Thursday, October 16, 2014

STRATEGI MENINGKATKAN LEGITIMASI KEPEMIMPINAN NASIONAL MELALUI PEMILU YANG BERKUALITAS DAN DEMOKRATIS

1.         Pendahuluan
Pemimpin merupakan penggerak dan motivator seluruh komponen bangsa untuk menjalankan kehidupan nasional dalam rangka pencapaian tujuan nasional. Untuk mencapai tujuan nasional tersebut dibutuhkan sistem kepemimpinan tingkat nasional yang dapat menjalankan visi pembangunan nasional yang berlandaskan pada nilai-nilai falsafah Pancasila dan UUD NRI 1945. Pemimpin tingkat nasional harus dapat berfungsi mengawal proses pembangunan dan hasil-hasilnya agar dapat dirasakan oleh warga negara.
Era reformasi dimulai tahun 1998, salah satu agenda reformasi nasional adalah segera menyelenggarakan pemilu, negara tidak boleh terlalu lama berada dalam transisi kepemimpinan. Pemilu 1999 adalah buah reformasi dan keberhasilan tersebut yang persiapannya relatif singkat kemudian hasilnya dipandang memiliki legitimasi kuat, merupakan prestasi awal pemimpin tingkat nasional pada era reformasi. Era presiden B.J. Habibie bersama pemimpin tingkat nasional lainnya seperti Megawati Soekarnoputri, Abdurrahman Wahid, Amin Rais, dan Sultan Hemengkubowono X dan pemimpin lainnya berupaya menepis perbedaan kepentingan dan lebih mengedepankan kepentingan bangsa dan negara, untuk menyelenggarakan Pemilu 1999 yang berkualitas, luber dan jurdil sebagai salah satu cara untuk keluar dari krisis politik saat itu. Kemudian proses demokrasi lima tahunan terselenggara semakin baik pada Pemilu 2004, dan untuk pertama kali pemimpin tingkat nasional memilih presiden secara langsung dan berhasil baik dan diakui oleh dunia Internasional. Begitu juga dengan Pemilu 2009 dan 2014 yang berjalan dengan baik dan lancar.
Untuk melaksanakan Pemilu yang berkualitas dan demokratis dibutuhkan peran pemimpin tingkat nasional yang dapat merumuskan kebijakan dan penyelenggaraan Pemilu yang sesuai dengan prinsip-prinsip dasar demokrasi yang berasaskan mandiri, jujur, adil, berkepastian hukum, tertib, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efisiensi dan efektivitas.

