Thursday, January 28, 2016

OPTIMALISASI PENYELESAIAN PERKARA MELALUI MODEL RESTORATIVE JUSTICE


Model Restorative Justice sudah banyak di implementasikan di berbagai negara. PBB dalam Konggres ke-10 tentang Pencegahan Tindak Pidana dan Perlakukan terhadap Para Pelanggar (The Tenth UN Congres on Crime Prevention and Treatment of Offenders) yang diadakan di Wina pada awal tahun 2000, telah mengeluarkan resolusi, yaitu “Basic Principles on the Use of Restorative Justices Programmes in Criminal Matters (UN), 2000” yang kemudian dipertegas dalam Vienna Declaration on Crime and Justice “Meeting the Challange of the Twenty-first Century) dalam butir 27 dan 28 yang kemudian diadopsi dalam Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 55/59 tanggal 4 Desember 2000.
     Biaya penanganan dan penyelesaian perkara kejahatan seringkali tidak disediakan untuk memperhitungkan jaminan terhadap korban, seperti kemungkinan kejahatan itu diulangi atau tidak oleh pelakunya, atau ketakutan/trauma yang dialami oleh korban pasca tindak kejahatan. Bahkan pemerintah Inggris pun hanya memperkirakan biaya penenganan kejahatan berdasarkan harta benda, pelayanan kesehatan, dana layanan dukungan korban semata, tidak memperhitungkan efek psikologis atau emosional dari korban itu sendiri terkait dengan kasus yang dia alami (Brand & Price, 2000). Dalam beberapa dorongan berkala dalam diskusi tentang korban kejahatan, pemerintah masih mengabaikan kepentingan korban dalam pembentukan kebijakan kriminal.
     Sudah terbukti bahwa di beberapa negara yang menerapkan restorative justice menunjukkan beberapa manfaat yang diperoleh korban ketika mengikuti penyelesaian masalah tatap muka dalam pengadilan restoratif. Akhirnya banyak dari restorative justice yang berhasil didefinisikan secara luas kemudian dikembangkan dan dipraktekkan di seluruh dunia (Braithwaite, 2002). Pendekatan melalui restorative justice telah mengalami peningkatan level dan menjadi obat baru di Amerika Serikat dan Inggris. Hal ini lah yang kemudian menjadi bahan kajian dalam penelitian yang dilakukan oleh Heather Strang, Lawrence Sherman, Caroline M. Angel, Danie J. Woods, Sarah Bennett, Dorothy Newbury-Birch dan Nova Inkpen, dengan menjadikan pendekatan restorative justice yang berkembang di Amerika Serikat dan Inggris tersebut sebagai pendekatan yang spesifik dan konsisten dijelaskan dalam artikel jurnal ini untuk mengatur dan dan melakukan pertemuan sukarela antara pelaku, korban-korbannya, dan keluarga masing-masing dan pendukung.
     Polri yang berfungsi sebagai penegak hukum, dewasa ini masih dihadapkan pada persoalan banyaknya kasus-kasus yang tidak terselesaikan sesuai waktu yang ditetapkan atau tunggakan kasus. Berbagai isu yang menonjol berkaitan dengan penegakan hukum mulai dari penanganan perkara yang kurang optimal, birokrasi pelayanan Polri yang masih berbelit-belit, kerja sama dengan masyarakat yang kurang optimal, hingga banyaknya keluhan masyarakat pencari keadilan. Semua isu tersebut akan bermuara pada penilaian kinerja Polri, terutama yang mengemban fungsi pelayanan dalam bidang  penyelidikan dan penyidikan.
     Banyaknya tunggakan perkara yang ditangani Polri cenderung disebabkan oleh proses menejemen waktu penyidikan yang tidak efisien, landasan hukum yang ada dirasakan sudah tertinggal oleh zaman yang semakin maju, kurangnya pemahamam terhadap peraturan perundang-undangan, peraturan Kapolri, surat telegram Kapolda yang menaungi masalah penyelesaian perkara diluar peradilan dengan tujuan masyarakat mendapat keadilan yang hakiki, kurangnya kerja sama dan koordinasi antar penegak hukum baik dengan kejaksaan maupun pengadilan. Untuk itu perlu adanya terobosan untuk mengoptimalkan penyelesaian perkara guna mewujudkan keadilan dan kepastian hukum bagi masyarakat.
     Kecepatan atau kelambanan proses penyidikan sangat mempengaruhi kepentingan masyarakat yang dilayani, baik masyarakat yang berada pada posisi sebagai korban atau pelapor dari suatu peristiwa pidana, maupun dari masyarakat yang dituduh telah melakukan tindak pidana. Kelambanan proses penyidikan Polri telah membuat mereka merasa tidak nyaman, tidak mendapat keadilan dan kepastian hukum atas perkara akan berdampak terhadap aktivitas atau kepentingan pelapor/korban, maupun tersangka. Nilai kerugian materiil maupun non materiil / moril akan terus bertambah akibat semakin lamanya proses penyidikan yang dilakukan. Ketidaknyamanan atau ketidakpuasan atas lambannya prosese penyidikan dapat melahirkan keluhan masyarakat.
     Untuk mengatasi berbagai faktor baik eksternal maupun internal yang berdampak terhadap kelambanan proses penyidikan sehingga rasa keadilan dan kepastian hukum di masyarakat belum terwujud, Polri dapat menggunakan model restorative justice untuk menangani banyaknya perkara yang belum terselesaikan atau besarnya jumlah tunggakan perkara sehingga penyelesaian perkara dapat dilakukan secara optimal, dan komplin masyarakat terhadap penyidikan tindak pidana dapat diminimalisir atau bahkan bisa zero complain sehingga publik / masyarakat bisa mendapatkan rasa keadilan dan kepastian hukum.  

No comments:

Post a Comment