
pendidikan
politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia
sadar hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara,
2)
penciptaan
iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk
kesejahteraan masyarakat,
3)
penyerap,
penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam
merumuskan/menetapkan kebijakan negara,
4)
partisipasi
politik warga negara Indonesia, dan rekrutmen
politik dalam pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi yang
memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.
5.
Strategi Membangun
Legitimasi Kepemimpinan Tingkat Nasional
Berlandaskan
kebijakan di atas, maka perlu menetapkan strategi-strategi untuk lebih
memastikan bagaimana mengoptimalisasi peran pemimpin tingkat nasional guna
mewujudkan Pemilu 2014 yang berkualitas dalam rangka memperkokoh Ketahanan
Nasional. Maka dirumuskan strategi-strategi yang diuraikan berikut ini.
a.
Meningkatkan
Integritas Moral dan Etika Kepemimpinan pada Pemimpin Tingkat Nasional
Tujuan
dari strategi ini adalah meningkatkan integritas moral dan etika kepemimpinan
pada tingkat nasional agar terwujud kepemimpinan nasional yang berlandaskan
nilai-nilai penghayatan Pancasila dan UUD 1945. Etika kepemimpinan sebagai
kelanjutan dari moral kepemimpinan sebagai aktualisasi nilai-nilai instrumental
Pancasila yang terpatri dalam UUD 1945. Nilai-nilai instrumental yang menjadi
muatan UUD 1945 sebagai landasan konstitusional berbangsa dan bernegara adalah
instrumen keorganisasian, kelembagaan, kekuasaan dan kebijaksanaan pemerintah.
Keempat instrumen tersebut sekaligus merupakan instrumen dalam pemerintahan negara
dan menjadi ruang gerak integritas dan etika pimpinan nasional. Ada pun
integritas moral dan etika kepemimpinan berdasarkan sila-sila Pancasila :
1) Integritas Moral dan Etika:
Ketaqwaan.
Ketaqwaan mengandung dimensi vertikal
dan horizontal. Dimensi vertikal adalah pemimpin melaksanakan ibadahnya dan
menyadari bahwa Tuhan yang Maha Esa mengawasi perbuatannya. Dimensi
horizontalnya adalah seorang pemimpin menyadari bahwa manusia terlepas dari
agamanya adalah mahluk ciptaan Tuhan yang Maha Esa. Pemimpin perlu menyadari
bahwa keberagaman agama dan keyakinan merupakan wujud dari Bhineka Tunggal Ika.
Pancasila dan UUD 1945 melindungi segenap warga negara dalam menjalankan ibadah
agamanya. Dalam menyukseskan Pemilu 2014, pemimpin diharapkan memberi
kesempatan yang sama bagi semua warga negara, tanpa membeda-bedakan agamanya,
untuk berpartisipasi dalam pemilu 2014.
2) Integritas Moral dan Etika:
Kemanusiaan.
Aktualisasi moral dan etika kemanusiaan
adalah pemimpin menghargai hak asasi manusia (HAM) dan mengupayakan perlindungan
HAM bagi semua warga negara. Pemilu mengandung asas-asas yang merupakan
terjemahan dari implementasi HAM yang merupakan tanggung jawab pemimpin untuk
menerapkannya sehingga pemilu yang berkualitas dapat terwujud. Pemimpin yang
mengedepankan HAM akan menjadi contoh bagi warga negara sehingga
konflik-konflik atau perbedaan pendapat dapat diselesaikan dalam cara-cara yang
menjunjung tinggi HAM sebagaimana diamanatkan dalam sila kedua Pancasila.
3) Integritas Moral dan Etika:
Persatuan Kebangsaan.
Persatuan dan kebangsaan memiliki
keterkaitan dengan ketaqwaan dan kemanusiaan. Seorang pemimpin wajib menjaga
persatuan dan kebangsaan dengan tidak mengorbankan nilai-nilai ketaqwaan dan
HAM yang menjadi jatidiri Bangsa Indonesia. Persatuan bangsa membutuhkan
kepemimpinan yang mendekatkan pemimpin dengan yang dipimpin, serta memberi
kesempatan yang sama bagi semua komponen bangsa untuk memilih dan dipilih
sebagai pemimpin. Moral kebangsaan akan membuat pemimpin yang dipilih memimpin
tanpa berpihak pada kepentingan golongan, agama, suku, dan lainnya, namun lebih
mengutamakan dan menyadari bahwa dia memimpin Bangsa Indonesia.