2.         Kepemimpinan Tingkat Nasional Saat ini
Berbagai pujian dan kritik terhadap kualitas pemimpin di tingkat nasional saat ini datang dari berbagai kalangan, dengan beragam argumentasi. Pujian terhadap kualitas pimpinan tingkat nasional umumnya datang dari luar negeri dengan sudut pandang prestasi ekonomi Indonesia yang terus tumbuh ditengah kelesuan perekonomian dunia dan perkembangan demokrasi yang semakin baik. Sistem demokrasi yang semakin baik ditandai dengan penyelenggaraan Pemilu tahun 1999 sampai dengan tahun 2009 yang berlangsung aman, serta pemilihan kepala daerah langsung sejak tahun 2005 yang berlangsung relatif lancar dan relative aman. Di sisi lain datang berbagai kritikan terhadap kualitas pimpinan tingkat nasional sebenarnya salah satu wujud kepedulian masyarakat dan kerinduan mereka tentang pemimpin tingkat nasional yang mampu memahami aspirasi rakyat untuk kesejahteraan rakyat.
Di bawah ini akan diuraikan pencapaian peran pemimpin tingkat nasional dalam upayanya mewujudkan pemilu yang berkualitas meskipun masih memiliki kelemahan-kelemahan, tetapi beberapa pencapaian berikut ini merupakan sisi positif yang sudah dicapai para pemimpin tingkat nasional sesuai konteks kebijakan dan situasi nasional yang melingkupinya.
a.         Pengembangan Kebijakan tentang Pemilu dan Penyelenggaraan Pemilu yang Berasaskan Konstitusi
Salah satu kritik terhadap pemimpin tingkat nasional pada era Orde Baru adalah penyelenggaraan pemilu yang dinilai belum demokratis dan adanya pengekangan kebebasan berpolitik. Ketika masa reformasi, para pemimpin tingkat nasional berupaya membuka kembali kebebasan berpartai dan berupaya mengembalikan penyelenggaraan pemilu berasaskan prinsip-prinsip demokrasi melalui Pemilu tahun 1999, 2004, 2009 dan 2014.
Selama masa tersebut pemimpin tingkat nasional telah menghasilkan berbagai perundang-undangan dan kebijakan yang menyertainya untuk mengembalikan penyelenggaraan pemilu yang sesuai prinsip dasar demokrasi dan telah membentuk suatu sistem politik dan pemerintahan yang demokratis.
Para pemimpin tingkat nasional sudah membentuk sistem politik yang memberlakukan kembali kebebasan berserikat dan menyampaikan pendapat (kebebasan mendirikan partai, serikat buruh, kebebasan pers, kebebasan beragama, dan lainnya); penyelenggaraan pemilu yang bebas dan terbuka (pemilihan langsung, sistem proporsional, dan pemilukada); amandemen UUD 1945, reformasi birokrasi dan pelayanan publik, pemberantasan korupsi, dan pembenahan dunia usaha dan perekonomian. Proses-proses demokratisasi oleh para pemimpin tingkat nasional selanjutnya diarahkan pada perencanaan dan keberhasilan pelaksanaan pembangunan nasional.
Terkait dengan penyelenggaraan pemilu berkualitas yang merupakan bagian dari sistem pembangunan nasional di bidang poltik, cita-cita tersebut termuat dalam UU No. 17 Tahun 2007 tentang RPJPN yang telah menggariskan bahwa salah satu misi pembangunan nasional adalah mewujudkan masyarakat demokratis berlandaskan hukum, yang akan diwujudkan melalui pencapaian sasaran pokok berupa ”pemantapan pelembagaan demokrasi yang kokoh” yang dicapai melalui penyempurnaan struktur politik yang dititikberatkan pada proses pelembagaan demokrasi yang dicapai melalui antara lain: penyempurnaan dan penguatan kelembagaan demokrasi, dan perbaikan proses politik yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan efektivitas penyelenggaraan pemilihan umum dan uji kelayakan publik, serta pelembagaan perumusan kebijakan publik.
Sejalan dengan strategi pembangunan sistem politik dan demokrasi diatas, pemerintah bersama DPR RI telah menetapkan UU No. 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum. Definisi Pemilu dan asas-asasnya merujuk pada prinsip dasar demokrasi yang dirumuskan sebagai: sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, kepastian hukum, tertib, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efisiensi, dan efektivitas.
Sebagai landasan konstitusional bagi partai politik peserta pemilu, pemimpin tingkat nasional telah menetapkan UU No. 2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Dan sebagai landasan hukum bagi calon-calon anggota legislatif yang akan mengikuti pemilu, telah dikeluarkan UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD. Pemilu anggota legislatif juga untuk mewujudkan wakil rakyat yang berkualitas, dapat dipercaya, dan dapat menjalankan fungsi kelembagaan legislatif secara optimal. Penyelenggaraan Pemilu yang baik dan berkualitas akan meningkatkan derajat kompetisi yang sehat, partisipatif, dan keterwakilan yang makin kuat dan dapat dipertanggungjawabkan.
Kebijakan pemilihan presiden yang sebelumnya secara tidak langsung, disepakati menjadi langsung melalui amandemen UUD 1945, pada pasal 6A disebutkan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik. Untuk menjamin pelaksanaan Pemilu Presiden yang berkualitas, memenuhi derajat kompetisi yang sehat, partisipatif, dan dapat dipertanggungjawabkan akhirnya dibentuk UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. UU tersebut dimaksudkan untuk menghasilkan Presiden dan Wakil Presiden yang memiliki integritas tinggi, menjunjung tinggi etika dan moral, serta memiliki kapasitas dan kapabilitas yang baik. Untuk mewujudkan hal tersebut, dalam Undang-Undang ini diatur beberapa substansi penting yang signifikan antara lain mengenai persyaratan calon Presiden dan Wakil Presiden wajib memiliki visi, misi, dan program kerja yang akan dilaksanakan selama 5 (lima) tahun ke depan.
b.      Menjaga Integrasi Bangsa dan Meningkatkan Kualitas Demokrasi
Sekalipun masih mendapat kritik dari berbagai kalangan, para pemimpin tingkat nasional sudah berhasil mempertahankan integrasi bangsa, seperti melakukan penyelesaian berbagai konflik sosial yang mengarah kepada disintegrasi bangsa, seperti konflik di Aceh dan Papua, yang sudah dapat diselesaikan melalui otonomi khusus dan memberi kesempatan pada rakyat Aceh membentuk partai lokal untuk menyelenggarakan pemilihan kepada daerah secara mandiri.
Tuntutan pemekaran daerah di beberapa wilayah (pemekaran propinsi, kabupaten, dan kecamatan) relatif dapat terlaksana tanpa menimbulkan ekses separatisme dan konflik sosial, termasuk penyelesaian konflik berdarah di Poso, Ambon, Sampit, dan lainnnya. Terlepas dari kritik berbagai pihak, rakyat di daerah sudah dapat menerima pelaksanaan otonomi daerah sehingga meskipun masih ada konflik-konflik lokal sudah dapat diselesaikan dan ditempatkan sebagai proses belajar berdemokratisasi bagi kehidupan politik lokal di daerah tersebut.
Dinamika demokratisasi, otonomi daerah dan pemilukada juga telah berdampak pada semakin menguatnya politik identitas kedaerahan/ kesukuan dan primordialisme yang dapat melahirkan disintegrasi sosial. Liberalisasi sistem politik juga telah melahirkan elit-elit politik lokal (power-seeking politician) yang memanfaatkan birokrasi rente (rent-seeking bureaucrats) untuk mendapatkan akses kekuasaan dan sumber daya bagi kepentingan pribadi atau kelompok politiknya. Pertumbuhan opisisi lokal dan kelompok-kelompok pengkritisi, seringkali juga menimbulkan masalah pada pertikaian/ konflik sosial pada pemilukada dan jalannya pemerintahan daerah.
