Model Restorative Justice sudah banyak di implementasikan di berbagai
negara. PBB dalam Konggres ke-10 tentang Pencegahan Tindak Pidana dan
Perlakukan terhadap Para Pelanggar (The
Tenth UN Congres on Crime Prevention and Treatment of Offenders) yang
diadakan di Wina pada awal tahun 2000, telah mengeluarkan resolusi, yaitu “Basic Principles on the Use of Restorative
Justices Programmes in Criminal Matters (UN), 2000” yang kemudian
dipertegas dalam Vienna Declaration on
Crime and Justice “Meeting the Challange of the Twenty-first Century) dalam
butir 27 dan 28 yang kemudian diadopsi dalam Resolusi Majelis Umum PBB Nomor
55/59 tanggal 4 Desember 2000.
Biaya penanganan dan
penyelesaian perkara kejahatan seringkali tidak disediakan untuk memperhitungkan
jaminan terhadap korban, seperti kemungkinan kejahatan itu diulangi atau tidak
oleh pelakunya, atau ketakutan/trauma yang dialami oleh korban pasca tindak
kejahatan. Bahkan pemerintah Inggris pun hanya memperkirakan biaya penenganan
kejahatan berdasarkan harta benda, pelayanan kesehatan, dana layanan dukungan
korban semata, tidak memperhitungkan efek psikologis atau emosional dari korban
itu sendiri terkait dengan kasus yang dia alami (Brand & Price, 2000).
Dalam beberapa dorongan berkala dalam diskusi tentang korban kejahatan,
pemerintah masih mengabaikan kepentingan korban dalam pembentukan kebijakan
kriminal.
Sudah terbukti bahwa di
beberapa negara yang menerapkan restorative justice
menunjukkan beberapa manfaat yang diperoleh korban ketika mengikuti
penyelesaian masalah tatap muka dalam pengadilan restoratif. Akhirnya banyak
dari restorative justice yang
berhasil didefinisikan secara luas kemudian dikembangkan dan dipraktekkan di
seluruh dunia (Braithwaite, 2002). Pendekatan melalui restorative justice telah mengalami peningkatan level dan menjadi
obat baru di Amerika Serikat dan Inggris. Hal ini lah yang kemudian menjadi
bahan kajian dalam penelitian yang dilakukan oleh Heather Strang, Lawrence
Sherman, Caroline M. Angel, Danie J. Woods, Sarah Bennett, Dorothy
Newbury-Birch dan Nova Inkpen, dengan menjadikan pendekatan restorative justice
yang berkembang di Amerika Serikat dan Inggris tersebut sebagai pendekatan yang
spesifik dan konsisten dijelaskan dalam artikel jurnal ini untuk mengatur dan
dan melakukan pertemuan sukarela antara pelaku, korban-korbannya, dan keluarga
masing-masing dan pendukung.
Polri yang berfungsi sebagai penegak hukum,
dewasa ini masih dihadapkan pada persoalan banyaknya kasus-kasus yang tidak
terselesaikan sesuai waktu yang ditetapkan atau tunggakan kasus. Berbagai isu yang
menonjol berkaitan dengan penegakan hukum mulai dari penanganan perkara yang
kurang optimal, birokrasi pelayanan Polri yang masih berbelit-belit, kerja sama dengan masyarakat yang
kurang optimal, hingga banyaknya keluhan masyarakat pencari keadilan. Semua isu
tersebut akan bermuara pada penilaian kinerja Polri, terutama yang mengemban
fungsi pelayanan dalam bidang
penyelidikan dan penyidikan.
Banyaknya tunggakan perkara yang ditangani Polri
cenderung disebabkan oleh proses menejemen waktu penyidikan yang tidak efisien,
landasan hukum yang ada dirasakan sudah tertinggal oleh zaman yang semakin
maju, kurangnya pemahamam terhadap peraturan perundang-undangan, peraturan Kapolri, surat
telegram Kapolda yang menaungi masalah penyelesaian perkara diluar peradilan
dengan tujuan masyarakat mendapat keadilan yang hakiki, kurangnya kerja sama
dan koordinasi antar penegak hukum baik dengan kejaksaan maupun pengadilan.
Untuk itu perlu adanya terobosan untuk mengoptimalkan penyelesaian perkara guna
mewujudkan keadilan dan kepastian hukum bagi masyarakat.
Kecepatan atau kelambanan proses penyidikan
sangat mempengaruhi kepentingan masyarakat yang dilayani, baik masyarakat yang
berada pada posisi sebagai korban atau pelapor dari suatu peristiwa pidana,
maupun dari masyarakat yang dituduh telah melakukan tindak pidana. Kelambanan
proses penyidikan Polri telah membuat mereka merasa tidak nyaman, tidak
mendapat keadilan dan kepastian hukum atas perkara akan berdampak terhadap
aktivitas atau kepentingan pelapor/korban, maupun tersangka. Nilai kerugian
materiil maupun non materiil / moril akan terus bertambah akibat semakin
lamanya proses penyidikan yang dilakukan. Ketidaknyamanan atau ketidakpuasan
atas lambannya prosese penyidikan dapat melahirkan keluhan masyarakat.
Untuk mengatasi berbagai faktor baik
eksternal maupun internal yang berdampak terhadap kelambanan proses penyidikan
sehingga rasa keadilan dan kepastian hukum di masyarakat belum terwujud, Polri
dapat menggunakan model restorative
justice untuk menangani banyaknya perkara yang belum terselesaikan atau
besarnya jumlah tunggakan perkara sehingga penyelesaian perkara dapat dilakukan
secara optimal, dan komplin masyarakat terhadap penyidikan tindak pidana dapat
diminimalisir atau bahkan bisa zero
complain sehingga publik / masyarakat bisa mendapatkan rasa keadilan dan
kepastian hukum.
No comments:
Post a Comment