Monday, October 27, 2014

PEMOLISIAN KOMUNITI (COMMUNITY POLICING) DALAM MENCIPTAKAN KAMTIBMAS


Oleh : Kombes Dr. Chrysnanda Dwilaksana


1.  Pendahuluan

Tulisan ini tentang community policing (pemolisian komuniti), yang ingin ditunjukan adalah gaya pemolisian sebagai suatu tindakan atau aktivitas kepolisian dalam menyelesaikan masalah-masalah sosial yang terjadi  dalam masyarakat  yang berkaitan dengan pencegahan  terjadinya tindak kejahatan  dan upaya menciptakan keamanan dan ketertiban.

Pemolisian  adalah pengindonesian dari Policing, ada juga yang menterjemahkan menjadi perpolisian. Konsep pemolisian pada dasarnya adalah gaya atau model yang melatar belakangi sebagian atau sejumlah aktivitas kepolisian … dan lebih dari sekedar teknik atau taktik kepolisian, dilakukan tatkala menginterogasi tersangka, mengawal tamu penting, mengatur lalu lintasa atau saat memberikan penyuluhan (Meliala, 1999). Menurut Reksodiputro (1996) Pemolisian adalah suatu initiasi dari pencegahan dan pengendalian terhadap kejahatan serta peradilan pidana dari hampir keseluruhan konteks sosio kultural.

Gaya pemolisian sebagai model yang melatarbelakangi dari kegiatan atau aktivitas kepolisian dalam memberikan pelayanan keamanan baik kepada individu, masyarakat atau negara dapat dipahami dan dijelaskan dengan memahami secara holistik dari komuniti yang terwujud sebagai satuan kehidupan yang menempati sebuah wilayah, di mana anggotanya terikat dalam dalam suatu hubungan sosial.

Dalam era reformasi yang telah dan sedang dilakukan oleh bangsa Indonesia bertujuan untuk dapat mencapai suatu kehidupan berbangsa, bernegara dan masyarakat sipil (civil society) yang demokratis. Menurut Suparlan(1999) Dalam tatanan demokrasi ada tiga unsur yang mendasar yang sakral, yaitu: individu, masyarakat atau komuniti dan negara, ketiga-tiganya selalu berada dalam konflik kepentingan atau selalu dalam proses persaingan untuk saling mengalahkan,tetapi salah satu dari ketiganya tidak dapat dikalahkan secara absolut, karena ketiga-tiganya harus dalam keadaan seimbang untuk dapat tercapainya kesejahteraan dan kemajuan masyarakatnya. 

Masyarakat madani atau masyarakat sipil menurut Gelner 1995:32; Adalah sebuah masyarakat dengan seperangkat pranata-pranata non pemerintah yang cukup kuat uintuk menjadi penyeimbang dari kekuasasaan negara dan pada saat yang sama, mendorong pemerintah menjalankan peranannya sebagai penjaga perdamaian dan penengah diantara berbagai kepentingan utama dalam masyarakat serta mempunyai kemampuan untuk menghalangi atau mencegah negara untuk mendominasi dan mengecilkan peran masyarakat. Masyarakat sipil/ madani yang modern dibangun berlandaskan demokrasi yang mencakup prinsip, prinsip kedaulatan rakyat, pemerintahan berdasarkan persetujuan yang diperintah, kekuasaan mayoritas, hak-hak minoritas, jaminan hak asasi manusia, proses hukum yang wajar, pembatasan kekuasaan pemerintah, secara konstitusional, kemajemukan ekonomi, politik, nilai-nilai toleransi, paragmatisme kerja sama dan mufakat (suparlan, 1994). 

Kehidupan demokrasi pada dasarnya sebuah kebudayaan konflik yaitu menekankan pada perolehan sesuatu dengan melalui persaingan. Persainagan harus melalui aturan-aturan main atau hukum yang adil dan beradab yang berada di bawah pengawasan wasit, dalam kehidupan demokrasi, polisi dapat dilihat  perannya atau berperan sebagai wasit yang adil untuk ditaatinya hukum oleh warga masyarakat.

Dalam masyarakat sipil yang modern, setiap masyarakat dituntut untuk berproduksi dan berguna atau setidak-tidaknya dapat menghidupi dirinya sendiri serta dapat saling menghidupi satu  sama lain dalam kehidupan bermasyarakat. Mereka yang tidak berproduksi dianggap sebagai beban atau benalu masyarakat. Tindak kejahatan atau kerusuhan dapat merusak atau menghancurkan produktifitas dan dapat menghancurkan masyarakat. Dalam masyarakat modern tugas polisi adalah menjaga agar jalannya produksi yang menyejahterakan masyarakat tersebut jangan sampai terganggu atau hancur karena tindak kejahatan dan kerusuhan Tercakup dalam pengertian menjaga jalannya produktivitas dan tujuan utama dalam upaya menjamin keberadaan manusia dan masyarakatnya yang beradab (Suparlan 1999 b).

Keberadaan dan fungsi polisi dalam masyarakat adalah sesuai dengan tuntutan kebutuhan dalam masyarakat yang bersangkutan untuk adanya pelayanan polisi (Suparlan;1999). Fungsi polisi adalah untuk menjaga agar keamanan dan ketertiban dalam masyarakat yang diharapkan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, dan menjaga agar individu, masyarakat, dan negara yang merupakan unsur-unsur utama dalam proses tidak dirugikan. Menurut Rahardjo, 2000 :”Sosok Polisi yang ideal di seluruh dunia adalah polisi yang cocok masyarakat. 

Dengan prinsip tersebut diatas masyarakat mengharapkan adanya, perubahan dari polisi yang antagonis (polisi yang tidak peka terhadap dinamika tersebut dan menjalankan gaya pemolisian yang bertentangan dengan masyarakatnya) menjadi polisi yang protagonis (terbuka terhadap dinamika perubahan masyarakat dan bersedia untuk mengakomodasikannya ke dalam tugas-tugasnya) atau yang cocok dengan masyarakatnya. Harapan masyarakat kepada polisi adalah sosok polisi yang cocok atau sesuai dari masyarakatnya dan hal tersebut tidak dapat ditentukan oleh polisi sendiri. Dapat dikatakan bahwa polisi adalah cerminan dari masyarakatnya, masyarakat yang bobrok jangan berharap mempunyai polisi yang baik (Rahardjo, 1999).