Berbagai konflik sosial yang terjadi diberbagai wilayah Indonesia tersebut, selain dapat melemahkan integrasi nasional juga dapat mempengaruhi penyelenggaraan Pemilu dan ketahanan nasional. Sekalipun demikian, pemimpin tingkat nasional telah mampu meredam berbagai konflik sosial dimaksud dan tetap mempertahankan integrasi bangsa dari ancaman disintegrasi. Untuk memberikan payung hukum bagi penanganan konflik sosial tersebut, telah ditetapkan UU No. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial.
c.      Meningkatkan Kualitas Penyelenggaraan Pemilu
Pemimpin tingkat nasional selama ini telah berupaya untuk meningkatkan kualitas pemilu yang dapat dilihat dari pelaksanaan pengawasan pelaksanaan pemilu. Sesuai data Bawaslu tercatat, pada Pemilu tahun 2009 telah terjadi 197 kasus pelanggaran pemilu, dengan rincian 159 kasus pelanggaran pidana pemilu; 16 kasus pelanggaran administrasi; dan 22 pelanggaran lainnya, yang telah diproses sesuai ketentuan berlaku. Adanya data pelanggaran ini mengisyaratkan bahwa pemimpin tingkat nasional mampu mengerakkan Bawaslu bersama-sama lembaga lainnya untuk melakukan pengawasan pemilu dalam usaha menjamin kualitas pemilu.
Dalam Pemilu Presiden 2004, tercatat dari 187 kasus yang diserahkan Panwas kepada penyidik kepolisian, 94 kasus telah dilimpahkan ke kejaksaan dan 82 kasus diajukan ke persidangan 79 kasus telah mendapat keputusan tetap (vonis). Banyaknya kasus yang telah divonis ini merupakan suatu prestasi/peningkatan jika dibandingkan dengan penanganan pelanggaran pada Pemilu 1999. Sekalipun kalangan pakar dan LSM memandang ada pembiaran didalam penanganan berbagai pelanggaran pemilu tersebut kasus-kasus tersebut (Topo Santoso, 2006), namun selama ini Polri, Kejaksaan, Pengadilan, KPU, dan Bawaslu sudah berupaya meningkatkan koordinasi dalam penanganan kasus-kasus pemilu, yang juga merupakan upaya dalam penyuksesan Pemilu.
Data yang dikumpulkan Panwas Pemilu 2004 menunjukkan, dalam Pemilu Legislatif 2004, baik pelanggaran administrasi maupun pelanggaran pidana banyak terdapat pada tahapan penetapan peserta pemilu, penetapan kandidat, kampanye, pemungutan dan penghitungan suara, penetapan hasil pemilu, serta penetapan calon terpilih. Pada Pemilu Presiden 2004, pelanggaran administrasi dan pelanggaran pidana banyak terdapat pada tiga tahapan saja, yakni pendaftaran pemilih, kampanye, serta pemungutan dan penghitungan suara. Selanjutnya dapat disimpulkan, walaupun masih banyaknya kritik publik terhadap pemimpin tingkat nasional saat ini (Harian Kompas, 4 Juni 2013), tetapi sudah banyak yang dihasilkan oleh para pemimpin tingkat nasional dalam mewujudkan pemilu yang berkualitas, dan disisi lain juga masih banyak kelemahan yang didapatkan.
Pada uraian berikut ini akan digambarkan berbagai kelemahan atas peran pemimpin tingkat nasional baik yang memiliki kaitan langsung maupun tidak langsung dengan upaya mewujudkan pemilu yang berkualitas di Indonesia, antara lain pada aspek :
a.         Sistem rekruitmen/ kaderisasi pemimpin tingkat nasional 
Titik awal yang perlu dicermati dari semakin meluasnya praktik-praktik penyalahgunaan kekuasaan para pemimpin tingkat nasional adalah masih lemahnya sistem rekruitmen pimpinan tingkat nasional. Sistem pengkaderan pemimpin baik di tingkat partai-partai politik, ormas, dan birokrasi negara, masih cenderung mengedepankan kedekatan-kedekatan personal (nepotisme), ketenaran, kemampuan finansial, senioritas calon, dan bukan berdasarkan kualitas calon. Bahkan dalam rekrutmen kader juga telah semakin berkembang “politik dinasti” yang merekrut keluarganya untuk duduk di jabatan-jabatan politis (kepala daerah, walikota/bupati, DPRD) di seuatu daerah. Dari gambaran tersebut terlihat bahwa sistem rekruitmen/ kaderisasi belum sepenuhnya berdasarkan merit sistem.
Penerapan sistem demokrasi pada era reformasi yang tidak diimbangi peningkatan sistematis kesadaran politik (political awareness), sehingga rekruitmen politik dimanipulasi menjadi demokrasi prosedural. Partisipasi politik bukan murni berasal dari kesadaran politik masyarakat, tetapi hasil dari mobilisasi politik yang dilakukan elit-elit politik atau tokoh-tokoh masyarakat melalui money politics dengan orientasi pada keuntungan ekonomi atau mendapatkan kekuasaan. Pemimpin tingkat nasional yang mencalonkan diri ternyata masih memiliki kesadaran politik sempit dan sesaat, yang akhirnya menghasilkan pemimpin yang lebih mencari keuntungan untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Disisi lain praktik-praktik money politic juga berakibat pada sikap-sikap calon yang “siap menang tapi tidak siap kalah” dan cenderung melakukan pemaksakan kehendak, yang berakibat pada merebaknya kasus-kasus konflik sosial-politik dalam penyelenggaraan pemilukada seperti konflik komunal antar pendukung calon kepala daerah, penolakan terhadap hasil pemilukada, dan maraknya politik uang menunjukkan rendahnya kesadaran rekruitmen politik di kalangan partai politik. Berdasarkan data Bawaslu, pemilihan kepala dan wakil kepala daerah 2010 yang totalnya diikuti oleh 327 kabupaten/kota dari tujuh provinsi telah menimbulkan banyak konflik (Harian Kompas, 27 Mei 2010)
Proses rekruitmen di tingkat partai politik yang kurang berkualitas, sekalipun dalam proses pemilu dapat dilangsungkan secara demokratis, akhirnya akan tetap menghasilkan pemimpin yang tidak berkualitas, dan berdampak pada merosotnya legitimasi dan kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggaraan pemilu yang merupakan proses pemilihan calon pemimpin di tingkat nasional. Oleh karena itu, perlu dilakukan perbaikan kualitas bukan hanya pada pemilu sebagai sarana demokrasi, tetapi juga pada sistem rekruitmen calon di tingkat partai politik.
b.      Meningkatnya Penyalahgunaan Wewenang dan Kekuasaan
Untuk menjalankan program pembangunan nasional dibutuhkan pemimpin yang berintegritas. Integritas seorang pemimpin akan mempengaruhi cara berfikir, bersikap dan bertindak dalam melaksanakan tugas, yang diharapkan lebih mengedepankan kepentingan masyarakat, bangsa dan negara. Namun yang terjadi dewasa ini, integritas pemimpin tingkat nasional terus mengalami degradasi, bahkan dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Kasus penyalahgunaan wewenang dan jabatan, mencerminkan merosotnya aktualisasi nilai-nilai kebangsaan. Kenyataan ini bukan hanya terjadi di pemerintahan pusat, provinsi dan kabupaten/ kota, namun telah sampai ke tingkat pemerintahan desa.
Berdasarkan data KPK, selama periode 2004-2012 terdapat 337 kasus korupsi kelas “kakap” yang melibatkan anggota DPR-RI, DPRD, kepala lembaga/ kementerian, duta besar, gubernur, walikota/ bupati dan wakil, pejabat eselon I-III, penegak hukum, dan lain-lain. Diantara kasus korupsi besar tersebut adalah kasus mega korupsi bailout Bank Century senilai 6,7 triliun yang diduga melibatkan elit pemerintahan. Kemudian juga kasus mega korupsi Proyek Hambalang senilai 2,5 triliun yang melibatkan Menteri dan Sekretaris Menteri Pemuda dan Olah Raga, Anggota DPR-RI/ Bendahara Partai Demokrat, Ketua Umum Partai Demokrat. Selain itu juga terdapat kasus korupsi pengadaan simulator SIM di Korlantas Polri senilai 144 miliar yang melibatkan mantan Kakorlantas Polri dan kasus kolusi dan korupsi impor daging sapi yang melibatkan petinggi PKS.