4) Integritas Moral dan Etika:
Kerakyatan.
Pemimpin
yang memiliki integritas moral dan etika yang tinggi
Memperjuangkan aspirasi kerakyatan melalui
cara-cara bermusyawarah untuk mufakat. Para pemimpin tingkat nasional jika
memiliki visi kerakyatan, akan menggalang rakyat untuk secara bersama-sama
melaksanakan dan mencapai tujuan-tujuan pembangunan nasional. Para pemimpin
perlu memiliki hikmat kebijaksanaan dan menyadari bahwa dirinya sebagai wakil
rakyat adalah amanah yang bukan hanya dipertanggungjawabkan di hadapan
masyarakat, tetapi juga dipertanggungjawabkan secara moral di hadapan Tuhan
sebagaimana diamanatkan sila kesatu. Olah kerena itu, dari penghayatan sila ke
4 ini, maka pemimpin dituntut memiliki sikap terbuka (transparency) terhadap rakyat, konsisteni (consistency) antara ucapan (janji-janji pada rakyat) dengan
tindakan/kebijakannya, dan bekerja berdasarkan kepastian waktu (certainty) dalam melaksanakan
kebijakannya.
5) Integritas Moral dan Etika:
Keadilan.
Pemimpin
dituntut punya integritas dan moral keadilan dalam memimpin bangsa Indonesia.
Negara Indonesia menganut asas negara hukum, bukan negara kekuasaan; serta
semua warga negara berkedudukan sama di hadapan hukum. Pemimpin yang adil,
tidak memperjual-belikan hukum, bertindak tegas menegakkan hukum, akan membuat
masyarakat mematuhi hukum. Penegakan hukum diharapkan memenuhi asas-asas
keadilan di masyarakat, supaya hukum dapat bersikap tegas bukan hanya kepada
rakyat jelata, tetapi juga kepada para pemimpin lainnya yang melanggar
hukum.
b.
Meningkatkan
Legitimasi Pemimpin Tingkat Nasional
Pemimpin
yang berakar pada nilai-nilai integritas moral dan etika sebagaimana
disampaikan di atas umumnya akan memiliki legitimasi yang kuat dari rakyat.
Namun partai politik yang berpraktik sebagai industri politik cenderung lebih
mengedepankan calon-calon pemimpin yang transaksional sehingga money politic lebih dikedepankan sebagai
upaya memenangkan pemilu/pemilukada. Maka tujuan dari strategi ini adalah
meningkatkan legitimasi pemimpin tingkat nasional melalui upaya meningkatkan
pencalonan pemimpin yang berjiwa Pancasila, pembuatan mekanisme pencalonan
berbasis kader partai (bukan kutu loncat antar partai), mendorong keterbukaan
dan profesionalitas partai politik, peningkatan kinerja dan profesionalitas
badan penyelenggara dan pengawas pemilu, dan meningkatkan partisipasi politik
masyarakat sehingga rekrutmen politik semakin meningkat kualitas integritas
moral dan etika calon pemimpin yang diajukan.
Salah satu kendala yang mempersulit
peningkatan legitimasi pemimpin tingkat nasional adalah adanya kecenderungan
partai penjadi partai yang berorientasi “family
party”. Partai PDIP identik dengan keturunan Soekarno, Partai Demokrat
identik dengan SBY atau kelompok Cikeas. Gejala-gejala ini membuat kepemimpinan
partai bukan didasarkan integritas dan penghayatan pada nilai-nilai Pancasila
dan UUD 1945, tetapi didasarkan oleh garis-garis keturunan, sumbangan-sumbangan
material pada partai, dan sebagainya. Maka transparansi dan demokratisasi
partai perlu didorong dan ditingkatkan untuk sekaligus meningkatkan kualitas
dan kuantitas kepemimpinan partai sebagai organisasi yang mencalonkan para
pemimpin di tingkat nasional untuk memimpin Bangsa dan Negara Indonesia.
c.