Fungsi kepolisian dalam struktur kehidupan masyarakat sebagai pengayom masyarakat, penegakkan hukum, yaitu mempunyai : mempunyai tanggung jawab kusus untuk memelihara ketertiban masyarakat dan menangani kejahatan baik dalam bentuk tindakan terhadap kejahatan maupun bentuk pencegahan kejahatan agar para anggota masyarakat dapat hidup dan bekerja dalam keadaan aman dan tenteram (Bahtiar: 1994 :1). Dengan kata lain kegiatan-kegiatan polisi adalah berkenaan dengan sesuatu gejala yang ada dalam kehidupan sosial dari sesuatu masyarakat yang dirasakan sebagai beban/ gangguan yang merugikan para anggota masyarakat tersebut (Suparlan: 1999). Menurut Bayley 1994 : Untuk mewujudkan rasa aman itu mustahil dapat dilakukan oleh polisi  saja, mustahil dapat dilakukan dengan cara-cara bertindak polisi yang konvensional–yang dilibat oleh birokrasi yang rumit , mustahil terwujud melalui perintah-perintah yang terpusat tanpa memperhatikan kondisi setempat yang sangat berbeda dari tempat yang satu dengan tempat yang lain (Kunarto, 1998,xi). 

Dari bahasan di atas fungsi polisi bukanlah sebagai alat penguasa atau hanya untuk kepentingan pejabat pemerintah. Di dalam menciptakan tertib hukum, keamanan tidak dapat lagi dengan menggunakan kekuasaan atau alat paksa yang bersifat otoriter militeristik. Dalam masyarakat yang otoriter militeristik mempunyai ciri-ciri kekejaman dan kekerasan terhadap rakyatnya sendiri (Van den Berge, 1990, dalam Suparlan, 2001). Hampir di semua negara yang otoriter, gaji pegawai negeri sipil, polisi dan militer amat kecil, yang besar adalah fasilitas dan pendapatan atau tunjangan yang diterima karena jabatan yang didudukinya (Suparlan, 2001). Hal tersebut di dalam organisasi kepolisian dapat menimbulkan tumbuh dan berkembangnya sistem yang tidak fair dan orientasi para anggotanya bukan pada pelayanan masyarakat. 

Sebagai konsekuensi dari hal-hal yang diuraikan di atas, maka orientasi polisi untuk menciptakan suatu kondisi keamanan dan ketertiban di masyarakat diperlukan kepolisian yang demokratis dan cocok dengan masyarakatnya. Dengan mengacu pada acuan dasar demokrasi polisi dapat  menunjukan adanya  kesetaraan antara masyarakat dengan aparat kepolisiannya, polisi tidak boleh bertindak sewenang-wenang terhadap masyrakatnya dan dalam tindakan pemolisiannya senantiasa berdasar pada supremasi hukum serta memberikan jaminan dan perlindungan hak asasi manusia (HAM). Adanya transparansi atau keterbukaan atas kinerjanya sebagai wujud pertanggung jawaban publik polisi (tidak lagi menganggap semua tugas polisi rahasia dan harus dirahasiakan). Untuk mengawasi dan mengontrol kinerja polisi agar tidak menyimpang dari hukum dan peraturan yang berlaku perlu adanya lembaga yang independent untuk melakukan pembatasan dan pengawasan kewenangan polisi dengan harapan agar polisi dalam memberikan pelayanan keamanan berorientasi pada masyarakat yang dilayaninya. 

Dengan demikian maka prioritas pemolisian tidak hanya melihat dari sisi kepolisian saja melainkan juga melihat harapan dan keinginan masyarakat. Dalam memberikan pelayanan keamanan kepada masyarakat. Gaya pemolisian yang dilakukan tidak lagi bersifat reaktif atau menunggu laporan/pengaduan atau perintah melainkan proaktif dan senantiasia menumbuhkan kreativitas dan inovasi –inovasi baru dalam menyelesaikan berbagai masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat. Untuk menentukan gaya pemolisian yang terbaik bagi masyarakat tidak hanya ditentukan atau diatur dari atas saja (top down) yang diatur secara sentralistik atau diseragamkan  melainkan tumbuh atau muncul dari tingkat bawah yang disesuaikan dengan lingkungan masyarakatnya atau dengan sistem bottom up (desentralisasi). 

Prinsip desentralisasi akan lebih memberdayakan masyarakat dan meningkatkan kreativitas serta inovasi bagi petugas kepolisian di tingkat bawah atau daerah. David Bay Ley dalam bukunya Police for The Future yang merupakan hasil penelitian kepolisian di lima negara maju Autralia, Inggris, Canada, Jepang dan Amerika Serikat dengan sistim pemerintahan dan kepolisiannya berbeda-beda, menyebutkan : “semua negara tersebut mengutamakan kesatuan kepolisian yang paling dekat dengan masyarakat dinamakan basic police unit (a basic police unit wold be the smallest full service teritorrial command unit of a police force). Di Amerika Serikat seperti LAPD, NYPD, SPD,  di Inggris di sebut sub division, di Jepang police station di Belanda distric politie. Bay Lay,(1998) menyatakan basic Police unit,  wold be responsible for delevering all but the most specialized  police services their essencial function would be to determind local needs and to devized strategics to meet those needs.

2.  Keamanan dan Ketertiban Masyarakat
            
Keamanan masyarakat berasal dari kata dasar “aman“ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia  diartikan sebagai :  bebas dari bahaya; bebas dari gangguan; terlindung atau tersembunyi; tidak dapat dapat diambil orang; tidak meragukan; tidak mengandung resiko; tidak merasa takut atau khawatir. Keamanan masyarakat dalam rangka Kamtibmas adalah suasana yang menciptakan pada individu manusia dan masyarakat perasaan-perasaan sebagai berikut :
  • Perasaan bebas dari gangguan baik fisik maupun psikis.
  • Adanya rasa kepastian dan rasa bebas dari kekhawatiran, keragu-raguan dan ketakutan.
  • Perasaan dilindungi dari segala macam bahaya.
  • Perasaan kedamaian lahiriah dan batiniah .
Terlihat bahwa yang menentukan keadaan aman atau tidak adalah perasaan dari individu dan masyarakat.