Tabel 1. Kasus Korupsi Menurut Tingkat Jabatan


JABATAN
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
JUMLAH
Anggota DPR/ DPRD



2
7
8
27
5
16
65
Kepala K/L

1
1

1
1
2

1
7
Duta Besar



2
1

1


4
Komisioner

3
2
1
1




7
Gubernur
1

2

2
2
1


8
Walikota/Bupati-Wkl


3
7
5
5
4
4
4
32
Eselon I, II dan III
2
9
15
10
22
14
12
15
8
107
Hakim






1
2
2
5
Swasta
1
4
5
3
12
11
8
10
16
70
Lain-lain

6
1
2
4
4
9
3
3
32
JUMLAH
4
23
29
27
55
45
65
39
50
337
 

Berdasarkan data Kejaksaan Agung RI, perkara tindak pidana korupsi se-Indonesia untuk tahap penyelidikan periode Januari-Agustus 2011 berjumlah 357 kasus. Adapun peringkat tiga besar kasus korupsi pada tahap penyidikan, yakni di Jawa Timur 119 kasus, disusul Papua 114 kasus, dan Jateng sebanyak 79 kasus.
Sedangkan menurut data Kemendagri, selama 2004 - Agustus 2012 ada 2.976 anggota DPRD Tingkat I dan DPRD Tingkat II yang terlibat kasus pidana. Di antara kasus-kasus tersebut, kasus korupsi merupakan kasus terbanyak dengan jumlah 349 kasus atau 33,2 persen. Sepanjang periode itu pula, sebanyak 155 kasus korupsi melibatkan kepala daerah (Kemendagri, 2013). Besarnya biaya politik menjadi salah satu penyebab tingginya korupsi yang melibatkan kepala daerah dan anggota DPRD.
Rangkaian penyalahgunaan kekuasaan dan kewenangan membuat rendahnya kualitas penerapan dan pelayanan publik sehingga mempengaruhi tingkat keberhasilan pembangunan nasional. Integritas dan wawasan kebangsaan akan mempengaruhi cara pandang pemimpin tingkat nasional bahwa pelaksaan tugas dan fungsinya merupakan satu kesatuan sistem yang akan saling mempengaruhi keberhasilan pembangunan nasional. Minimnya aktualisasi nilai-nilai kebangsaan dalam penyelenggaraan pemerintahan juga berpengaruh terhadap rendahnya tingkat kepercayaan dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan nasional.
Tingkat kepercayaan masyarakat dan legitimasi terhadap pemimpin tingkat nasional yang semakin rendah selanjutnya akan berpengaruh terhadap tingkat kepercayaan dan dukungan masyarakat terhadap lembaga-lembaga pemerintahan sehingga memunculkan dampak masyarakat cenderung bertindak sepihak dalam menyelesaikan berbagai persoalan, seperti terjadinya kasus-kasus konflik sosial di berbagai wilayah Indonesia.
Berdasarkan hasil penelitian UNSFIR (United Nations Support Facility for Indonesian Recovery), selama periode 1990-2003 di Indonesia terjadi sekitar 3.608 kasus konflik sosial dengan jumlah korban jiwa sebanyak 10.758 jiwa. Konflik sosial tersebut meliputi konflik komunal sebanyak 599 kasus (9.612 korban jiwa), konflik negara dengan masyarakat (state vs community) sebanyak 423 kasus (105 korban jiwa), konflik berlatar belakang ekonomi sebanyak 444 kasus (78 korban jiwa) dan konflik lainnya sebanyak 2.142 kasus dengan jumlah korban jiwa sebanyak 963 jiwa. Dari seluruh konflik komunal, sekitar 23% atau 140 kasus berlatar belakang konflik etnis, 72% atau 433 kasus berlatar belakang agama, dan 4% atau 26 kasus berlatar belakang sectarian/intra-agama (UNSFIR, 2004).
c.     Menurunnya rasa nasionalisme                        
Selain merebaknya praktik penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan, pada sisi lain, kepemimpinan nasional yang seharusnya berkarakter kenegarawanan semakin tenggelam dalam konflik dan intrik politik. Sebagian pemimpin tingkat nasional juga dinilai telah mengalami penurunan rasa nasionalisme.
Sikap mengedepankan kepentingan diri sendiri, mengedepankan kepentingan kelompoknya, sikap ego kedaerahan, etno-sentris (sentimen kesukuan) dan primordialisme (sentimen keagamaan). Kondisi ini menciptakan fragmentasi atau sekat-sekat antarkelompok masyarakat dan mengarah terjadinya disharmonis dan disintegrasi dalam kehidupan sosial masyarakat. Kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara telah menjadi nomor dua, sehingga pemimpin yang berbicara tentang nilai-nilai Pancasila kurang didengarkan lagi. Kepentingan dan perlindungan kepada kelompok minoritas, kebebasan beragama dan beribadah, munculnya kelompok-kelompok keagamaan yang mengedepankan cara-cara kekerasan, masih kerap terjadi dan belum dapat ditselesaikan dengan tuntas yang memperlihatkan adanya keraguan dalam menegakkan hak-hak warga negaranya.
Ego sektoral dimana satu kementerian/lembaga merasa programnya lebih prioritas dibandingkan kementerian lain, tarik-menarik kepentingan di dalam penyusunan APBN/APBD, membuat sulit untuk memprioritaskan kepentingan pembangunan secara nasional. Pembahasan anggaran pun di tingkat DPR/DPRD juga menjadi arena yang rawan “pencaloan” dan adanya biaya-biaya pelolosan anggaran yang menyalahi prosedural.
Saat ini dibutuhkan pemimpin tingkat nasional yang berkarakter negarawan, cinta tanah air, mendahulukan kepentingan nasional daripada kepentingan kelompok/ pribadi, berlandaskan Pancasila dan UUD 1945.