Meningkatkan
Komitmen Pemimpin Tingkat Nasional Untuk Mewujudkan Pemilu Yang Berkualitas
Tujuan
dari strategi ini adalah meningkatkan komitemen pemimpin tingkat nasional untuk
mewujudkan pemilu yang LUBER-JURDIL serta berasaskan mandiri, jujur, adil,
kepastian hukum, tertib, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas,
profesionalitas, akuntabilitas, efisiensi dan efektivitas. Upaya ini untuk
mengurangi dan mempersempit ruang gerak praktik-praktik kecurangan seperti
politik uang, pelanggaran kampanye, konflik antar pendukung, manipulasi suara,
manipulasi DPT, dan lainnya. Peningkatan komitmen ini juga diharapkan memberi
dampak positif bagi rekrutmen politik serta memperluas peluang bagi calon-calon
yang berintegritas untuk mencalonkan diri sebagai pemimpin, sehingga ketika
memimpin diharapkan memiliki legitimasi yang kuat pada rakyat serta menjauhi
praktik-praktik “mengejar setoran”, penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan,
serta mengedepankan aspirasi dan kepentingan rakyat.
Peningkatan ini juga secara strategis
akan meredam konflik-konflik pemilu/pemilukada sehingga para calon juga siap
untuk kalah, bukan hanya siap untuk menang. Dalam beberapa pemilu terakhir ini
saja, para calon yang kalah umumnya mengajukan gugatan kepada Mahkamah
Konstitusi. Hal ini mengisyaratkan bahwa pengakuan akan profesionalitas dan
kemampuan KPU dan Badan pengawas pemilu sebagai lembaga penyelenggara pemilu
masih belum mendapat legitimasi yang baik di kalangan partai politik.
Peningkatan komitemen pemimpin tingkat nasional guna mewujudkan pemilu yang
demokratis akan secara langsung menumbuhkan partisipasi politik masyarakat
secara umum dan berdampak pada peningkatan legitimasi pemimpin yang terpilih
melalui pemilu yang berkualitas.
Komitmen dari pemimpin tingkat nasional
yang berkedudukan di legislatif maupun eksekutif, perlu disinergikan dengan
komitemen dari pimpinan-pimpinan partai politik dan ormas-ormas afiliasinya.
Para pemimpin partai politik perlu diminta berkomitmen mengajukan kader-kader
yang berintegritas untuk dicalonkan, bukan berdasarkan kemampuan finansial
dalam membantu partai maupun mendanai kampanyenya. Oleh karena itu, komitmen
ini juga bertujuan menyelenggarakan pemilu yang berbiaya rendah dan
berkualitas.
d.
Memperbaiki Kinerja Manajemen Penyelenggaraan
Pemilu
Tujuan
dari strategi ini adalah meningkatkan kualitas dan kuantitas lembaga-lembaga
penyelenggara pemilu dan pengawas pemilu, mulai dari KPU, Bawaslu, Kementerian
dalam negeri, Polri sebagai lembaga pengamanan pemilu, lembaga peradilan dan MK
sebagai lembaga yang menangani kasus sengketa pemilu. Semua lembaga ini
diharapkan netral, non partisan dan mandiri dengan bersikap profesional dan
independen. Berbagai persoalan manajemen dan koordinasi masih perlu
ditingkatkan di dalam maupun ke luar dari semua lembaga yang disebutkan
tersebut.
Kendala
yang sering menjadi hambatan adalah kesiapan dan pengesahan UU pemilu atau
kebijakan menyangkut pemilu dan pemilukada, kesiapan dalam penyelenggaraan baik
dalam arti perekrutan SDM KPU dan Bawaslu maupun kesiapan sistem manajemen.
Kendala yang dari tahun ke tahun tetap menjadi masalah adalah masalah pendataan
Daftar pemilih atau DPT dimana Kemendagri bertugas menyuplai data kepada KPU.
Dalam Pemilu 2009, kredibilitas KPU jatuh, kinerjanya dianggap mengecewakan dan
kemandiriannya dipertanyakan, sehingga DPR menggunakan hak interpelasi untuk
menyelidiki banyaknya masyarakat yang tidak bisa memilih. Sinergi antara KPU,
Bawaslu, dan Polri dalam pengawasan terhadap praktik kecurangan masih perlu
dibenahi, dan kenetralan POLRI dan TNI perlu terus dibenahi dan ditingkatkan.
No comments:
Post a Comment