Ketertiban masyarakat berasal dari kata dasar “tertib“. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan : teraturan; menurut aturan; rapi. Tertib dapat diartikan adanya keteraturan, situasinya berjalan secara teratur sesuai dan menurut norma-norma serta hukum yang berlaku.Terdapat dua  macam norma yang mengatur ketertiban masyarakat yaitu norma yang sudah dijadikan norma hukum dan norma non hukum. Kedua macam norma ini disebut norma ketertiban. Pasal 1 butir 5 dan 6 UU No 2 tahun 2002 dijelaskan bahwa : Keamanan dan ketertiban masyarakat adalah suatu kondisi dinamis masyarakat sebagai salah satu prasyarat terselenggaranya proses pembangunan nasional dalam rangka tercapainya tujuan nasional yang ditandai oleh terjaminnya keamanan, ketertiban dan tegaknya hukum, serta terbinanya ketenteraman, yang mengandung kemampuan membina serta mengembangkan potensi dan kekuatan masyarakat dalam menangkal, mencegah, dan menanggulangi segala bentuk pelanggaran hukum dan bentuk-bentuk gangguan lainnya yang dapat meresahkan masyarakat. Butir 6 menjelaskan : Keamanan Dalam Negari adalah suatu keadaan yang ditandai dengan terjaminnya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertuib dan tegaknya hukum, serta terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. 

Ketentraman masyarakat  berasal dari kata “Tentram “ menurut kamus bahasa Indonesia keluaran Balai Pustaka (1995) berarti : aman  damai dan tenang, sedangkan tenang diartikan sebagai kelihatan diam tidak berombak; berubah-ubah; tidak gelisah; tidak resah; tidak kacau tidak ribut; aman dan tentram. Dapat diartikan keadaan tentram; keamanan; ketenangan (hati; pikiran). Dari pengertian ini ketentraman masyarakat dapat diartikan sebagai ketenangan hati masyarakat. Dalam UU No.20 1982 /UU No. 2  2002 disebutkan bahwa Polri bertugas membina ketentraman masyarakat guna mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat. Dapat disimpulkan bahwa ketentraman merupakan kondisi bagi terwujudnya keamanan dan ketertiban. 
Untuk menciptakan dan menjaga keamanandan ketertiban dlam masyarakat yang komplek dan modern memerlukan institusi yang bertugas untuk menegakkan aturan hukum dan keadilan salah satunya adalah polisi.

3.  Fungsi dan Peranan Polisi

Konsep fungsi selalu digunakan dalam kaitannya dengan konsep sistem, yaitu dalam kaitannya dengan unsur-unsur dalam sebuah sistem yang berada dalam hubungan fungsional, atau saling mendukung dan menghidup, yang secara bersama-sama memproses masukan untuk dijadikan keluaran.Sedangkan konsep peranan selalu dilihat dalam kaitannya dengan posisi-posisi yang dipunyai individu-individu dalam sebuah struktur yang satu sama lainnya berada dalam suatu kaitan hubungan peranan sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam struktur tersebut (Suparlan, 2000). 

Dalam negara modern yang demokratis polisi mempunyai fungsi pelayanan keamanan kepada individu, komuniti (masyarakat setempat), dan negara. Pelayanan keamanan tersebut bertujuan untuk menjaga, mengurangi rasa ketakutan dari ancaman dan gangguan serta menjamin keamanan di lingkungannya secara berkesinambungan untuk meningkatkan kesejahteraan dan produktivitas yang dilayaninya. Fungsi Polri adalah untuk menegakkan hukum, memelihara keteraturan dan ketertiban dalam masyarakat, mendeteksi dan  mencegah terjadinya kejahatan serta memeranginya. Menurut Suparlan (1999) fungsi polisi adalah sebagai berikut:
(1) Polisi menegakkan hukum dan bersamaan dengan itu menegakkan keadilan sesuai dengan hukum yang berlaku, yaitu menegakkan keadilan dalam konflik kepentingan yang dihasilkan dari hubungan antara individu, masyarakat dan negara (yang diwakili oleh pemerintah), dan antar individu serta antar masyarakat; (2) Memerangi kejahatan yang mengganggu dan merugikan masyarakat,warga masyarakat dan negara; (3) Mengayomi warga masyarakat, masyarakat, dan negara dari ancaman dan tindak kejahatan yang mengganggu dan merugikan. Tiga fungsi polisi tersebut harus dilihat dalam persepektif individu, masyarakat dan negara, masing - masing merupakan sebuah sistem dan secara keseluruhan adalah sebuah sistem yang memproses masukan program - program pembangunan untuk menghasilkan keluaran berupa kemakmuran, keadilan, dan kesejahteraan. Dalam proses - proses yang berlangsung tersebut, fungsi polisi adalah untuk menjaga agar keluaran yang diharapkan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, dan menjaga agar individu, masyarakat, dan negara yang merupakan unsur - unsur utama dan sakral dalam proses - proses tersebut tidak terganggu atau dirugikan.

Menurut Undang-undang no 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), dalam pasal 1 butir 1 sampai dengan 4 menjelaskan :
1.    Kepolisian adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2.    Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah pegawai negeri pada Kepolisian Negara Republik Indonesia.
3.    Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berdasarkan undang-undang memiliki wewenang umum Kepolisian.
4.    Peraturan Kepolisian adalah segala peraturan yang dikeluarkan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam rangka memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Dalam Pasal  2 dijelaskan bahwa :”  Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Tujuan Polri dalam Pasal  4 dijelaskan : Kepolisian Negara Republik Indonesia bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman dan pelayanan masyarakat, serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. 

Berkaitan dengan hal tersebut di atas Fungsi Polri dalam masyarakat dilihat sebagai prananta atau institusi yang ada dalam masyarakat Indonesia dan peranannya dilihat sebagai peranan dari petugas Polri dalam masyarakat Indonesia untuk menciptakan dan menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas). Dalam melaksanakan pelayanan keamanan pada masyarakat polisi dapat melakukan  berbagai macam gaya pemolisiannya.