3.         Permasalahan
Dalam membangun kepemimpinan tingkat nasional dewasa ini, kita masih dihadapkan pada berbagai persoalan, antara lain :
a.         Lemahnya Integritas Moral dan Etika Kepemimpinan
Peran pemimpin tingkat nasional dalam penyelenggaraan pemilu seharusnya mampu berperan sebagai pengawal dan pelaksana pesta demokrasi yang sesuai dengan asas-asas penyelenggaraan pemilu untuk mewujudkan pemilu yang berkualitas, yang kelak diharapkan dapat menghasilkan pemimpin tingkat nasional yang berkualitas pula. Namun pada kenyataannya, penyelenggaraan pemilu terdahulu masih diwarnai berbagai tindakan yang melanggar moral dan etika kepemimpinan seperti isu kecurangan, memaksakan kehendak yang berakibat konflik antar pendukung, money politic, menghalalkan segala cara dan sebagainya. Selain itu, masih banyak pemimpin tingkat nasional terpilih yang lebih mengutamakan kepentingan pribadi atau kelompok politiknya ketimbang kepentingan nasional untuk kesejahteraan rakyat. Maraknya kasus-kasus mega korupsi yang melibatkan pemimpin tingkat nasional membuktikan masih rendahnya moral dan etika kepemimpinan sehingga mengkompromikan berbagai kebijakan nasional untuk kepentingan ekonomi atau politik tertentu yang menguntungkan pribadi dan kelompoknya.
b.        Kurangnya Komitmen Pemimpin Tingkat Nasional Untuk Mewujudkan Pemilu Yang Berkualitas
Penyelenggaraan pemilu seharusnya menjadi sarana nasional untuk rekrutmen politik dan pendidikan politik masyarakat. Pemimpin tingkat nasional dan partai politik peserta pemilu seharusnya memberikan pendidikan politik kepada masyarakat melalui keteladanan penyelenggaraan pemilu secara jurdil, luber, kepastian hukum, tertib, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efisiensi dan efektivitas. Namun dalam kenyataannya, penyelenggaraan pemilu masih diwarnai adanya isu-isu kecurangan seperti politik uang, pelanggaran kampanye, konflik antar pendukung, penggelembungan suara, manipulasi DPT, dan lain-lain. Untuk menjadi calon anggota legislatif (caleg) di DPR-RI maupun DPRD melalui partai politik, seseorang harus mengeluarkan banyak uang untuk biaya mulai dari kampanye, pemilihan, sampai dengan pelantikannya. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika banyak anggota legislatif dan aparatur negara/ pemerintahan yang terlibat berbagai kasus korupsi demi untuk mendapatkan kembali uang yang telah dikeluarkan (ongkos politik) maupun untuk mendapatkan pendanaan partai politiknya.
c.         Kurangnya Legitimasi Pemimpin Tingkat Nasional
Tujuan ideal penyelenggaraan pemilu yang demokratis adalah agar pemimpin tingkat nasional yang terpilih memiliki basis legitimasi/ pengakuan atau dukungan yang kuat dari rakyat dalam mengemban amanat rakyat melaksanakan pembangunan nasional untuk kesejahteraan rakyat.
Secara kuantitas, kadar legitimasi pemimpin dalam penyelenggaraan pemilu yang berkualitas dapat diukur dari tingkat keterlibatan masyarakat dalam pemilu. Semakin tinggi tingkat keterlibatan masyarakat, semakin berkualitas pemilu tersebut dan semakin terlegitimasi pemimpin yang dihasilkan. Sebaliknya, semakin rendah tingkat keterlibatan masyarakat, makin minim kadar legitimasi pemimpin yang dihasilkan.
Banyaknya pemilih yang tidak memberikan suaranya (golput) menunjukkan rendahnya legitimasi pemimpin tingkat nasional. Dalam pelaksanaan Pemilu Presiden 2009, jumlah warga yang tidak menggunakan hak pilihnya sebesar 49.677.776 atau 29,0059 persen. Data tersebut dinyatakan dalam surat penetapan KPU mengenai perolehan suara nasional pemilu legislatif dan presiden. Pada pemilu legislatif total pemilih yang menggunakan hak suaranya 121.588.366 dari total daftar pemilih tetap (DPT) 171.265.442, dan jumlah angka “golput” sebesar 49.677.076 atau mendekati angka 30 persen yang dinilai tergolong besar. Namun angka tersebut masih lebih kecil dari hasil survei yang memprediksi angka golput akan mencapai 40 persen. Tingginya angka golput ini, dapat dipastikan akan berulang saat Pemilu 2014. Tidak hanya pada saat pemilu legislatif saja, melainkan pada pemilu presiden.
d.        Masih Lemahnya Manajemen Penyelenggara Pemilu
Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai garda terdepan penyelenggaraan pemilu, didalam pelaksanaan tugasnya, sejak tahapan awal pemilu hingga pengumuman hasil pemilu, senantiasa diawasi banyak pihak, oleh karena itu dituntut untuk mampu bersifat netral, tanpa partisan, mandiri dan profesional guna merwujudkan pemilu yang berkualitas. Selain bertanggung jawab terhadap seluruh proses dalam tahapan pemilu, KPU juga dituntut untuk independen. Independensi KPU akan menjadi salah satu penentu sukses tidaknya pemilu.
Terkait dengan independensi pemilu, kinerja KPU pada Pemilu 2009 masih dinilai mengecewakan, berpihak dan masih dipertanyakan banyak pihak, sehingga DPR akhirnya menggunakan hak interpelasi untuk menyelidiki banyaknya masyarakat yang tidak bisa memilih, karena permasalahan validitas DPT dan memberbaiki UU No. 22/2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu dengan UU No. 15/2011.
Menurunnya kredibilitas KPU selaku penyelenggara Pemilu 2009, berimbas pada eksistensi KPU provinsi dan KPU kabupaten/ kota yang hendak menyelenggarakan Pilkada disepanjang tahun 2010-2013. Sebagai bagian dari KPU, mereka diragukan independensi dan kompetensinya. Independensi KPU inilah yang selalu menjadi salah satu alasan awal bagi pasangan calon yang kalah dalam piemilukada, ketika mengajukan gugatan hasil pemilukada ke Mahkamah Konstitusi.
Sistem pengawasan penyelenggaraan pemilu melalui Bawaslu-pun masih perlu ditingkatkan, termasuk kerjasamanya dengan pihak penegak hukum dalam penindakan pelanggaran pemilu. Penegakan hukum atas berbagai kasus tindak pidana pemilu yang terjadi juga masih dinilai lamban, ragu-ragu dan belum sesuai harapan masyarakat. Untuk itu perlu peningkatan koordinasi antara KPU, Bawaslu, Polri, Kejaksaan, dan Pengadilan agar penanganan kasus-kasus pelanggaran pemilu dapat lebih cepat dan efektif, serta dapat menjawab keraguan banyak pihak akan kinerja manajemen penyelenggara pemilu dalam mendukung terwujudnya pemilu yang berkualitas yang kelak dapat menghasilkan pemimpin yang berkualitas, memiliki legitimasi dan dukungan masyarakat, dan mampu mengemban amanat rakyat melaksanakan pembangunan nasional untuk kesejahteraan rakyat dan memperkokoh ketahanan nasional.

