Thursday, January 28, 2016

KONSEP RESTORATIVE JUSTICE





Restorative Justice adalah sebuah teori yang menekankan pada memulihkan kerugian yang disebabkan atau ditimbulkan oleh perbuatan pidana. Memulihkan kerugian ini akan tercapai dengan adanya proses-proses kooperatif yang mencakup semua pihak yang berkepentingan (stakeholders). Menurut Muladi[1] secara rinci restorative model mempunyai beberapa karakteristik yaitu:
a.      Kejahatan dirumuskan sebagai pelanggaran seorang terhadap orang lain dan diakui sebagai konflik;
b.      Titik perhatian pada pemecahan masalah pertanggungjawaban dan kewajiban pada masa depan;
c.      Sifat normatif dibangun atas dasar dialog dan negosiasi;
d.      Restitusi sebagai sarana perbaikan para pihak, rekonsiliasi dan restorasi sebagai tujuan utama;
e.      Keadilan dirumuskan sebagai hubungan-hubungan hak, dinilai atas dasar hasil;
f.       Sasaran perhatian pada perbaikan kerugian sosial;
g.      Masyarakat merupakan fasilitator di dalam proses restoratif;
h.     Peran korban dan pelaku tindak pidana diakui, baik dalam masalah maupun penyelesaian hak-hak dan kebutuhan korban. Pelaku tindak pidana didorong untuk bertanggung jawab;
i.       Pertanggungjawaban si pelaku dirumuskan sebagai dampak pemahaman terhadap perbuatan dan untuk membantu memutuskan yang terbaik;
j.        Tindak pidana dipahami dalam konteks menyeluruh, moral, sosial dan ekonomis; dan
k.      Stigma dapat dihapus melalui tindakan restoratif.

Tindakan-tindakan dan program-program yang merefleksikan tujuan-tujuan restorative akan dapat menyelesaikan kasus kejahatan dengan cara : (a) mengidentifikasi dan mengambil langkah-langkah untuk memulihkan kerugian, (b) melibatkan semua stakeholder, dan (c) merubah hubungan tradisional antara masyarakat dan pemerintah dalam mengatasi kejahatan. Konsep-konsep ini merupakan bagian dari prinsip-prinsip dari Restorative Justice yang dituangkan dalam Declaration of Basic Principles of Justice of Crime and Abuse of Power, 1985. Prinsip-prinsip dasar Restorative Justice tersebut kemudian dikembangkan oleh the UN Commission on Crime Prevention and Crime Justice sebagai panduan internasional untuk membantu negara-negara yang menjalankan program Restorative Justice.[2]

Formula teori untuk restorative justice atau teori-teori terkait dalam kriminologi memiliki fokus pada pengulangan kejahatan oleh pelaku pelanggaran, tanpa ada teori formal tentang konsekuensi yang diterima korban  (Braithwaite, 1989, 2002; Sherman, 1993; Tyler, 1990). Akan tetapi, ada dua teori di luar khasanah kriminologi yang membahas hal ini. Yang pertama adalah cognitive behavioral therapy (CBT) dalam psikologi, yang menunjukkan bahwa korban bisa diuntungkan ketika ditawarkan “deconditioningdiscussions trauma  (menghilangkan situasi trauma yang diderita karena tindakan kejahatan yang dialami) dengan menyelenggarakan suatu diskusi tatap muka (face to face) di lingkungan yang aman dan terkendali.  Yang kedua adalah “interaction ritual” (IR) dalam sosiologi, yaitu memperkirakan bahwa energy emosional yang timbul dari sebuah konferensi pengadilan restorative akan berhasil memiliki manfaat positif bagi korban dengan mengembalikan identitas dan rasa harga diri yang dimiliki korban.

Tujuan pemidanaan dalam literature Bahasa Inggris adalah Reformation, Restraint, Restributioan dan Individual Deterrence serta General Deterrence. Retribution adalah pembalasan terhadap orang yang telah melakukan kejahatan dimana seseorang yang telah melakukan kejahatan haruslah dijatuhi pidana tanpa melihat manfaat lain pejatuhan pidana. Retribution ini berkaitan dengan teori pembenaran penjatuhan pidana yaitu teori absolute atau teori pembalasan, dimana kejahatan yang dilakukan itu yang menjadi penyebab dijatuhkannya pemidanaan.