4.  Gaya Pemolisian

Gaya pemolisian bermacam-macam atau bervariasi yang secara garis besar dapat dibagi dua yang pertama adalah pemolisian konvensional (ada yang menyebut sebagai pemolisian tradisional) yang menekankan pada kepolisian dan aktivitas kepolisian dalam rangka pencapaian kondisi keamanan dan keteriban . Jenis-jenis pemolisian yang berada dalam kelompok ini adalah pemolisian reaktif (reactive policing), pemolisian ala pemadam kebakaran (fire brigade policing), pemolisian para militer (paramilitary policing), pemolisian tipe putar nomor telpon (dial-a-cop policing), pemolisian reaksi cepat (rapid response policing), pemolisian profesional dan pemolisian berorientasi penegakan hukum (enforcement-oriented policing). Ke dua adalah pemolisian modern adalah antitesa dari pemolisian konvensional , yang mempraktekan gaya pemolisian ini sadar sepenuhnya akan akan keterbatasannya dalam berbagai hal guna mencapai tujuan–tujuan kepolisian pada umumnya. Untuk itu yang dilakukan adalah penuntasan masalah (problem solving policing), kegiatan yang sepenuhnya berorientasi pada pada pelayanan atau jasa-jasa publik (public service policing), pemolisian dengan mengandalkan pada sumber daya setempat (resource based policing) dan dilakukan bersama-sama dengan masyarakat (community policing) (meliala, 1999). 

Gaya pemolisian sebagai model yang melatarbelakangi tindakan atau aktivitas kepolisian dalam mengatasi berbagai masalah sosial dalam masyarakat yang berkaitan dengan keamanan dan ketertiban dan  pencegahan terjadinya tindak kejahatan diperlukan juga pemahaman tentang masyarakatnya dengan berbagai masalah dan sistem sosial yang ada di dalamnya serta aspek intern kepolisian sendiri yang mencakup sistem manajemen, kebijaksanaan – kebijaksanaan yang mempengaruhi dan dijadikan pedoman oleh para petugas kepolisian dalam melaksanakan tindakan operasionalnya. 

Penanganan masalah keamanan dan ketertiban  di masyarakat tidak bisa disamaratakan antara daerah satu dengan daerah yang lain. Masing masing daerah mempunyai situasi, kondisi dan karakteristik  yang berbeda dari satu daerah dengan daerah lain. Oleh karena itu dalam menangani masalah keamanan dan ketertiban tidak bisa diseragamkan antara satu daerah dengan daerah lain. Di dalam organisasi Polri kepolisian di tingkat kabupaten atau Kota madya ditangani oleh Kepolisian Resort (Polres), yang  merupakan kesatuan yang terlengkap pada tingkat daerah kabupaten tentunya lebih mengetahui dan memahami tingkat kebutuhan ataupun ancaman serta gangguan kamtibmas yang terjadi di darerahnya.  
Reformasi Polri  dapat dilakukan melalui perubahan baik secara struktural, instrumental dan kultural salah satu sasarannya adalah bentuk kepolisian nasional yang pelaksaan operasionalnya difokuskan pada tingkat Polres sebagai komando operasional dasar (KOD) atau basic police unit  atau kepolisian pada kota madya ataupun kabupaten. Trojanovicz (1998) kepolisian yang berorientasi pada masyarakat perlu adanya :”An equal commitment to community-oriented government – Community-oriented government adapts the principles of community policing to the delivery of municipal services to neighborhoods”. Polres dijadikan sebagai KOD karena  sebagai satuan kepolisian yang terdepan dan terlengkap unsur ataupun fungsi dan bagian-bagiannya. Dengan KOD pada tingkat polres berarti adanya kewenangan ataupun otonomi dari polres untuk memberikan pelayanan yang prima kepada masyarakat, serta dapat mengembangkan berbagai kreatifitas dan inovasi baru dalam menyelesaikan berbagai masalah sosial ataupun bekerja sama dengan masyarakat dalam menciptakan Keamanan dan ketertiban. 

Di negara negara yang demokratis sekarang ini lebih mengedepankan penerapan community policing (pemolisian komuniti) sebagai alternatif gaya pemolisian yang berorientasi pada masyarakat dalam menyelesaikan berbagai masalah di dalam masyarakat. Dalam hal tersebut polisi sebagai katalisator atau sebagai fasilitator yang besama-sama dengan masyarakat di lingkungannya berupaya untuk mengantisipasi atau mencegah terjadinya gangguan keamanan dan ketertiban di lingkungannya. 

Elemen kunci dalam menentukuan terwujudnya masyarakat demokratis yang efektif melalui pemberdayaan masyarakat sipil . Masyarakat sipil mungkin ada tanpa demokrasi tetapi demokrasi tidak bisa ada tanpa masyarakat sipil yang kuat.

5.  Masyarakat Sipil (Civil society) dan Demokrasi

Masyarakat sipil merupakan salah satu istilah yang digunakan di Indonesia dalam padanan bahasa Indonesia dari kata Civil society . Padanan lainnya yang sering digunakan adalah masyarakat warga, masyarakat madani, masyarakat berbudaya atau masyarakat beradab. Konsep masyarakat sipil bisa dipandang dari dua aspek yang berbeda : sudut pandang negatif , gagasan bahwa jangkauan negara harus dibatasi , sehingga negara dicegah agar tidak mengendalikan semua kegiatan masyarakat , merasuki semua lingkup kehidupan , atau mernghisap habis semua inisiatif dan bakat masyarakat. Sudut pandang positif, gagasan yang memiliki banyak dukungan independen dari swaorganisasi dalam masyarakat, yang dengannya orang - orang bisa bekerja secara bersama - sama untuk memecahkan masalah - masalah mereka sendiri, yang bisa bertindak sarana perlindungan rakyat dari penguasaan pemerintah.( Beetham david & Keyvin Boyle : 2000: 157 ). 

Masyarakat sipil diidentikan dengan masyarakat berbudaya (civilized society) dan lawannya adalah masyarakat liar (savage society). Pemahaman tersebut memberikan gambaran dalam membandingkan bahwa masyarakat sipil (civil society) menunjuk pada masyarakat yang saling menghargai nilai- nilai sosial dan kemanusiaan (termasuk dalam kehidupan berpolitik). Sedangkan kata masyarakat liar (savage society) dapat dijelaskan melalaui pemikiran Thomas Hobes identik dengan gambaran masyarakat keadaan alami (state of nature) yang tanpa hukum sebelum lahirnya negara dimana setiap manusia merupakan serigala bagi sesamanya ( homo homini lupus ). Eksistensi masyarakat sipil sebagai sebuah abstraksi sosial yang dihadapkan secara kontradiktif dengan masyarakat alami (natural society). 