4.            Landasan Konseptual
a.            Teori Kepemimpinan
Kepemimpinan adalah suatu fenomena kemasyarakatan yang sangat berpengaruh terhadap kelangsungan hidup suatu bangsa dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara. Selain itu, kepemimpinan merupakan salah satu fungsi strategis yang dapat mendorong terwujudnya cita-cita, aspirasi, dan nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat karena adanya interaksi antara pemimpin dan yang dipimpin. Sementara, Pemimpin Tingkat Nasional diartikan sebagai kelompok pemimpin bangsa pada segenap strata kehidupan  nasional didalam setiap gatra (asta gatra) pada bidang/sektor profesi, baik di tingkat suprastruktur, infrastruktur, dan substruktur maupun formal dan nonformal, yang memilki kemampuan dan kewenangan untuk mengarahkan/mengerahkan segenap potensi nasional (bangsa dan negara) dalam rangka pencapaian tujuan nasional berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 serta memperhatikan dan memahami perkembangan lingkungan strategis guna mengantisipasi berbagai kendala dalam memanfaatkan peluang (Pokja Pimnas, Lemhannas, 2013).
Menurut Werren Benis dalam Covey; Kepemimpinan adalah kapasitas untuk menerjemahkan visi ke dalam realita. Seorang pemimpin selain harus mampu membuat visi, misi, dan tujuan  organisasi yang dipimpinnya, juga harus mampu “mengalirkannya” dalam program – baik yang berkala panjang atau rencana strategis (renstra) dan yang berkala pendek atau rencana operasional (renop), dapat memberi pemahaman kepada para pengikutnya, mampu merealisasikan semua program yang telah digarap bersama serta bisa mengajak seluruh pengikutnya untuk bersama mensukseskan semua program tersebut (Covey, 2008).
b.            Konsep Pemilu dan Demokrasi
Dalam negara demokrasi, pemilihan umum dianggap lambang sekaligus tolok ukur dan merupakan pilar pokok dari demokrasi. Pemilihan umum adalah merupakan conditio sine quanon bagi suatu negara demokrasi modern, artinya rakyat memilih seseorang untuk mewakilinya dalam rangka keikutsertaan rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan negara, sekaligus merupakan suatu rangkaian kegiatan politik untuk menampung kepentingan atau aspirasi masyarakat. Dalam konteks manusia sebagai individu warga negara, maka pemilihan umum berarti proses penyerahan sementara hak politiknya. Hak tersebut adalah hak berdaulat untuk turut serta menjalankan penyelenggaraan negara (Budiardjo, 2008).
Kemudian Scumpeter menempatkan pemilu yang bebas dan berkala sebagai kriteria utama bagi suatu sistem politik yang demokratis (Joseph Scumpeter, 1947). Partisipasi politik rakyat berkaitan dengan demokrasi suatu negara dimana warga secara langsung memilih wakilnya. Partisipasi politik itu merupakan ukuran kualitas demokrasi suatu negara yang dapat dilihat secara normatif, yakni pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (Mochtar Mas’ud, 2003).
Istilah demokrasi menurut asal kata berarti rakyat berkuasa atau government by the people, kata Yunani ‘demos’ berarti rakyat, ‘kratos/kratein’ berarti kekuasaan/berkuasa (Budiardjo, 2008). Istilah demokrasi tersebut seringkali diartikan sebagai pemerintahan rakyat atau yang lebih dikenal sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Gagasan demokrasi merupakan konsep yang evolutif dan dinamis yang secara terus menerus mengalami perubahan baik bentuk-bentuk formalnya maupun substansinya sesuai dengan konteks dan dinamika sosio historisnya dimana konsep demokrasi berkembang (Ahmad Suhelmi, 2001).
c.            Konsep Partai Politik.
Secara umum dapat dikatakan bahwa partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai – nilai, dan cita – cita yang sama. Tujuan kelompok ini adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik, biasanya dengan cara konstitusional untuk melaksanakan kebijaksanaan-kebijaksanaan mereka.
Menurut Carl J. Friedrich “A political party is a group of human beings, stably organized with the objective of securing or maintaining for its leaders the control of a government, with the further objective of giving to members of the party, through such control ideal and material benefits and advantages.” (Partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya berdasarkan penguasaan ini, memberikan kemanfaatan idiil maupun materiil bagi para anggota partainya (dalam Budiardjo, 2008).
Partai politik berkembang sebagai bagian dari sistem demokrasi.  UU No. 2 Tahun 2011 Perubahan atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, mendefinisikan: “Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.”
Keterkaitan partai politik dengan kepemimpinan dilihat dalam pemilihan Pasal 11 (ayat 1) yang menggambarkan fungsi partai politik sebagai sarana penyaluran kepemimpinan:
1)         pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia sadar hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara,
2)         penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat,
3)         penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan/menetapkan kebijakan negara,
4)         partisipasi politik warga negara Indonesia, dan rekrutmen politik dalam pengisian jabatan politik melalui mekanisme demokrasi yang memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.