Restraint adalah menjauhkan pelaku kejahatan dari kehidupan masyarakat dengan maksud menghindarkan masyarakat dari keresahan untuk terjadinya kejahatan yang akan dilakukan lagi oleh si Pelaku kejahatan tersebut, sehingga masyarakat menjadi lebih tenang dan aman. Untuk itulah si Pelaku kejahatan dijatuhkan pidana penjara agar tidak berada lagi bersama masyarakat. Reformation tujuannya yaitu untuk memperbaiki atau merehabilitasi Pelaku kejahatan yang telah merugikan pihak lain dengan kejahatan yang telah dilakukannya agar si Penjahat tersebut menjadi orang yang baik dan tidak lagi meresahkan masyarakat dengan mengulang kembali melakukan kejahatan, sehingga si Penjahat tersebut dapat diterima bahkan berguna bagi masyarakatnya.

Adapun Deterrence yang khusus tujuannya adalah agar si Pelaku kejahatan yang telah dijatuhi pidana menjadi jera atau kapok sehingga ia tidak melakukan lagi kejahatan yang sama atau kejahatan lainnya. Sedangkan Deterrence umum tujuannya dengan dijatuhinya pidana kepada si Pelaku kejahatan adalah untuk menjadi contoh kepada masyarakat bahwa siapa saja yang melakukan kejahatan pasti akan dijatuhi hukuman, sehingga diharapkan masyarakat menjadi takut atau jera untuk melakukan kejahatan.

Namun masa sekarang ini dapat kita lihat bersama penjatuhan pidana atau pemidanaan terhadap si Pelaku kejahatan pada umumnya belum menjadikan si pelaku jera dan membuat masyarakat terasa aman lebih jauh belum mencapai rasa keadilan. Contohnya seorang pelaku kejahatan setelah dia dipidana penjara kemudian keluar kembali ditengah-tengah masyarakat ternyata tidaklah menjadi jera sehingga yang bersangkutan kembali meresahkan masyarakatnya dengan aksi-aksi kejahatannya, apalagi selama ia dipenjara ternyata bertemu dengan penjahat-penjahat lain sehingga mereka bertukar pengalaman dan keahlian, bahkan ternyata si penjahat inipun mengajak orang lain yang sebelumnya orang baik-baik untuk melakukan aksi kejahatan bersamanya.

Disisi lain kita melihat dalam penjatuhan pidana kerap keadilan terasa kurang menyentuh atau terasa hambar terlebih terhadap tindak pidana yang ada memakan korban, misalnya tindak pidana penganiayaan, pencurian atau pembunuhan. Dimana pada umumnya vonis-vonis yang dijatuhkan oleh Hakim hanya melihat kepentingan pelaku kejahatan  dengan maksud bahwa vonis yang dijatuhkan tersebut bukanlah untuk pembalasan terhadap tindak pidana yang telah dilakukan, tapi vonis yang dijatuhkan adalah untuk mendidik si penjahat atau agar penjahat menjadi jera dan tidak mengulangi lagi, sementara itu kepentingan korban kurang diperhatikan. Contohnya dalam tindak pidana pasal 362 KUHP tentang pencurian, misalkan yang dicuri adalah sebuah pesawat televisi lalu televisi tersebut dijual dan hasil penjualannya telah habis dipakai oleh si penjahat tersebut. Dalam kasus ini Hakim pastilah akan menjatuhkan pidana terhadap penjahat ini dan biasanya vonis yang dijatuhkan akan memperhatikan kepentingan terdakwa, yaitu dengan vonis yang dijatuhkan agar dapat mendidik terdakwa sadar akan kesalahannya sehingga terdakwa tidak lagi melakukan kejahatan. Namun disisi lain Hakim kurang memperhatikan kepentingan korban yang telah kehilangan televisinya.