Di barat eksistensi masyarakat sipil biasanya dihadapkan dengan kelompok militer dan secara politik berlaku apa yang disebut supremasi masyarakat sipil atas militer (civilian supremacy over the military). Sedangkan di Indonesia, model dikotomik demikian dapat menimbulkan tudingan negatif dipertentangkan antara komunitas militer dan masayarakat sipil . Terlebih lagi ada konsep Dwi fungsi (dual function) dalam peran militer dan indonesia yang selama lebih tiga dasa warsa Orde baru sangat mempengaruhi diskursus politik kita, yang pada dasarnya mengabsahkan keterlibatan fungsional militer dalam politik di samping fungsinya sebagai alat pertahanan dan keamanan. 

Masyarakat sipil digunakan dalam kontek hubungan negara dan masyarakat (state and comunity) ,sifat hubungan adalah kekuasaan konsepnya adalah politik . Masyarakat terlalu komplek tidak bisa dilihat dari satu segi saja    (politik, ekonomi, sosial, budaya), analisanya penjelasaanya harus konfiguratif (keterkaitan semua aspek tidak bisa parsial) contohnya sosial ekonomi, sosial politik, sosial budaya dsb. Karakteristik masyarakat sipil dapat dilihat dari faktor - faktor :
  • Masyarakat melaksanakan kegiatan politik secara kolektif melalui partisipasi masyarakat secara luas.
  • Terdapat phase perkembangan yang tumbuh dan berkembang di tingkat grass root politic (gerakan poliotik secara agresif di tingkat infrastruktur politik para elit politik bersifat defensif membungkam tuntutan / tuntutan dari masyarakat).
  • Gerakannya terfokus praksis politik yang mengacu pada gerakan transparan sifatnya untuk merambah secara luas ke tingkat negara.
Berkaitan dengan hal tersebut diatas masyarakat sipil dapat diartikan sebagai keadaan dimana dalam masyarakat terdapat kelompok- kelompok dan individu-individu yang bukan atau diluar pemerintah yangb bebas kepentingan komunal ( golongan , etnis, agama, ras, suku ) atau premodial. Sifat utamanya adalah demokratis yang amat peduli pada keadaan masyarakat dan kekuatan secara politis untuk bertindak sebagai penyeimbang atau pengontrol kekuatan negara ( yang terwujud dalam pemerintah ). Disamping itu menjunjung tinggi Hak asasi manusia, adanya supremasi hukum dan humanis. 
Dalam perkembangan negara modern masyarakat sipil mendahului demokrasi, oleh karena itu tidak aneh bila negara dengan masyarakat sipil tidak berfiungsi secara demokratik. Masyarakat sipil yang demokratik paling tidak mempunyai ciri- ciri sbb :
  • Asosiasi sipil yang secara politik independen dari negara.
  • Budaya toleran dan dialog yang berlaku.
  • Perempuan  dan  laki - laki mempunyai hak politik yang sama., hak untuk memilih dan hak untuk menolak pemerintahannya.
Negara demokrasi yang kuat ditandai dengan setaranya akses semua kelompok tanpa memandang basis gender, ras, agama atau ideologi terhadap negara.

6.  Demokrasi

Demokrasi dapat dilihat sebagai teori empiris yang berkenaan dengan sistem politik yang ada dapat dielaborasi dari segi etika politik dan mengemukakan dengan ciri yan hakiki negara yang demokratis sbb :
  1. Negara hukum
  2. Pemerintah yang di bawah kontrol  masyarakat
  3. Pemilihan umum yang bebas
  4. Prinsip mayoritas dan indungan terhadap minoritas
  5. Adanya jaminan terhadap hak-hak demokratis.

Negara yang demokratis adalah negara yang mengandung ciri hakiki negara demokratis di atas. Joseph Schumpeter. menyatakan bahwa "metode demokratis" adalah prosedur kelembagaan untuk    mencapai keputusan politik yang di dalamnya individu memperoleh kekuasaan untuk membuat keputusan melalui perjuangan kompetitif dalam rangka memperoleh suara rakyat.

Rumusan lainnya yang selaras dengan definisi Schumpeter adalah rumusan Robert A. Dahl yang menggunakan istilah "poliarki" (polyarchy) untuk menyebut demokrasi.Ciri khas demokrasi adalah sikap tanggap pemerintah secara terus-menerus terhadap preferensi atau keinginan warga negaranya.

Tatanan politik seperti itu bisa digambarkan dengan memakai dua dimensi teoritik, yaitu:
(1) seberapa tinggi tingkat kontestasi, kompetisi atau oposisi yang dimungkinkan; dan
(2) seberapa banyak warga negara yang memperoleh kesempatan berpartisipasi dalam kompetisi politik itu. 

Selanjutnya, Dahl menyatakan bahwa untuk menjamin agar pemerintah berperilaku demokratis, harus ada kesempatan yang diberikan kepada rakyat untuk:
(1) merumuskan preferensi atau kepentingannya sendiri;
(2) memberitahukan perihal preferensinya itu kepada sesama warga negara dan kepada pemerintah melalui tindakan individual maupun kolektif; dan
(3) mengusahakan agar kepentingannya itu dipertimbangkan secara setara dalam proses pembuatan keputusan pemerintah, artinya tidak didiskriminasikan berdasar isi atau asal-usulnya. (Dalam makalah Kacung Marijan, "Wajah Demokrasi Kita", Republika, 23 Januari 1999).

Menurut Parsudi Suparlan (2002) :
"Demokrasi bukanlah semata - mata harus dilihat sebagai aturan kenegaraan , tetapi sebagai sebuah kehidupan dimana warga komuniti-komunitinya dalam masyarakat tersebut secara  aktif turut berpartisipasi didalamnya dan turut memproses program - program pembangunan Sehingga menghasilkan kesejahteraan hidup yang berkeadilan sosial"

Kesempatan itu hanya mungkin tersedia kalau lembaga-lembaga dalam masyarakat bisa menjamin adanya kondisi,sebagai berikut:
(1) kebebasan untuk membentuk dan bergabung dalam organisasi;
(2) kebebasan untuk mengungkapkan pendapat;
(3) hak untuk memilih dalam pemilihan umum;
(4) hak untuk menduduki jabatan publik;
(5) hak para pemimpin untuk bersaing memperoleh dukungan dan suara;
(6) tersedianya sumber-sumber informasi alternatif;
(7) terselenggaranya pemilihan umum yang bebas dan jujur; dan
(8) adanya lembaga-lembaga negara yang menjamin agar kebijaksanaan publik tergantung pada suara dalam pemilihan umum dan pada cara-cara penyampaian preferensi yang lain.