5.            Strategi Membangun Legitimasi Kepemimpinan Tingkat Nasional
Berlandaskan kebijakan di atas, maka perlu menetapkan strategi-strategi untuk lebih memastikan bagaimana mengoptimalisasi peran pemimpin tingkat nasional guna mewujudkan Pemilu 2014 yang berkualitas dalam rangka memperkokoh Ketahanan Nasional. Maka dirumuskan strategi-strategi yang diuraikan berikut ini.
a.         Meningkatkan Integritas Moral dan Etika Kepemimpinan pada Pemimpin Tingkat Nasional
Tujuan dari strategi ini adalah meningkatkan integritas moral dan etika kepemimpinan pada tingkat nasional agar terwujud kepemimpinan nasional yang berlandaskan nilai-nilai penghayatan Pancasila dan UUD 1945. Etika kepemimpinan sebagai kelanjutan dari moral kepemimpinan sebagai aktualisasi nilai-nilai instrumental Pancasila yang terpatri dalam UUD 1945. Nilai-nilai instrumental yang menjadi muatan UUD 1945 sebagai landasan konstitusional berbangsa dan bernegara adalah instrumen keorganisasian, kelembagaan, kekuasaan dan kebijaksanaan pemerintah. Keempat instrumen tersebut sekaligus merupakan instrumen dalam pemerintahan negara dan menjadi ruang gerak integritas dan etika pimpinan nasional. Ada pun integritas moral dan etika kepemimpinan berdasarkan sila-sila Pancasila :
1)    Integritas Moral dan Etika: Ketaqwaan.
Ketaqwaan mengandung dimensi vertikal dan horizontal. Dimensi vertikal adalah pemimpin melaksanakan ibadahnya dan menyadari bahwa Tuhan yang Maha Esa mengawasi perbuatannya. Dimensi horizontalnya adalah seorang pemimpin menyadari bahwa manusia terlepas dari agamanya adalah mahluk ciptaan Tuhan yang Maha Esa. Pemimpin perlu menyadari bahwa keberagaman agama dan keyakinan merupakan wujud dari Bhineka Tunggal Ika. Pancasila dan UUD 1945 melindungi segenap warga negara dalam menjalankan ibadah agamanya. Dalam menyukseskan Pemilu 2014, pemimpin diharapkan memberi kesempatan yang sama bagi semua warga negara, tanpa membeda-bedakan agamanya, untuk berpartisipasi dalam pemilu 2014.
2)    Integritas Moral dan Etika: Kemanusiaan.
Aktualisasi moral dan etika kemanusiaan adalah pemimpin menghargai hak asasi manusia (HAM) dan mengupayakan perlindungan HAM bagi semua warga negara. Pemilu mengandung asas-asas yang merupakan terjemahan dari implementasi HAM yang merupakan tanggung jawab pemimpin untuk menerapkannya sehingga pemilu yang berkualitas dapat terwujud. Pemimpin yang mengedepankan HAM akan menjadi contoh bagi warga negara sehingga konflik-konflik atau perbedaan pendapat dapat diselesaikan dalam cara-cara yang menjunjung tinggi HAM sebagaimana diamanatkan dalam sila kedua Pancasila. 
3)    Integritas Moral dan Etika: Persatuan Kebangsaan.
Persatuan dan kebangsaan memiliki keterkaitan dengan ketaqwaan dan kemanusiaan. Seorang pemimpin wajib menjaga persatuan dan kebangsaan dengan tidak mengorbankan nilai-nilai ketaqwaan dan HAM yang menjadi jatidiri Bangsa Indonesia. Persatuan bangsa membutuhkan kepemimpinan yang mendekatkan pemimpin dengan yang dipimpin, serta memberi kesempatan yang sama bagi semua komponen bangsa untuk memilih dan dipilih sebagai pemimpin. Moral kebangsaan akan membuat pemimpin yang dipilih memimpin tanpa berpihak pada kepentingan golongan, agama, suku, dan lainnya, namun lebih mengutamakan dan menyadari bahwa dia memimpin Bangsa Indonesia.
4)    Integritas Moral dan Etika: Kerakyatan.
Pemimpin yang memiliki integritas moral dan etika yang tinggi
Memperjuangkan aspirasi kerakyatan melalui cara-cara bermusyawarah untuk mufakat. Para pemimpin tingkat nasional jika memiliki visi kerakyatan, akan menggalang rakyat untuk secara bersama-sama melaksanakan dan mencapai tujuan-tujuan pembangunan nasional. Para pemimpin perlu memiliki hikmat kebijaksanaan dan menyadari bahwa dirinya sebagai wakil rakyat adalah amanah yang bukan hanya dipertanggungjawabkan di hadapan masyarakat, tetapi juga dipertanggungjawabkan secara moral di hadapan Tuhan sebagaimana diamanatkan sila kesatu. Olah kerena itu, dari penghayatan sila ke 4 ini, maka pemimpin dituntut memiliki sikap terbuka (transparency) terhadap rakyat, konsisteni (consistency) antara ucapan (janji-janji pada rakyat) dengan tindakan/kebijakannya, dan bekerja berdasarkan kepastian waktu (certainty) dalam melaksanakan kebijakannya.
5)    Integritas Moral dan Etika: Keadilan.
Pemimpin dituntut punya integritas dan moral keadilan dalam memimpin bangsa Indonesia. Negara Indonesia menganut asas negara hukum, bukan negara kekuasaan; serta semua warga negara berkedudukan sama di hadapan hukum. Pemimpin yang adil, tidak memperjual-belikan hukum, bertindak tegas menegakkan hukum, akan membuat masyarakat mematuhi hukum. Penegakan hukum diharapkan memenuhi asas-asas keadilan di masyarakat, supaya hukum dapat bersikap tegas bukan hanya kepada rakyat jelata, tetapi juga kepada para pemimpin lainnya yang melanggar hukum. 