Disinilah rasa keadilan terasa hambar karena memang aturan hukum kita tidak mengatur untuk itu. Dalam pasal 98 sampai pasal 101 KUHAP memang ada diatur tentang gabungan gugatan ganti kerugian dengan tindak pidananya, aturan ini disyaratkan bahwa yang aktif adalah pihak yang dirugikan Hakim Ketua Sidang menetapkan penggabungan perkara pidana dengan tuntutan ganti rugi hanya atas permintaan pihak yang dirugikan, mungkin karena ketidak tahuan pihak yang dirugikan atas pasal ini maka terhadap aturan ini jarang sekali dipergunakan. Aturan ini hanya memberikan sarana kepada pihak yang dirugikan atas terjadinya tindak pidana untuk menuntut ganti rugi namun tidak semua orang tahu, Hakimpun bersifat pasif tidak akan memberitahukan hal itu karena melihat keadaan  terdakwa yang tidak mungkin untuk dapat dituntut karena kewenangan mengadilinya ataupun keadaan terdakwa itu sendiri yang memang tidak mungkin untuk membayar tuntutan ganti rugi tersebut

Bahwa tujuan pemidanaan berkaitan erat dengan rasa keadilan atau kata lain rasa keadilan baru dapat tercapai apabila telah  tercapai tujuan pemidanaan. Keadilan baru dapat didekati apabila tujuan pemidanaan memperhatikan kepentingan negara, kepentingan masyarakat, kepentingan pelaku kejahatan serta kepentingan korban. Kepentingan negara dalam setiap penjatuhan pidana dimulai dari proses penyelidikan dan penyidikan sampai pemidanaan sudah dapat terpenuhi sebagaimana yang dilakukan oleh petugas hukum Polisi, Jaksa Penuntut Umum dan Hakim, artinya aturan-aturan yang berkenaan dengan suatu tindak pidana yang diterapkan Negara baik hukum formilnya maupun hukum materiilnya telah dilaksanakan sedemikian rupa. Kepentingan masyarakat, maksudnya apakah dengan pemidanaan tersebut kepentingan masyarakat telah terayomi sehingga masyarakat dapat  terhindar dari tindak pidana yang akan dilakukan lagi oleh si penjahat tersebut. Lebih jauh lagi apakah dengan dipidananya terdakwa benar-benar membuat masyarakat menjadi tenteram dan putusan tersebut memberi manfaat pada masyarakat.

Kepentingan pelaku kejahatan dalam pemidanaan harus pula diperhatikan oleh Hakim, vonis yang dijatuhkan oleh Hakim harus melihat kepentingan pelaku kejahatan secara normatif, yaitu agar setelah pelaku kejahatan menjalankan pidana yang bersangkutan menjadi warga yang baik tidak mengulangi melakukan kejahatan lagi dan tidak meresahkan masyarakat. Sebenarnya secara lahiriah manusia mempunyai sifat yang baik dan ada keinginan untuk menjadi baik, namun karena ternyata dipenjara justru si pelaku kejahatan mendapatkan kawan sesama napi dan bertukar pengalaman serta keahlian, sehingga menjadikannya tidak berubah bahkan lebih pintar dalam melakukan aksinya. Menurut kaidah yang paling utama dalam suatu penjatuhan putusan oleh Hakim adalah terakomodasinya kepentingan korban dan atau keluarganya, jangan sampai vonis yang dijatuhkan tidak membawa arti apa-apa bagi si korban maupun keluarganya, sementara korban dan atau keluarganya sesungguhnya adalah pihak yang paling dirugikan oleh tindak pidana yang dilakukan si pelaku kejahatan.

Dengan system pemidanaan yang ada sekarang ini malah membuat tujuan pemidanaan menjadi tidak tercapai. Banyak penjahat-penjahat menjadi berani atau besar karena ia sudah dipenjara dan mendapatkan pengalaman dan ilmu yang lebih banyak lagi dari sesama napi, sehingga menjadikan masyarakat tidak lebih aman. Hal-hal diatas inilah yang menjadikan terabainya kepentingan masyarakat, kepentingan pelaku dan kepentingan korban sehingga tujuan pemidanaan menjadi tidak tercapai karena didalam vonis Hakim tersebut keadilan terasa kurang.



[1] Muladi. Kapita Selekta Hukum Pidana. Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponogoro, 1995, hal. 125.
[2] Nur Rochaeti. “Model Restorative Justice sebagai Alternatif Penanganan bagi Anak Delinkuen di Indonesia” dalam MMH, Jilid 37, No. 4, Desember 2008, hal. 245.

No comments:

Post a Comment