Diamond, Linz, dan Lipset,menyatakan demokrasi adalah :
"suatu sistem pemerintahan yang memenuhi tiga syarat pokok: kompetisi yang sungguh-sungguh dan meluas di antara individu-individu dan kelompok-kelompok organisasi (terutama partai politik) untuk memperebutkan jabatan-jabatan pemerintahan yang memiliki kekuasaaan efektif, pada jangka waktu yang reguler dan tidak melibatkan penggunaan daya paksa; partisipasi politik yang melibatkan sebanyak mungkin warga negara dalam pemilihan pemimpin atau kebijakan, paling tidak melalui pemilihan umum yang diselenggarakan secara reguler dan adil, sedemikian rupa sehingga tidak satupun kelompok sosial (warganegara dewasa) yang dikecualikan; dan suatu tingkat kebebasan sipil dan politik, yaitu kebebasan berbicara, kebebasan pers, kebebasan untuk membentuk dan bergabung ke dalam organisasi, yang cukup untuk menjamin integritas kompetisi dan partisipasi politik."

Masyarakat sipil demokratis yang kuat tidak lahir sendiri, tetapi harus diperjuangkan, dan pembentukan masyarakat sipil yang demokratis tidak pernah mencapai titik kulminasi .Masyarakat sipil yang demokratik mempunyai ciri sbb :
Ø  Organisasi yang aktif dalam semua sektor masyarakat.
Ø  Konstruksi terus menerus dan redefinisi otonomi politik dalam kaitannya dengan negara.
Ø  Memperluas dan merekonstruksi toleransi dan dialog.
Ø  Menjamin dan membela kesetaraan akses terhadap negara juga kesetaraan yang lebih besar dalam masyarakat sipil.

Masyarakat sipil merupakan suatu proses dengan adanya kekuatan - kekuatan masyarakat (diluar pemerintah) yang berfungsi sebagai pengimbang atau kekuatan pengontrol negara /pemerintah / state. Dan mereka bebas dari kepentingan komunal (suku, agama , ras (sara)), dan mempunyai sifat demokrasi yang menjunjung tinggi Hak asasi manusia. Kondisi masyarakat sipil harus dipahami sebagai proses yang bisa mengalami pasang surut , kemajuan dan kemunduran, kekuatan dan kelemahannya dalam perjalannan sejarahnya. Masyarakat sipil memerlukan berbagai macam aturan atau pembatasan - pembatasan serta penyatuan negara lewat kontrol hukum , administratif dan politik. Bila masyarakat sipil kehilangan demensi politiknya dan akan terus bergantung kepada manipulasi dan intervensi negara.

7.  Community policing (Pemolisian Komunitas)

Community policing (pemolisian komuniti) adalah gaya pemolisian yang mendekatkan polisi kepada masyarakat yang dilayaninya. Community policing diartikan juga sebagai filosofi pemolisian dan progam strategi, Robert Blair (1992) : as a Philoshopy of policing, it embodies a number of principles or ideas that guide the structure of policing toward goal attainment (Kratcosky and Duane Dukes, 1991995, 86). Dapat  didefinisikan  sebagai cara / gaya pemolisian di mana polisi bekerja sama dengan masyarakat setempat (tempat ia bertugas) untuk mengidentifikasi, menyelesaikan masalah-masalah sosial dalam masyarakat dan polisi sebagai katalisator yang mendukung masyarakat untuk membangun/ menjaga keamanan di lingkungannya (Trojanowicz,1998), (Rahardjo, 2001), (Meliala, 1999), (Bayley 1988)  . Pemolisian ini tidak dilakukan untuk melawan kejahatan,  tetapi mencari  dan melenyapkan sumber kejahatan  . . . sukses dari community policing bukan dalam menekan angka kejahatan tetapi ukurannya  adalah manakala kejahatan tidak terjadi (Rahardjo, 2001).
 
Community policing juga dijadikan dasar pada usaha bersama antara masyarakat dengan kepolisian dalam menyelesaikan berbagai masalah yang ada dalam masyrakat setempat yang dilakukan sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya dalam meningkatkan keamanan dan kualitas hidupnya. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam community policing bimbingan dan pendidikan masyarakat tanpa paksaan baik melalui perorangan atau kelompok untuk menumbuhkembangkan kemampuannya dalam menciptakan dan menjaga keamanan di lingkungannya.
The community policing officer assists the residents by meeting with them individually and in groups in hopes that communication will lead to some consensus of accepted action will be agreed upon and implemented by the residents. The major considerations in community policing are: citizen input into defining problems to be solved, citizen involvement in planning and implementing problem solving activities, and citizens determining if their felt needs have been met. Community policing is critical social science in action and is based on the assumptions of normative sponsorship theory (Bayley, 1998).