b.        Meningkatkan Legitimasi Pemimpin Tingkat Nasional
Pemimpin yang berakar pada nilai-nilai integritas moral dan etika sebagaimana disampaikan di atas umumnya akan memiliki legitimasi yang kuat dari rakyat. Namun partai politik yang berpraktik sebagai industri politik cenderung lebih mengedepankan calon-calon pemimpin yang transaksional sehingga money politic lebih dikedepankan sebagai upaya memenangkan pemilu/pemilukada. Maka tujuan dari strategi ini adalah meningkatkan legitimasi pemimpin tingkat nasional melalui upaya meningkatkan pencalonan pemimpin yang berjiwa Pancasila, pembuatan mekanisme pencalonan berbasis kader partai (bukan kutu loncat antar partai), mendorong keterbukaan dan profesionalitas partai politik, peningkatan kinerja dan profesionalitas badan penyelenggara dan pengawas pemilu, dan meningkatkan partisipasi politik masyarakat sehingga rekrutmen politik semakin meningkat kualitas integritas moral dan etika calon pemimpin yang diajukan. 
 Salah satu kendala yang mempersulit peningkatan legitimasi pemimpin tingkat nasional adalah adanya kecenderungan partai penjadi partai yang berorientasi “family party”. Partai PDIP identik dengan keturunan Soekarno, Partai Demokrat identik dengan SBY atau kelompok Cikeas. Gejala-gejala ini membuat kepemimpinan partai bukan didasarkan integritas dan penghayatan pada nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945, tetapi didasarkan oleh garis-garis keturunan, sumbangan-sumbangan material pada partai, dan sebagainya. Maka transparansi dan demokratisasi partai perlu didorong dan ditingkatkan untuk sekaligus meningkatkan kualitas dan kuantitas kepemimpinan partai sebagai organisasi yang mencalonkan para pemimpin di tingkat nasional untuk memimpin Bangsa dan Negara Indonesia.

c.         Meningkatkan Komitmen Pemimpin Tingkat Nasional Untuk Mewujudkan Pemilu Yang Berkualitas
Tujuan dari strategi ini adalah meningkatkan komitemen pemimpin tingkat nasional untuk mewujudkan pemilu yang LUBER-JURDIL serta berasaskan mandiri, jujur, adil, kepastian hukum, tertib, kepentingan umum, keterbukaan, proporsionalitas, profesionalitas, akuntabilitas, efisiensi dan efektivitas. Upaya ini untuk mengurangi dan mempersempit ruang gerak praktik-praktik kecurangan seperti politik uang, pelanggaran kampanye, konflik antar pendukung, manipulasi suara, manipulasi DPT, dan lainnya. Peningkatan komitmen ini juga diharapkan memberi dampak positif bagi rekrutmen politik serta memperluas peluang bagi calon-calon yang berintegritas untuk mencalonkan diri sebagai pemimpin, sehingga ketika memimpin diharapkan memiliki legitimasi yang kuat pada rakyat serta menjauhi praktik-praktik “mengejar setoran”, penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan, serta mengedepankan aspirasi dan kepentingan rakyat.
Peningkatan ini juga secara strategis akan meredam konflik-konflik pemilu/pemilukada sehingga para calon juga siap untuk kalah, bukan hanya siap untuk menang. Dalam beberapa pemilu terakhir ini saja, para calon yang kalah umumnya mengajukan gugatan kepada Mahkamah Konstitusi. Hal ini mengisyaratkan bahwa pengakuan akan profesionalitas dan kemampuan KPU dan Badan pengawas pemilu sebagai lembaga penyelenggara pemilu masih belum mendapat legitimasi yang baik di kalangan partai politik. Peningkatan komitemen pemimpin tingkat nasional guna mewujudkan pemilu yang demokratis akan secara langsung menumbuhkan partisipasi politik masyarakat secara umum dan berdampak pada peningkatan legitimasi pemimpin yang terpilih melalui pemilu yang berkualitas.
Komitmen dari pemimpin tingkat nasional yang berkedudukan di legislatif maupun eksekutif, perlu disinergikan dengan komitemen dari pimpinan-pimpinan partai politik dan ormas-ormas afiliasinya. Para pemimpin partai politik perlu diminta berkomitmen mengajukan kader-kader yang berintegritas untuk dicalonkan, bukan berdasarkan kemampuan finansial dalam membantu partai maupun mendanai kampanyenya. Oleh karena itu, komitmen ini juga bertujuan menyelenggarakan pemilu yang berbiaya rendah dan berkualitas.  

d.        Memperbaiki Kinerja Manajemen Penyelenggaraan Pemilu
Tujuan dari strategi ini adalah meningkatkan kualitas dan kuantitas lembaga-lembaga penyelenggara pemilu dan pengawas pemilu, mulai dari KPU, Bawaslu, Kementerian dalam negeri, Polri sebagai lembaga pengamanan pemilu, lembaga peradilan dan MK sebagai lembaga yang menangani kasus sengketa pemilu. Semua lembaga ini diharapkan netral, non partisan dan mandiri dengan bersikap profesional dan independen. Berbagai persoalan manajemen dan koordinasi masih perlu ditingkatkan di dalam maupun ke luar dari semua lembaga yang disebutkan tersebut.
Kendala yang sering menjadi hambatan adalah kesiapan dan pengesahan UU pemilu atau kebijakan menyangkut pemilu dan pemilukada, kesiapan dalam penyelenggaraan baik dalam arti perekrutan SDM KPU dan Bawaslu maupun kesiapan sistem manajemen. Kendala yang dari tahun ke tahun tetap menjadi masalah adalah masalah pendataan Daftar pemilih atau DPT dimana Kemendagri bertugas menyuplai data kepada KPU. Dalam Pemilu 2009, kredibilitas KPU jatuh, kinerjanya dianggap mengecewakan dan kemandiriannya dipertanyakan, sehingga DPR menggunakan hak interpelasi untuk menyelidiki banyaknya masyarakat yang tidak bisa memilih. Sinergi antara KPU, Bawaslu, dan Polri dalam pengawasan terhadap praktik kecurangan masih perlu dibenahi, dan kenetralan POLRI dan TNI perlu terus dibenahi dan ditingkatkan.

No comments:

Post a Comment