Trojanowicz’ menjelaskan arti dan bagaimana community policing dapat dilaksanakan  dengan menyebut “ 9 P “ :
  • PHILOSOPHY - The community policing philosophy rests on the belief that contemporary challenges require the police to provide full-service policing, proactive and reactive, by involving the community directly as partners in the process of identifying, prioritizing, and solving problems including crime, fear of crime, illicit drugs, social and physical disorder, and neighborhood decay. A department-wide commitment implies changes in policies and procedures.
  • PERSONALIZED - By providing the community its own community officer, community policing breaks down the anonymity on both sides — community officers and community residents know each other on a first-name basis.
  • POLICING - Community policing maintains a strong law enforcement focus; community officers and teams answer calls and make arrests like any other officer, but they also focus on proactive problem solving.
  • PATROLS - Community officers and teams work and patrol their communities, but the goal is to free them from the isolation of the patrol car, often by having them walk the beat or rely on other modes of transportation, such as bicycles, scooters, or horses.
  • PERMANENT - Community policing rests on assigning community officers and teams permanently to defined beats, so that they have the time, opportunity, and continuity to develop the new partnership. Permanence means that community officers should not be rotated in and out of their beats, and they should not be used as "fill-ins" for absences and vacations of other personnel.
  • PLACE - All jurisdictions, no matter how large, ultimately break down into distinct neighborhoods. Community policing decentralizes police officers, often including investigators, so that community officers can benefit from "owning" their neighborhood beats in which they can act as a catalyst for community-based problem solving, tailoring the response to the needs and resources of the beat area. Moreover, community policing decentralizes decision-making, not only by allowing community officers the autonomy and freedom to act, but also by empowering all officers to participate in community-based problem solving.
  • PROACTIVE - As part of providing full-service policing, community policing balances reactive responses to crime incidents and emergencies with a proactive focus on preventing problems before they occur, escalate, or spread.
  • PARTNERSHIP - Community policing encourages a new partnership between people and their police, which rests on mutual respect, civility, and support.
  • PROBLEM SOLVING - Community policing redefines the mission of the police to focus on community building and solving problems, so that success or failure depends on qualitative outcomes (problems solved) rather than just on quantitative results (arrests made, citations issued — so-called "incident-driven/numbers policing"). [included in Community Policing: How To Get Started, co-authored with policing.com’s Bonnie Bucqueroux (Anderson Publishing, Cincinnati, OH, 1998)]
Agar dapat melaksanakan dan mewujudkan profesionalisme kepolisian dalam kegiatan “Community Police  “Friedmann ,1991 ; Alderson , 1979 menyatakan, terdapat 10 ( sepuluh ) prinsip yang dapat dijadikan pedoman dalam pelaksanaan tugas , yaitu :
  1. Memberikan kontribusi kearah kebebasan, kesejajaran  dan persaudaraan dalam menghadapi masalah–masalah kemanusian. 
  2. Membantu mempertemukan kebebasan dengan keamanan dan mempertahankan tegaknya hukum.
  3. Menjunjung martabat manusia dengan mempertahankan dan menjaga hak asasi manusia serta mengejar kebahagian .
  4. Menjaga kepemimpinan dan peran serta dalam menghapus kondisi sosial yang rawan kejahatan melalui tindakan sosial bersama.
  5. Memberikan kontribusi ke arah tercipta dan terpeliharanya kepercayaan didalam masyarakat .
  6. Memperkuat keamanan jiwa dan harta benda ,serta rasa aman bagi setiap orang .
  7. Menyelidiki, mendeteksi dan melaksanakan penuntutan atas tindak kekerasan sesuai hukum.
  8. Menciptakan kebebasan berlalu-lintas di jalanan seperti di jalan raya, jalan kampung , gang dan tempat –tempat yang terbuka untuk umum .
  9. Mencegah terjadinya kekacuan.
  10. Menangani krisis besar maupun kecil dan membantu serta memberikan saran kepada mereka yang mengalami musibah,jika perlu dengan menggerakkan instansi lain. (Koenarto, 1998 : 123)
Untuk mengembangkan community policing Trojanowicz & bucqueroux, 1998, Ventris, 1987, Rivlin 1992 menjelaskan : “Community policing has shown promising results. There is still a need, though, to articulate a comprehensive community theory.  Dan teori tersebut berdasar beberapa asumsi sbb :
  1. The purpose of government is to serve the needs of the people. Citizens determine needs and direct governmental services and priorities.
  2. Healthy communities (i.e. full integration of the needs and desires of all its members), are more able to solve problems.
  3. Problem solving requires the participation of the individual members of the community.
  4. Problem solving needs to begin at the neighborhood level.
  5. Neighborhood identity springs from mutual interests and cannot be arbitrarily chosen by others.
  6. Neighborhood involvement, through community empowerment, promotes community health and problem solving.
  7. Empowerment is accompanied by responsibility. Responsibility requires accountability and representation.
  8. A healthy community integrates the needs and desires of all of its members.
  9. Desires are subordinate to needs.
  10. Community leaders play a role in educating the community to the needs of its members, while remaining aware of the bottom-up nature of problem solving.
  11. The more healthy the community, the less likely there will be destructive competition for community resources and programs.
Community Policing bukan hanya sekedar penanganan pertama di tempat kejadian perkara (TKP) atau patroli, penyuluhan kepada masyarakan atau membangun sistem keamanan swakarsa  melainkan juga merupakan pelayanan untuk menjaga dan menumbuh kembangkan hubungan baik antara polisi dengan masyarakat dan dalam memberikan pelayanan berorientasi pada kebutuhan masyarakatnya dan bekerja sama dalam menyelesaikan berbagai masalah sosial yang ada dalam masyarakat tersebut. Hal tersebut tentunya tidak dapat disamaratakan antara satu daerah dengan daerah lainnya melainkan melihat dari berbagai faktor dalam masyarakat tingkat lokal atau daerah.

Trojanowicz (1998) menyampaikan tentang 10 prinsip Community Policing:1) A Philosophy not an Organisational strategy, 2) All personnel must attempt to translate the philosophy into practice, 3) Community Policing Officer (CPO) = direct link to community. A 'new breed of line officer', 4) Continuous sustained contact with citizens, 5) A new contract between police and citizens, 6) Proactive approach, 7) Explore new ways to protect and enhance lives of vulnerable citizens, including minorities, 8) Judicious use of technology, 9) Fully integrated,10) Decentralised, personalised. 

Di Samping itu Trojanowicz juga menyatakan hal-hal yang menghambat  Community Policing adalah sbb : 1)Organisational change, 2) Measuring effectiveness, 3)  Political will, 4)  Insufficient imagination, 5) Lack of nerve / managerial sophistication, 6)  Perceptions, 7) Need for common belief and internal acceptance, 8) The media and their love of quick fix instant solutions, 9) Short time line of politicians, 10), Change takes time, 11) Organisational structure, 12) Police Culture. 

Dalam tugas pemolisian tersebut polisi senantiasa berupaya menjaga dan meningkatkan kepercayaan masyarakat atas kinerjanya melalui kecepatan penanganan aduan atau laporan dari masyarakat (respon time), selain itu juga berupaya dekat dan mengetahui apa yang dibutuhkan masyarakatnya yang berkaitan dengan masalah keamanan. Dan diharapkan polisi dapat menjadi simbol persahabatan dengan masyarakatnya. 

8.  Penutup 

Community Policing (pemolisian Komuniti) adalah pemolisian untuk menciptakan dan menjaga keamanan dan ketertiban dalam masyarakat yang dilakukan dengan tindakan-tindakan : (1) Polisi bersama-sama dengan masyarakat untuk mencari jalan keluar atau menyelesaikan masalah social (terutama masalah keamanan) yang terjadi dalam masyarakat. (2) Polisi senantiasa berupaya untuk mengurangi rasa ketakutan masyarakan akan adanya gangguan kriminalitas, (3) Polisi lebih mengutamakan pencegahan kriminalitas (crime prevention), (4) Polisi senantiasa berupaya meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Dan Community Policing sebagai wujud atau bentuk pemolisian yang demokratis.

Keberhasilan tugas polisi bukan hanya pada menekan angka kejahatan tetapi manakala kejahatan atau gangguan kamtibmas tidak terjadi serta tercipta ketertiban dan keteraturan yang dapat dirasakan oleh masyarakatnya. 

Peran dan fungsi Polri bukan sebagai alat kekuasaan atau pemerintah tetapi sebagai pelayan, pelindung dan pengayom masyarakat, yang merupakan institusi wakil rakyat dalam melaksanakan fungsi kepolisian. Oleh sebab itu Polri dalam melaksanakan tugasnya hendaknya menggunakan sistem O2H yaitu senantiasa menggunakan otak, otot dan hati nurani (Rahardjo, 2000), Karena yang dihadapi dalam tugasnya adalah masyarakatnya, manusia yang harus dibimbing, dilindungi dan dihormati hak-haknya sebagai manusia .


Daftar Pustaka

Alderson John, 1979, Policing Freedom, Macdonald and Evans, Estover.
Bayley Wiliiam G, 1995, The Encyclopedia of Police Science ( second edition ), Garland Publishing , Newyork & London.
Blumberg Abraham, 1976, The Ambivalent Force persepectives on the Police, The Dryden press, Hinsdale Illinois.
Bayley David H , 1994, Police for the Future (diterjemahkan dan disadur oleh Kunarto), Cipta Manunggal, Jakarta.
---------------------, 1991, Forces of Order Policing Modern Japan, University of california Press.
Beetham david dan Kevin Boyle, 2000, Demokrasi, Kanisiis, Yogyakarta.
Cula Adi Suryadi, 1999, Masyarakat madani, Rajawali Press, Jakarta.
Djamin,Awaloedin, 1999, Menuju Polri Mandiri yang profesional, Yayasan Tenaga Kerja, Jakarta .
Finlay mark dan Ugljesa Zvekic,1993, Alternatif Gaya Kegiatan Polisi Masyarakat, (diterjemahkan dan disadur oleh Kunarto), Cipta Manunggal, Jakarta.
Friedmann Robert, 1992, Community Policing, (diterjemahkan dan disadur oleh Kunarto), Cipta Manunggal, Jakarta.
Hass Peter and J Fred Springer, 1998, Applied Policy Research Concepts and Cases, Garland Publishing, Inc, New York.
Hikam Muhammad AS, 1998, Demokrasi dan Civil Society< LP3ES, Jakarta.
Kratcoski Peter and Duane Dukes, 1995, Issues in Community Policing, ACJS (academy of Criminal Justice System, Northen Kenthucky University.
Kunarto, 1995, Polisi harapan dan Kenyataan, CV Sahabat, Klaten.
------------,1995, Merenungi kritik terhadap Polri (buku ke 2), Cipta manunggal, Jakarta.
L.Craig Parker.jr, 1987, The Japanese Police System Today, (diterjemahkan dan disadur oleh Kunarto,), Cipta Manunggal, Jakarta.
Marijan Kacung, Wajah Demokrasi Kita, Repiblika, 23 Januari 1999.
Meliala Adrianus, 1999, Kumpulan tulisan menjelang dan Sesudah Polri Keluar dari Abri, Universitas Indonesia.
--------------------,2002, Mengkritisi Polisi, Kanisius, Yogyakarta.
--------------------, 2002, Problema reformasi Polri, Trio repro, Jakarta
Rahardjo,Satjipto, 1998, Mengkaji Kembali Peran dan Fungsi Polri dalam Masyarakat di Era Reformasi,  makalah Seminar Nasional tentang Polisi dan Masyarakat dalam Era Reformasi,
-----------------------, 1999a makalah yang dibacakan pada seminar "Polisi Mandiri tanpa Intervensi" di Jakarta.
----------------------,  1999 b, kajian Komparatif Mengenai Kedudukan dan Peran Polri dengan Kepolisian lain di Dunia, makalah seminar nasional tentang Kedudukan dan Peran Polri setelah keluar dari ABRI, Jakarta.
 ---------------------, 2002, Polisi Sipil, Gramedia, Jakarta
---------------------,2000, Sosok Polisi Rakyat Menuju Indonesia Baru, Diskusi panel LP3HI (Lembaga Penelitian dan Pengkajian Penegakan Hukum Indonesia) Semarang.
---------------------, 2001, Tentang Community Policing di Indonesia, Makalah seminar “ Polisi antara harapan dan kenyataan”, Hotel Borobudur, Jakarta.     
Reksodiputro Mardjono,1996, catatan kuliah Seminar masalah peradilan Pidana, tidak diterbitkan
--------------------------------, 1998,Reformasi hukum di Indonesia, Makalah Seminar Hukum Nasional VII tentang Reformasi Hukum di Indonesia12 ,Oktober 1998, Jakarta
Secapa Polri, 1996, Vademikum Polri Tingkat I, Secapa Polri, Suka Bumi.
Suparlan Parsudi ( ED ), 1996, Manusia kebudayaan dan Lingkungannya, rajawali press, jakarta.
---------------------------.1999a,makalah sarasehan " Etika Publik polisi  indonesia", tanpa penerbit.
--------------------------,1999b, Polisi Indonesia Dalam Rangka Otonomi Daerah, Makalah Seminar Hukum Nasional VII, Departemen Kehakiman.
-------------------------, 1999c, Diktat Hubungan antar Suku bangsa, Tidak diterbitkan.
-------------------------, 2000,Masyarakat majemuk dan perawatannya, jurnal Antropologi, Yayasan Obor, Jakarta.
-------------------------, 2000,Masyarakat majemuk dan perawatannya, jurnal Antropologi, Yayasan Obor, Jakarta.
.-------------------------, 2002, makalah sarasehan " Mengefektifkan Peran dan Fungsi Polri dalam Menangani tindak kekerasan Massa  ", tanpa penerbit.
Suseno Frans Magniz, 1999,  Etika Politik, gramedia, Jakarta.
---------------------------------, 2000,Mencari sosok Demokrasi, Gramedia Jakrta.
Trojanowicz Robert, 1998, Community Policing: How To Get Started, co-authored with policing.com’s Bonnie Bucqueroux (Anderson Publishing, Cincinnati, OH.